SPECIAL REPORT: Asa Baru Komisi Antirasuah di Tangan Komjen Setyo Budiyanto
SETYO BUDIYANTO, perwira tinggi Polri berpangkat Komisaris Jenderal, telah terpilih sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2024-2029. Penetapan ini dilakukan setelah proses uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) oleh DPR RI pada 21 November 2024.
Pria kelahiran Surabaya, 29 Juni 1967 ini merupakan lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) angkatan 1989. Semasa di Polri, Setyo tercatat pernah menduduki sejumlah jabatan. Salah satunya Kasat tipikor Ditreskrim Polda Lampung dan Kasat Tipikor Polda Papua. Setyo juga tercatat pernah menjadi Direktur Penyidikan KPK pada medio tahun 2020. Dia juga pernah sebagai Koordinator Supervisi Kedeputian Penindakan KPK.
Komisi III DPR RI baru saja menentukan 5 (lima) orang figur yang akan memimpin KPK, yakni, Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Setyo Budiyanto sebagai Ketua, dan Fitroh Rohcahyanto (Jaksa aktif), Johanis Tanak (Pensiunan Jaksa/Petahana), Ibnu Basuki Widodo (Hakim), serta Agus Joko Pramono (Mantan Wakil Ketua BPK) sebagai pimpinan. Lalu bagaimana reaksi masyarakat?
Koordinator Divisi Pengelolaan Pengetahuan Indonesia Corruption Watch ( ICW ), Wana Alamsyah mengatakan, akhirnya KPK memiliki nahkoda baru. Namun, Wana memiliki penilaian bebeda. Menurut dia kontestasi pemilihan Pimpinan KPK berujung anti klimaks dan amat sangat mengecewakan.
"Bukannya menjadi harapan bagi perbaikan tata kelola kelembagaan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, pimpinan terpilih justru diyakini sebaliknya, bahkan berpotensi kian berdampak buruk bagi lembaga. Argumentasi ini bukan tanpa alasan jika mencermati sejumlah isu dalam penentuan pimpinan KPK ini," kata Wana dalam keterangannya kepada Okezone, Sabtu (23/11/2024).
Pertama, kata Wana, pemilihan figur tidak didasarkan pada aspek kompetensi dan rekam jejak kandidat, melainkan sekadar penilaian dan selera subjektif dari anggota komisi hukum DPR. Sinyal ini sudah bisa diprediksi saat proses uji kelayakan, dimana mayoritas pertanyaan untuk melihat pandangan kandidat mengenai revisi UU KPK pada tahun 2019 lalu dan mekanisme penindakan yang dilakukan oleh KPK melalui metode Operasi Tangkap Tangan (OTT).
"Mudah ditebak, Pimpinan KPK terpilih merupakan kandidat yang jawabannya sangat kontra-produktif dengan semangat pemberantasan korupsi, misalnya, Setyo hingga Agus menyebutkan KPK masih perlu menerapkan OTT, namun perlu dibatasi dan selektif. Paling parah, Tanak yang secara gamblang berjanji menghapus OTT ketika dirinya terpilih kembali menjadi pimpinan yang mendapat tepuk tangan dari anggota dewan," ujar Wana.
Menurut Wana, momen tersebut sangat menggambarkan kesesatan pikir dari para anggota dewan dalam melihat penindakan pemberantasan korupsi. Masalah lain, Wana mengkritisi aspek kompetensi beberapa kandidat terpilih. Misalnya Fitroh yang menyebut revisi UU KPK pada tahun 2019 lalu tidak berdampak terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Sama halnya dengan Ibnu yang dengan lantangnya menyebut revisi UU KPK tidak melemahkan KPK secara institusi.
"Menariknya dia memberikan contoh mengenai penyadapan yang disebut harus dilakukan atas seizin Dewan Pengawas (Dewas) terlebih dulu. Ibnu dalam konteks ini tidak memahami dan terlihat asal berbicara. Sebab, kewenangan Dewas untuk memberikan izin penyadapan sudah dibatalkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-XVII/2019 yang diputus sejak tahun 2021 lalu," ketusnya.
Figur Pimpinan dari Klaster Aparat, Harus Mundur?
Kata Wana, komposisi pimpinan terpilih didominasi figur-figur dari klaster aparat penegak hukum. Tak tanggung-tanggung, empat dari lima pimpinan terpilih merupakan penegak hukum, baik aktif maupun purna tugas. Jika hanya mundur dari jabatan seperti yang tertuang dalam Pasal 29 huruf i UU KPK, bukan tidak mungkin mereka akan punya loyalitas ganda.
"Akibatnya, setiap tindakan yang nanti mereka ambil akan bias dengan kepentingan institusi asal. Sebagai catatan, Pasal 11 ayat (1) huruf a UU KPK menjelaskan bahwa salah satu subjek dari proses hukum yang ditangani oleh KPK adalah aparat penegak hukum Pertanyaan reflektif yang muncul adalah, apakah pimpinan dapat bertindak objektif dan imparsial jika pada masa mendatang KPK mengusut dugaan tindak pidana korupsi di instansi asalnya?," tanya Wana.
Atas dasar permasalahan itu, ICW mendesak agar pimpinan KPK terpilih yang berasal dari penegak hukum tidak hanya mengundurkan diri dari jabatannya, melainkan juga mengundurkan diri dari instansi asal, baik kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung.
Pimpinan KPK Terpilih Harus Solid, Jangan Ribut-ribut
Anggota Komisi III DPR RI, Gilang Dhielafararez memberikan pesan khusus bagi pimpinan dan Dewas KPK terpilih agar memiliki kekompakan dalam memberantas korupsi di Indonesia. “Pimpinan baru KPK dan Dewas KPK yang baru nanti harus bisa lebih solid, jangan ribut-ribut. Karena masalah internal antar-pimpinan akan mempengaruhi kinerja lembaga,” tutur Gilang dalam keterangannya.
"Kalaupun ada perdebatan harus diselesaikan secara baik-baik di dalam internal. Namun saat beraksi memberantas korupsi, semua pimpinan tetap harus kompak dan sinergi," imbuh Gilang. Selain itu, menurut Gilang, DPR ingin memastikan calon pimpinan KPK merupakan tokoh-tokoh berkualitas dan memiliki integritas tinggi.
Gilang menambahkan, penataan yang baik di level pimpinan dan dewan pengawas akan sangat berpengaruh terhadap efektivitas operasional KPK ke depan. Dia berharap pimpinan dan Dewas KPK terpilih bisa memiliki kapabilitas, integritas, dan mampu memastikan kerja sama yang baik dengan DPR serta stakeholder lainnya untuk mencapai tujuan anti-korupsi di Indonesia yang lebih luas.
"KPK ini memiliki peran yang sangat vital dalam menegakkan supremasi hukum dan memberantas praktik korupsi di Indonesia. Oleh karena itu, pemilihan pimpinan dan Dewas KPK merupakan momentum penting yang harus dimanfaatkan secara maksimal," ungkap Gilang.
Menanti Gebrakan Pimpinan KPK Terpilih
Anggota Komisi III DPR RI, Gilang Dhielafararez mengatakan, sebagai wakil rakyat memainkan peranan yang signifikan dalam memastikan pilihan pimpinan dan Dewas KPK merupakan keputusan terbaik demi masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia. Gilang menyebut, kini saatnya para pimpinan KPK dan Dewas KPK terpilih membuktikan kapabilitas dan integritasnya di lembaga anti-rasuah itu.
“DPR bersama rakyat menantikan gebrakan dari KPK dalam upaya penegakan anti korupsi. Masyarakat tentunya menaruh harapan besar kepada Pimpinan KPK dan Dewas KPK terpilih ini demi Indonesia terbebas dari praktik-praktik korupsi,” kata Gilang.
Visi Setyo Budiyanto untuk KPK
Dalam sesi uji kelayakan di DPR, Setyo mengutamakan kolaborasi yang harmonis antar-lembaga penegak hukum untuk meminimalkan ego sektoral, dan memperkuat komitmen antikorupsi.
Dan ia juga berpendapat bahwa pendekatan yang selektif dalam operasi tangkap tangan (OTT) sangat diperlukan, untuk mengurangi kemungkinan terjadinya perlawanan hukum, seperti praperadilan. "OTT harus dilakukan secara rigid dan bersih untuk membuka perkara-perkara besar," tegas Setyo.
Setyo Budiyanto Jadi Ketua KPK 2024-2029, Ini Anggotanya
Komisi III DPR RI telah sepakat memilih lima Komisioner dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2024-2029. Kesepakatan dilakukan setelah komisi hukum itu telah menggelar uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test).
Mulanya, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menjelaskan mekanisme tata cara pemilihan. Selanjutnya, surat suara dibagikan kepada masing-masing anggota Komisi III DPR RI. Setelah itu, Habiburokhman mempersilahkan para anggota untuk memilih para Komisioner sekaligus Ketua KPK dan Dewas KPK.
Proses penghitungan pun dimulai yang dipimpin oleh Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman. Hasilnya, Setyo Budiyanto terpilih menjadi Ketua KPK periode 2024-2029. Sementara empat anggota atau Komisioner KPK yakni Fitroh Rohcahyanto, Johanis Tanak, Ibnu Basuki Widodo dan Agus Joko Pramono.
Harta Kekayaan Setyo Budiyanto
Mengutip Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), Jumat (22/11/2024), Setyo tercatat memiliki kekayaan hingga Rp9,6 miliar. Harta tersebut terdiri dari tanah, bangunan hingga kendaraan.
Untuk tanah dan bangunan Setyo mencapai Rp7,6 miliar yang ada di Kota Tangerang, Kota Makassar dan Kota Bogor. Semua tanah dan bangunannya diperoleh dari hasil sendiri.
Dirinya juga memiliki alat transportasi sebesar Rp946 juta. Terdiri dari Sepeda RB 2020, Piaggio Vespa 2016, Trek RB dan Mobil Toyota LX 2012.
Harta bergerak lainnya mencapai Rp360 juta. Kas dan setara kas Setyo mencapai Rp705 juta. Tidak memiliki utang.
Setyo Budiyanto Siap Hadapi Tugas Berat di KPK
Eks Penyidik KPK Yudi Purnomo menyatakan bahwa tugas berat menanti kepemimpinan lembaga antirasuah kedepan. Diantaranya adalah, memulihkan kepercayaan terpik yang semakin menurun.
Pernyataan Yudi tersebut menanggapi terpilihnya Setyo Budiyanto sebagai ketua KPK. Ia meyakini, Setyo mampu menghadapi tugas berat di lembaga antikorupsi tersebut.
"Tidak ada rekam jejak buruk Setyo selama di KPK. Malah banyak kasus besar yang ditangani Setyo sebagai Dirdik," kata Yudi, Jumat (22/11/2024).
Menurut Yudi, KPK belakangan lebih banyak kontroversi dibanding dengan prestasi kerja. Namun Yudi percaya bahwa Setyo bisa karena pengalamannya pernah sebagai orang dalam KPK. "Sebagai Direktur Penyidikan KPK sehingga tentu penindakan korupsi akan menjadi prioritasnya," ujarnya.