Sosok Perempuan Hebat di Balik Karakter Pangeran Diponegoro yang Religius
PANGERAN Diponegoro konon sudah sejak muda memiliki karakter kuat yang terbentuk dari orang-orang di sekelilingnya. Sosok ibu dan neneknya menjadi salah satu hal yang berperan penting membentuk karakter sang pangeran.
Alhasil ketika tumbuh dewasa Pangeran Diponegoro terkenal religius. Dia menjadi satu dari banyak pahlawan nasional Indonesia yang turut berjuang mengusir penjajah.
Sosok kereligiusan Pangeran Diponegoro sejak kecil hingga dewasa tak bisa dilepaskan dari peran keluarganya, terutama para kerabat perempuan di keluarga besarnya. Pembentukan karakter dan pandangan hidupnya tak bisa dilepaskan dari ibu dan neneknya.
Dikisahkan pada buku "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855" tulisan Peter Carey, Ibu Diponegoro merupakan selir Sultan Hamengku Buwono III bernama Raden Ayu Mangkorowati yang melahirkan Diponegoro saat berusia 15 tahun.
Raden Ayu adalah keturunan tokoh besar Kiai Ageng Prampelan, seorang tokoh yang satu masa dengan Raja Mataram Islam pertama Panembahan Senapati.
Diponegoro kecil hingga muda dihabiskan dalam pendidikan ibu dan nenek buyutnya Ratu Ageng atau disebut Ratu Ageng Tegalrejo yang merupakan anak perempuan Kiai Ageng Derpoyudo, guru agama terkenal yang dimakamkan di Majangjati dekat Sragen.
Ketika Diponegoro masih bayi, Ratu Ageng inilah yang menjadi pelindung setelah pendiri Keraton Yogya meramalkan suatu masa depan yang luar biasa untuk Diponegoro. Saat itu, Sultan Mangkubumi mengenali adanya kedalaman spiritual tertentu dalam diri Diponegoro yang membedakannya dari anggota keluarga lainnya.
Inilah yang membuat Diponegoro belajar agama Islam begitu serius sejak kecil. Ada kaitannya masa muda Ibu Diponegoro, yang baru berumur belasan tahun saat melahirkan mempengaruhi keputusan raja lanjut usia itu.
Bagi perempuan Jawa menjadi pengantin remaja dan ibu saat masih remaja merupakan hal biasa, termasuk di dalam lingkungan keraton.
Hingga berusia 18 tahun Diponegoro berada dalam pengasuhan para perempuan yang kuat. Hal itu yang menyumbang pengembangan aspek feminim wataknya seperti kepekaan dan intuisi nuraninya.
Ini kelak menjadi nyata dalam bakatnya membaca watak melalui ekspresi wajah yang disebut orang Jawa sebagai ngelmu firasat atau ilmu fisiognomi.
Nenek buyut Diponegoro inilah yang juga turut berjuang mengusir penjajah. Beliau mendampingi Sultan Hamengku Buwono I dalam seluruh perjuangan melawan Belanda selama Perang Giyanti antara tahun 1746-1755.
Ratu Ageng juga dikenal sebagai perempuan tangguh. Dia menjadi pengawal perempuan elite atau korps prajurit estri, satu-satunya formasi militer yang mengesankan Gubernur Daendels ketika dia mengunjungi Yogyakarta pada Juli 1809.
Nenek buyut Diponegoro juga dikenal akan kesalehan agama Islam. Dia menikmati sekali membaca kitab-kitab agama dan ingin menjunjung tinggi adat Jawa tradisional di lingkungan keraton.
Dari sanalah Diponegoro akhirnya kerap dekat para kiai, tokoh agama, hingga guru aliran kepercayaan Islam yang memiliki pengaruh di Pulau Jawa.