Menilik Strategi untuk Meminimalisasi Dampak Tarif Trump terhadap IHSG

Menilik Strategi untuk Meminimalisasi Dampak Tarif Trump terhadap IHSG

Ekonomi | inews | Sabtu, 12 April 2025 - 11:41
share

JAKARTA, iNews.id - Bursa Efek Indonesia (BEI) menyiapkan serangkaian langkah strategis untuk merespons gejolak pasar akibat faktor global yang memengaruhi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam beberapa waktu terakhir. Gejolak di pasar modal terjadi baru-baru ini imbas kebijakan tarif resiprokal Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.

Pada 18 Maret 2025, IHSG mengalami penurunan drastis hingga -5 persen. Direktur Utama BEI, Iman Rachman menyebut, pihaknya sigap melakukan trading halt atau penghentian sementara perdagangan selama 30 menit sebagai upaya untuk memberikan ruang stabilisasi pasar. 

Langkah serupa juga diterapkan pada 8 April 2025, ketika IHSG anjlok hingga -8 persen menyusul kebijakan tarif baru dari Donald Trump, yang memicu kekhawatiran pelaku pasar global.

Menindaklanjuti kondisi tersebut, BEI bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengambil beberapa kebijakan penting pada periode 2-19 Maret 2025, yaitu penundaan pelaksanaan short selling untuk meredam tekanan jual, penerbitan kebijakan buyback saham tanpa melalui RUPS, guna mempermudah emiten dalam menstabilkan harga saham, pemberian fleksibilitas bagi emiten untuk mengambil langkah-langkah stabilisasi harga di tengah tingginya volatilitas dan peningkatan kepercayaan investor, melalui komunikasi aktif dan kebijakan yang responsif.

Tak hanya itu, pada 8 April 2025, BEI juga melakukan penyesuaian ketentuan batasan Auto Rejection Bawah (ARB) menjadi 15 persen untuk saham di Papan Utama, Pengembangan, dan Ekonomi Baru, serta produk ETF dan DIRE. BEI juga memperbarui ketentuan trading halt sebagai bagian dari upaya penyesuaian terhadap dinamika pasar.

Dalam menghadapi dinamika pasar yang penuh tantangan, Iman mengatakan, BEI telah merancang strategi jangka pendek dan jangka panjang guna menjaga stabilitas serta memperkuat ketahanan pasar modal Indonesia. Dalam jangka pendek, BEI menempuh sejumlah langkah strategis yang difokuskan pada pemulihan kepercayaan investor dan stabilitas pasar. 

Pertama, dilakukan komunikasi aktif dengan publik dan media untuk menjaga persepsi positif dan membangun kembali kepercayaan pelaku pasar. Selanjutnya, BEI melakukan penyesuaian terhadap aturan perdagangan, termasuk pengaturan batas Auto Rejection Bawah (ARB) dan mekanisme trading halt, sebagai bentuk respons terhadap volatilitas pasar. 

“Stabilitas dan kepercayaan pasar adalah prioritas utama kami. BEI berkomitmen untuk terus menjaga integritas pasar dan melindungi kepentingan seluruh investor di tengah tantangan global yang dinamis” ujar Iman dalam diskusi bertajuk “Trump Trade War: Menyelamatkan Pasar Modal, Menyehatkan Ekonomi Indonesia” secara daring, Jumat (11/4/2025).

Di sisi regulasi, relaksasi aturan buyback saham oleh OJK juga menjadi langkah penting, di mana emiten kini dapat melaksanakan aksi buyback tanpa perlu persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). 

Selain itu, penguatan pengawasan pasar atau market surveillance terus ditingkatkan guna mendeteksi dan mengantisipasi aktivitas perdagangan yang tidak wajar di tengah kondisi pasar yang penuh ketidakpastian.

Sementara itu, untuk memperkuat daya tahan pasar modal dalam jangka panjang, BEI mengedepankan strategi-strategi yang lebih struktural. Salah satunya adalah diversifikasi produk melalui pengembangan instrumen-instrumen baru seperti Single Stock Future, Exchange Traded Fund (ETF) berbasis emas, dan Structured Warrant (SW). 

BEI juga berkomitmen untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi proses penawaran umum perdana saham (IPO), sehingga dapat mendorong pertumbuhan jumlah emiten baru. Tak kalah penting, peningkatan likuiditas dan modernisasi infrastruktur perdagangan menjadi fokus utama, dengan tujuan menciptakan pasar modal yang inklusif, efisien, dan mampu bersaing secara global.

Wakil Rektor Universitas Paramadina, Handi Risza Idris mengungkapkan, fenomena tersebut mengingkatkan pada siklus 100 tahunan yang dikenal dengan istilah Great Depression atau Depresi Besar, yang melanda AS pada tahun 1929. 

"Saat itu, bursa efek New York Stock Exchange mengalami kehancuran besar hingga puluhan juta saham menjadi tidak bernilai” kata Handi.

Handi turut menyoroti Undang-Undang Tarif Smoot-Hawley yang diberlakukan pada tahun 1930. Undang-undang ini diusulkan oleh Senator Smoot dan Hawley dengan menaikkan tarif masuk untuk melindungi produk dalam negeri Amerika dari gempuran impor, terutama dari Eropa. Namun, kebijakan tersebut justru memperburuk kondisi ekonomi Amerika dan dunia, memicu krisis global yang berlangsung hampir satu dekade.

Sementara itu, Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Aviliani menyebut, situasi global yang terus berubah perlu direspons cepat oleh pemerintah maupun dunia usaha dalam menghadapi ketidakpastian yang kini menjadi keniscayaan.

“Uncertainty bukan lagi sesuatu yang baru. Sejak krisis 2008 hingga proyeksi 2025, dunia terus menghadapi gejolak ekonomi dan geopolitik dalam rentang waktu yang semakin pendek. Artinya, kepastian satu-satunya adalah ketidakpastian itu sendiri” kata Aviliani.

Dia menyoroti bahwa sistem pengambilan kebijakan di Indonesia masih terlalu terpaku pada prinsip rule-based, bukan principle-based. Padahal, dalam kondisi global yang berubah cepat dan penuh kejutan seperti kebijakan tarif Trump yang sering berubah dalam waktu singkat diperlukan pendekatan yang lebih fleksibel dan adaptif dari para pengambil keputusan di semua sektor.

“Jika perubahan tidak direspons dengan cepat, kita bisa menjadi korban dari kebijakan kita sendiri. Bukan hanya pemerintah, tetapi juga pelaku usaha dan birokrasi, khususnya otoritas pasar keuangan seperti bursa saham dan pasar valuta asing, harus bergerak cepat agar saat krisis terjadi, dampaknya bisa ditekan dan pemulihan bisa berlangsung lebih cepat” ucapnya.

Aviliani juga menyoroti pergeseran global dari liberalisme menuju proteksionisme, terutama oleh AS, yang mengharuskan Indonesia untuk meningkatkan kapasitas negosiasi bilateral dan kesiapan dalam manajemen risiko lintas kebijakan negara.

Dia juga menekankan bahwa strategi menghadapi ketidakpastian tidak bisa dijalankan secara terpisah. Kolaborasi erat antara pemerintah dan dunia usaha menjadi kunci agar arah kebijakan lebih tepat sasaran dan implementatif. Pemerintah juga harus terbuka terhadap masukan dari para pelaku usaha sebagai mitra strategis dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional.

Topik Menarik