Peran Pemerintah dalam Upaya Penanganan Kesehatan Mental
JAKARTA - Kesehatan mental saat ini menjadi sorotan, karena makin banyak orang yang menyadari pentingnya menjaga kesehatan jiwa dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mendorong pemerintah aktif mengampanyekan kebijakan berbasis risiko, terutama kesehatan mental.
Direktorat Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan , Puspita Tri Utami mengatakan, kesehatan mental memiliki dampak yang signifikan terhadap produktivitas, hubungan sosial, dan kualitas hidup seseorang. Namun, kesehatan mental kadang diabaikan dan dipandang sebelah mata.
Edukasi dan kesadaran tentang kesehatan mental serta upaya destigmatisasi merupakan pendekatan-pendekatan strategis untuk mengurangi risiko kesehatan mental, ujarnya saat diskusi Masyarakat Sadar Risiko Indonesia (Masindo) bertajuk Membangun Kesadaran Risiko Kesehatan Mental di Lingkungan Kerja dikutip, Jumat (25/10/2024).
Sehingga, kata dia, pemerintah sangat fokus dan konsisten pada isu kesehatan mental. Sebab fenomena ini seperti gunung es, ketika masyarakat semakin aware, ini akan sangat membantu dan bagus sekali.
Profil dan Biodata Kolonel Inf Wahyo Yuniartoto, Ajudan Baru Prabowo Pengganti Mayor Teddy
Jika kesadaran pengurangan risiko pada kesehatan mental semakin meningkat, saya yakin visi Indonesia Emas 2045 akan bisa tercapai,pungkasnya.
Ketua Masindo, Dimas Syailendra, menjelaskan diskusi yang melibatkan pemerintah, peneliti, dan praktisi kesehatan ini merupakan salah satu upaya untuk mendorong perubahan perilaku masyarakat menuju gaya hidup yang sadar risiko.
Masindo ingin mengajak masyarakat untuk mulai memperhatikan risiko saat bekerja, khususnya kesehatan mental di lingkungan bekerja.
Dikatakannya, tantangan kesehatan mental, seperti kecemasan, depresi, dan stres, memiliki potensi besar untuk menghambat pencapaian produktivitas masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, pendekatan pengurangan risiko yang komprehensif, termasuk intervensi kebijakan, edukasi, dan dukungan psikologis, sangat diperlukan,pungkasnya.
Pakar Kesehatan Publik dan Ahli Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), Felosofa Fitriya, menekankan pentingya mengidentifikasi dan mengelola faktor risiko yang memicu gangguan mental di tempat kerja, seperti tekanan pekerjaan berlebih, kurang jelasnya peran, dan minimnya dukungan manajemen.
Mengelola faktor-faktor ini adalah tantangan besar, namun sangat penting untuk kesehatan mental pekerja, ujarnya.
Pembicara lainnya, Psikolog Sukmayanti Rafisukmawan, M.Psi, Psikolog, menjelaskan, kebiasaan-kebiasaan berisiko yang muncul akibat stres dan tekanan dalam lingkungan pekerjaan salah satunya dapat ditangani dengan pendekatan Cognitive Behaviour Modification (CBM).
Pendekatan ini menekankan pentingnya edukasi terkait kebiasaan yang masih dilakukan dan konsekuensinya secara akurat, serta dukungan tanpa stigma, tujuan yang realistis, dan pembentukan keterampilan dalam meregulasi emosi dan stres, ungkapnya.
Sukmayanti menambahkan kebiasaan berisiko ini diusahakan untuk dikurangi terlebih dahulu daripada dihentikan langsung secara tiba-tiba (cold turkey). Melakukan pengurangan secara bertahap (desentisisasi) dari kebiasaan-kebiasan berisiko yang timbul akibat tekanan pekerjaan dapat dijadikan sebagai solusi.
Sebagai contoh, kebiasaan merokok sangat sulit untuk dihentikan secara langsung, bahkan ketika berada di tempat kerja. Oleh sebab itu, perokok yang sulit berhenti merokok beralih ke modalitas terapi sulih nikotin dan produk tembakau alternatif, seperti rokok elektronik, produk tembakau yang dipanaskan, dan kantong nikotin, yang menerapkan konsep pengurangan risiko sambil terus melakukan konseling dengan psikolog.
Banyak kasus kebiasaan merokok tidak semuanya bisa berhenti 100 dan itu memang sulit dilakukan, namun jika terus dilanjutkan maka meningkatkan risiko kesehatan. Jadi bagi perokok dewasa yang sulit berhenti merokok dapat beralih ke produk alternatif yang secara ilmiah lebih menurunkan risikonya, tandasnya.
Dari sisi Dokter Spesialis Gizi Klinik, dr. Andri Kelvianto, M. Gizi, meminta pemerintah untuk menyediakan kerangka regulasi yang mendukung program-program edukasi gizi, termasuk pengembangan kampanye publik yang fokus pada pentingnya pola makan seimbang, pengurangan kebiasaan buruk, dan mengarahkan ke penggunaan alternatif yang lebih rendah risiko.
Di Amerika ada food and mood project. Pemerintah menyediakan makanan yang bergizi seimbang di sekolah. Bukan hanya diberikan makan, tapi betul-betul variasi gizinya diperhatikan untuk mencukupi food security. Hasilnya mood menjadi lebih bagus, sehingga menjadikan mereka lebih produktif. Ini akan mengurangi risiko orang untuk terkena gangguan kesehatan mental, pungkasnya.