The Blue Jeans Soldiers, Pasukan Rahasia TNI yang Pakai Jeans dan Rambut Gondrong

The Blue Jeans Soldiers, Pasukan Rahasia TNI yang Pakai Jeans dan Rambut Gondrong

Berita Utama | okezone | Kamis, 29 Agustus 2024 - 07:20
share

JAKARTA – Letjen TNI (Purn) Sutiyoso pernah mengalami situasi ekstrem di mana ia harus bertahan tanpa makanan selama lima hari demi menyelamatkan empat anggotanya yang terluka akibat serangan musuh. Dengan tekad kuat, Sutiyoso menolak meninggalkan rekan-rekannya yang sedang berjuang antara hidup dan mati. 

Kisah heroik ini tertuang dalam buku berjudul “Sutiyoso The Field General, Totalitas Prajurit Para Komando”.

Mengutip Sindonews, pada saat itu Sutiyoso yang berpangkat Kapten menerima tugas rahasia dari Ketua G-1/Intelijen Hankam, Mayjen TNI LB Moerdani. Ia ditugaskan untuk memantau situasi politik dan keamanan di perbatasan Timor Portugis, yang kini dikenal sebagai Timor Leste, mengingat kondisi wilayah tersebut semakin memanas.

Gelombang pengungsi dari Timor Portugis mulai membanjiri perbatasan Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk mencari perlindungan. Sementara itu, upaya negosiasi antara Pemerintah Portugis dengan partai-partai politik lokal seperti UDT, Fretilin, dan Apodeti tidak membuahkan hasil yang diharapkan, sehingga situasi semakin tidak stabil.

Dalam rangka operasi rahasia ini, dibentuklah Satuan Tugas Intelijen Kopassus yang dipimpin oleh Mayor Yunus Yosfiah dengan kekuatan awal 100 personel. Seiring perkembangan situasi, satgas ini berkembang menjadi tiga tim yang masing-masing diberi kode sandi nama perempuan: Susi, Tuti, dan Umi. 

Setiap tim terdiri dari 100 personel dan menjadi bagian dari Operasi Flamboyan. Tim Susi dipimpin oleh Mayor Infanteri Yunus Yosfiah dengan wakilnya Kapten Infanteri Sunarto. Tim Tuti dikomandoi oleh Mayor Infanteri Tarub bersama Kapten Infanteri Agus Salim Lubis sebagai wakil. 

 

Tim Umi dipimpin oleh Mayor Infanteri Sofian Effendi dengan Kapten Infanteri Sutiyoso sebagai wakil komandan. Untuk mendukung penyamaran dalam operasi ini, para anggota tim mengenakan pakaian sipil seperti kemeja dan celana jeans, lengkap dengan rambut gondrong serta aksesori khas Timor Portugis seperti topi dan selendang. 

Penyamaran ini membuat mereka dikenal sebagai "The Blue Jeans Soldiers". Setiap anggota juga menggunakan nama samaran; Sutiyoso memilih nama "Manix", terinspirasi dari sebuah film mata-mata populer saat itu.

Pada 27 Agustus 1975, Tim Umi diterbangkan ke Kupang dan kemudian menuju Atambua, kota terdekat dengan perbatasan Timor Portugis. Rencana awal untuk menyusup melalui Kefamenanu menuju Ambeno terpaksa dibatalkan karena situasi yang tidak kondusif. Sebagai gantinya, mereka diperintahkan menyusup ke daerah pegunungan di selatan Viqueque.

"Saya dan pasukan mungkin tidak dapat kembali setelah melakukan penyerangan Viquque yang terletak jauh dari basis. Tapi sebagai seorang prajurit, kita selalu siap melaksanakan tugas itu sebaik-baiknya apapun risikonya,” kenang Sutiyoso.

Di Kotabot, Tim Umi dibagi menjadi dua kelompok. Mayor Sofian Effendi memimpin penyusupan ke Tilomar, sementara Sutiyoso memimpin pasukan menuju Suai, yang menjadi penyusupan terjauh dalam Operasi Flamboyan. 

Mendekati tengah malam, pasukan Sutiyoso membagi diri lagi untuk menyerang dua target utama: markas polisi dan markas militer di Suai. Sutiyoso memimpin serangan ke markas militer, sementara Letnan Bambang mengarahkan serangan ke markas polisi.

Pada pukul 01.00 waktu setempat, serangan dilancarkan secara serentak setelah Sutiyoso memberikan isyarat tembakan. Pertempuran berlangsung sengit selama sekitar 20 menit sebelum Sutiyoso memerintahkan pasukannya untuk mundur sesuai strategi "hit and run". 

 

Namun, dalam aksi tersebut, empat anggota pasukan mengalami luka tembak serius, termasuk Sersan Parman dan Sarwono. Meskipun menghadapi tekanan dan serangan balik musuh, Sutiyoso menolak meninggalkan anggotanya yang terluka. 

Ia bersama tiga anggota lainnya bergantian membopong rekan-rekannya sambil terus bergerak menghindari kejaran musuh. Permintaan bantuan melalui radio sempat dilakukan, namun upaya evakuasi melalui helikopter mengalami kendala karena sulitnya medan dan komunikasi.

Dalam situasi kritis tersebut, Sutiyoso dan timnya harus bertahan tanpa makanan dan air selama lima hari. Rasa lapar dan kelelahan menyelimuti mereka, namun semangat untuk menyelamatkan rekan-rekan yang terluka tetap berkobar. 

Sutiyoso juga menegaskan agar pasukannya menjaga kewaspadaan tinggi dan menghemat amunisi, hanya menggunakan peluru jika benar-benar diperlukan untuk pertahanan diri. Setelah perjuangan panjang dan melelahkan, upaya evakuasi akhirnya berhasil ketika helikopter bantuan mampu menemukan lokasi mereka berkat isyarat tembakan suar yang dilepaskan Sutiyoso. 

Keempat anggota yang terluka berhasil dibawa ke tempat aman, sementara Sutiyoso dan sisa pasukannya terus bergerak menuju perbatasan. Perjalanan pulang tidaklah mudah. Mereka harus menempuh waktu 15 hari, lebih lama dari rencana awal 10 hari, akibat pengejaran intensif dari pasukan Fretilin dan kondisi medan yang berat. 

Tanpa logistik memadai, mereka bertahan dengan kondisi fisik yang semakin melemah. Namun berkat keteguhan dan strategi yang tepat, Sutiyoso dan seluruh anggota timnya akhirnya berhasil mencapai wilayah Nusa Tenggara Timur dengan selamat, meski dalam kondisi tubuh yang sangat kurus dan lemah akibat kekurangan makanan dan air.

Kisah keberanian dan ketangguhan Sutiyoso beserta timnya ini menjadi salah satu cerita heroik dalam sejarah militer Indonesia, menunjukkan dedikasi dan pengorbanan luar biasa seorang prajurit dalam menjalankan tugas demi negara dan menyelamatkan rekan-rekannya di medan perang.

Topik Menarik