Anies Puji 4 Mahasiswa Jogja Gugat Presidential Threshold: Demokrasi Selalu Menyala!
JAKARTA, iNews.id - Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memuji kontribusi empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang telah menggugat ketentuan presidential threshold 20 persen ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keempat mahasiswa itu yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoirul Fatna.
Dia bangga keempat mahasiswa termasuk dalam deretan penggungat ketentuan tersebut.
"Di antara deretan nama penggugat presidential threshold melalui Mahkamah Konstitusi sejak awal hingga kini, terdapat empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam gugatan terakhir yang berhasil dimenangkan," tutur Anies melalui unggahan akun X @aniesbaswedan, Sabtu (4/1/2025).
Anies pun menilai Enika dan kawan-kawan merupakan anak muda yang memperkuat demokrasi Indonesia. "Bukan anak muda yang melucutinya," kata dia.
Dia meyakini masa depan demokrasi di Tanah Air terjaga selama Indonesia memiliki anak muda seperti Enika dkk.
Terima Kunjungan Bupati dan Wakil Bupati Terpilih, Dico: Ini Mempermudah Transisi Pemerintahan
"Selama kita memiliki pemuda-pemudi seperti mereka, harapan untuk masa depan demokrasi Indonesia akan selalu menyala," kata Anies.
Adapun, Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei dan Tsalis Khoirul Fatna merupakan mahasiswa prodi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga angkatan 2021. Sedangkan Faisal Nasirul Haq dari Prodi Ilmu Hukum angkatan 2021.
Empat mahasiswa ini tergabung dalam Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK) Fakultas Syariah dan Hukum.
Rektor UIN Sunan Kalijaga, Noorhaidi Hasan mengapesiasi perjuangan keempat mahasiswanya. Mereka berhasil menerapkan kompetensi keilmuan dan keterampilan hukum yang diperoleh di kampus untuk beracara di MK.
“Mereka telah memperjuangkan terwujudnya demokrasi yang lebih baik dan inklusif di Indonesia,” katanya.
Sementara itu, Enika mengatakan, gugatan ini dilakukan setelah Pilpres 2024 untuk memastikan kajian yang dilakukan MK bersifat akademis dan tidak terpengaruh oleh tekanan politik.
“Kami hanya ingin keputusan MK benar-benar berdasarkan substansi hukum, bukan politik,” katanya.
Diketahui, MK mengabulkan gugatan nomor 62/PUU-XXII/2024 itu diajukan keempat mahasiswa itu.
Norma yang diuji oleh keempat mahasiswa itu adalah Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Norma itu menyatakan pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Namun karena gugatan itu dikabulkan, MK menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.
"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan, Kamis (2/1/2025).
MK menyatakan, ambang batas itu tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan.
“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapa pun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.
MK menilai, dengan terus mempertahankan ketentuan ambang batas minimal, maka ada kecenderungan di setiap pilpres hanya terdapat dua pasangan calon.
Padahal, berdasarkan pengalaman, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi jika pilpres hanya diikuti dua paslon saja.
Ambang batas juga berpotensi menghalangi banyaknya pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
“Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi,” kata Saldi.