Trump Akan Akui Crimea Milik Rusia untuk Akhiri Perang Ukraina
Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akan mengakui Crimea sebagai wilayah Rusia. Langkah itu sebagai bagian dari usulan Amerika untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina.
Seorang pejabat Amerika yang mengetahui kerangka kerja tersebut mengungkapkannya kepada CNN.
Crimea, yang sebelumnya wilayah Ukraina, telah dikendalikan Rusia sejak 2014. Menurut Moskow, wilayah itu memisahkan dari Ukraina setelah peristiwa "Kudeta Maidan 2014" yang didukung Barat dan kemudian memilih bergabung dengan Rusia melalui referendum.
Kyiv dan sekutu Barat-nya tidak mengakui referendum tersebut dan menganggap Crimea dianeksasi atau dicaplok oleh Rusia.
Empat wilayah Ukraina lainnya—Donetsk dan Luhansk di timur serta Kherson dan Zaporizhzhia di selatan—juga sebagian dikuasai Rusia sejak invasi skala penuhnya pada tahun 2022. Seperti Crimea, Moskow juga menyatakan empat wilayah itu sudah memilih bergabung dengan Rusia melalui referendum.
Belum ada komentar langsung dari Kyiv terkait laporan tentang rencana Trump mengakui Crimea milik Rusia. Namun, laporan itu sepertinya tidak akan disambut baik oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang mengatakan pada Maret lalu bahwa pemerintahnya tidak akan mengakui wilayah pendudukan mana pun sebagai wilayah Rusia, dan menyebutnya sebagai "garis merah".
"Wilayah-wilayah itu mungkin akan menjadi salah satu isu yang paling sensitif dan sulit dalam perundingan damai," kata Zelensky saat itu, seraya menambahkan, "Bagi kami, garis merahnya adalah pengakuan wilayah Ukraina yang diduduki sementara sebagai wilayah Rusia. Kami tidak akan melakukannya.”
Usulan AS untuk mengakhiri perang juga akan memberlakukan gencatan senjata di sepanjang garis depan konflik, imbuh sumber pemerintah AS tersebut kepada CNN, yang dilansir Minggu (20/4/2025).
Menurut sumber tersebut, kerangka kerja itu dibagikan dengan pihak Eropa dan Ukraina di Paris, Prancis, pada hari Kamis. Hal itu juga dikomunikasikan kepada Rusia melalui panggilan telepon antara Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov.
Meskipun Presiden AS Donald Trump mengeklaim bahwa dia akan dapat mengakhiri perang di Ukraina dalam satu hari, upaya Amerika untuk mencapai kesepakatan damai sebagian besar terhenti karena sikap keras kepala Rusia, yang menyebabkan rasa frustrasi yang semakin meningkat di Gedung Putih.
Setelah Rubio memperingatkan pada hari Jumat bahwa AS siap untuk "melanjutkan" upaya untuk membawa perdamaian ke Ukraina dalam beberapa hari jika tidak ada tanda-tanda kemajuan yang nyata, Trump menawarkan pendekatan yang tidak terlalu keras, dengan mengatakan bahwa Rubio "benar" tetapi memproyeksikan lebih banyak optimisme tentang prospek kesepakatan.
Ketika didesak mengenai batas waktu bagi AS untuk mundur, Trump berkata: "Tidak ada jumlah hari tertentu, tetapi cepat, kami ingin menyelesaikannya."
Sumber yang berbicara kepada CNN mengatakan bahwa masih ada beberapa bagian kerangka kerja yang harus diselesaikan, seraya menambahkan bahwa AS berencana untuk bekerja sama dengan Eropa dan Ukraina pada minggu depan di London.
Pemerintahan Trump secara bersamaan merencanakan pertemuan lain antara utusan Trump untuk Timur Tengah Steve Witkoff dan Rusia untuk mengajak Moskow menyetujui kerangka kerja tersebut, lanjut sumber tersebut.
Laporan serupa juga diterbitkan Bloomberg. Namun, tokoh-tokoh pro-Ukraina kompak menentang proposal tersebut—yang belum difinalisasi dan belum dikonfirmasi secara independen.
Ketika dihubungi oleh Newsweek, Gedung Putih menolak berkomentar.
"Kami tidak akan mengomentari diskusi yang sedang berlangsung. Jika ada rincian, Gedung Putih akan mengumumkannya secara resmi," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih Brian Hughes.
Para pengguna media sosial pro-Ukraina menyatakan kemarahan atas laporan tentang proposal pemerintah Trump tersebut.
Akun "Jay in Kyiv", misalnya, yang memposting bahwa langkah tersebut akan membuat AS bergabung dengan jajaran kleptokrasi yang mengerikan seperti Korea Utara, Belarus, Rusia, Nikaragua, dan Venezuela.
Peneliti senior CEPA Olga Lautman memposting, "Crimea adalah dan akan selalu menjadi Ukraina, tidak peduli apa yang dikatakan Trump dan para penjahatnya."
Akun X "UA Voyager" menulis bahwa sebagai seseorang dari Crimea, pihaknya melihat aneksasi dari dekat, menambahkan, "Saya tahu seperti apa rasanya pendudukan. Saya tahu berapa banyak orang di Crimea yang masih percaya pada Ukraina. Dan sekarang—saya benar-benar tidak bisa berkata apa-apa."
Kelompok Ukraine Front Line, yang dijalankan oleh EuroMaidan PR, memposting bahwa jika Trump mengakui Crimea atau wilayah mana pun sebagai milik Rusia, maka semua negosiasi akan batal.
