Tak Ada Keceriaan Natal di Tempat Lahir Yesus untuk Tahun Kedua akibat Perang Gaza
Tak ada keceriaan dalam perayaan Natal untuk tahun kedua berturut-turut di kota Betlehem, Tepi Barat, wilayah Palestina yang diduduki rezim Zionis Israel, akibat perang Israel-Hamas di Jalur Gaza.
Warga Palestina di kota kelahiran Yesus tersebut merayakan Natal dengan muram dalam solidaritas dengan warga Gaza.
Jalur Gaza telah menjadi tempat perang brutal Israel selama lebih dari setahun yang telah menewaskan lebih dari 45.000 orang.
Tidak ada lampu pesta atau pohon Natal yang dipasang di kota tersebut karena hari raya bagi umat Kristen hanya terbatas pada ritual keagamaan dan doa.
Manger Square, pusat Betlehem yang secara tradisional diyakini sebagai tempat kelahiran Yesus, tampak sangat sepi.
“Setiap tahun, ada scouts, paduan suara, dekorasi, pohon didirikan, lagu-lagu Natal dinyanyikan, dan perayaan diadakan,” kata Pastor Issa Thaljieh, seorang pendeta paroki Ortodoks Yunani di Betlehem, kepada Middle East Eye (MEE), Rabu (25/12/2024).
“Namun tahun ini, Natal datang dengan cara yang menyedihkan dan suram, tanpa tanda-tanda keceriaan,” ujarnya.
Kerumunan wisatawan dan peziarah yang biasa juga tidak ada, kata Thaljieh.
Dia menambahkan bahwa seruan dari warga Betlehem kepada warga Gaza tahun ini adalah seruan untuk “kesabaran, keteguhan, doa, harapan, dan penghiburan”.
Munther Isaac, seorang pendeta Kristen dari Betlehem, menggambarkan suasana di kota itu penuh dengan kesedihan dan kemarahan tetapi juga solidaritas dan keteguhan.
"Ada kesedihan dan kemarahan karena keterlibatan dunia dalam membiarkan perang di Gaza berlanjut,” ujarnya.
Namun, dia mengatakan mengadakan doa Natal merupakan pesan penting tentang perlawanan.
"Tekad kami untuk melanjutkan Natal, bahkan tanpa pohon dan musik scouts, adalah perlawanan kami," papar Isaac, yang telah terang-terangan menentang perang, mengatakan kepada MEE.
"Itu cara kami mengatakan bahwa kami ada di sini, dan kami tidak akan pergi. Kebijakan pendudukan [Israel] jelas: untuk menggusur kami. Tetapi kami bertekad untuk tetap di sini."
Perang Israel yang berlangsung hampir 15 bulan di Gaza telah menghancurkan wilayah yang terkepung tersebut dan mengancam menghapus warisan Kristen berusia 2.000 tahun di sana sepenuhnya.
Dengan jumlah umat Kristen yang tersisa di Gaza kurang dari 1.000 orang, sebagian besar saat ini tinggal di Gereja Keluarga Kudus atau Gereja St Porphyrius, sebuah gereja Ortodoks Yunani di Kota Gaza.
Gereja tersebut adalah tempat perlindungan terakhir bagi umat Kristen di wilayah Gaza yang dilanda perang.
Jumlah umat Kristen yang berlindung di gereja-gereja Gaza telah berkurang tahun ini, dengan banyak yang melarikan diri melalui penyeberangan Rafah ke Mesir sebelum Israel menguasainya pada bulan Mei.
Mereka yang tertinggal—sekitar 650 orang—mengalami kondisi yang mengerikan dan berada di ambang kehancuran, kata George Akroush, seorang pejabat di Patriarkat Latin di Yerusalem, saat berbicara kepada Financial Times.
Dalam pidatonya baru-baru ini, pemimpin Vatikan Paus Fransiskus mengutuk pembunuhan anak-anak di Gaza oleh Israel sebagai kekejaman.
"Kemarin, anak-anak dibom. Ini kekejaman; ini bukan perang," katanya.
Awal tahun ini, dia mengatakan kepada jaringan CBS; 60 Minutes: "Saya berbicara setiap malam pukul tujuh kepada paroki Gaza. Mereka memberi tahu saya tentang apa yang terjadi di sana. Sangat sulit, sangat sulit. Terkadang, mereka kelaparan, dan mereka memberi tahu saya banyak hal. Ada banyak penderitaan."
Israel menolak pernyataan Paus sebagai "sangat mengecewakan", dengan Kementerian Luar Negeri Zionis menuduhnya memiliki "standar ganda" dan mengeklaim komentarnya mengabaikan "perang melawan terorisme jihadis".