Piagam Bendasari Bukti Penyelesaian Peradilan Sengketa Tanah di Kerajaan Majapahit
Momen persidangan sengketa tanah di zaman Kerajaan Majapahit dicatat dalam Piagam Bendasari. Saat itu terdapat perselisihan tanah di Desa Manuk antara Mapanji Sarana dan para pembesar-pembesar alias pejabat di Sima Tiga.
Mapanji Sarana yang berstatus rakyat biasa dibantu kawan-kawannya yakni Ki Karna, Mapanji Manakara, Ajaran Reka, Ki Saran, dan Ki Jumput. Sedangkan pembesar-pembesar Sima Tiga diwakili Panji Anawang Harsa sebagai juru bicaranya.
Menurut Mapanji Sarana, hak pakai tanah di atas sudah dimilikinya sejak dahulu kala. Sebaliknya, Panji Anawung Harsa menyatakan tanah tersebut adalah tanah sanda-gadai pada zaman sebelum ada uang perak di Jawa.
Tanah itu digadaikan oleh nenek moyangnya sebanyak dua takar perak. Demikianlah silih pendapat kedua belah pihak.
Sejarawan Prof Slamet Muljana pada bukunya "Tafsir Sejarah Nagarakretagama" menjelaskan, bagaimana proses persidangan diawali tanda rakryan memanggil orang-orang di sekitar tanah sengketa untuk memberikan kesaksian.
Kepala Diskominfotik Kabupaten Bandung Barat Terima Penghargaan Dharma Persandian dari BSSN
Keterangan para saksi dari desa-desa di sekelilingnya menyebutkan bahwa menurut pendengaran mereka tanah sima itu adalah tanah sanda-gadai, namun tidak diketahui asal-usul pemakaian istilah sanda-gadai.
Dar keterangan para saksi itu diputuskan, Panji Anawung Harsa kalah dalam sengketa tanah. Hakim memutuskan sengketa tanah itu sah milik Mapanji Sarana yang dikukuhkan pengadilan Majapahit.
Pengadil memerintahkan membuat piagam. Keputusan perkara itu berdasarkan kitab perundang- undangan Kutara Manawa dan kitab undang-undang lainnya serta merupakan keputusan resmi pengadilan. Piagam yang memuat keputusan tentang sengketa yang demikian disebut Jayapatra, bukti tertulis tanda kemenangan diserahkan kepada pemenang.
Prasasti Walandit yang dikeluarkan pada zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk memberitakan tentang keputusan sengketa antara orang-orang di Desa Walandit dan orang-orang di Desa Himad. Desa Walandit semula adalah daerah Swatantra, penduduknya mendapat tugas untuk memelihara dharma kabuyutan atau candi leluhur di Walandit.
Mereka hanya mengakui kekuasaan dharma kabuyutan atas lembah dan bukit di sekitar Desa Walandit. Namun, dalam perkembangan sejarah para pejabat Desa Himad menguasai Walandit.
Penduduk Walandit enggan mengakui kekuasaan pejabat-pejabat Himad dan menuduh mereka mencampuri urusan Desa Walandit.
Sebagai bukti, mereka mengemukakan piagam yang dikeluarkan Raja Sindok dan kesaksian orang-orang cacat yang bekerja di dharma kabuyutan. Sengketa antara orang-orang Desa Walandit dan para pejabat Himad diputuskan di luar pengadilan.