Rakyat Indonesia yang (Tak) Berdaulat Lagi, Kekuasan Politik: Sovereign or Authority

Rakyat Indonesia yang (Tak) Berdaulat Lagi, Kekuasan Politik: Sovereign or Authority

Nasional | okezone | Selasa, 10 Desember 2024 - 17:11
share

PASCA-PEMILU dan Pilkada 2024, publik Indonesia masih diriuhkan oleh isu politik nasional dan daerah. Keterpilihan Prabowo Subianto yang menggandeng Gibran Rakabuming sebagai pucuk pimpinan eksekutif nasional dan “menyatunya” partai-partai dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus menjadi satu tarikan nafas dengan keterpilihan kepala daerah, baik itu Gubernur, Bupati maupun Walikota berserta para wakilnya pada Pilkada yang baru saja selesai dihelat. 

Situasi ini menarik untuk dibaca, karena terdapat fenomena besar dimana kedaulatan rakyat hancur dan kekuasaan mengarah pada otoriterianisme. Mengapa demikian? Membaca realitas politik ini, tentu kita harus bisa membedakan tentang kedaulatan (sovereign) dan kewenangan (authority) sebagai satu terminologi berbeda dalam politik. Dalam demokrasi, kedaulatan adalah hak mutlak individu warga negara, tidak boleh diganggu siapapun. Prinsip utama kedaulatan adalah harus langsung (tanpa diwakilkan), umum (diiukuti oleh semua tanpa kecuali), bebas (tak boleh ada intervensi siapapun), dan rahasisa (tak saling mengumbar pilihannya kepada siapapun). 

Berangkat dari prinsip diatas bahwa kedaulatan berada pada orang per-orang dan memiliki hubungan yang kompleks dari setiap kekuatannya yang terus berubah-ubah. Ini Michel Foucault sebagai kekuasaan eksis dan beraksi dimana dan kapan saja karena melekat secara inhern dalam diri setiap individu.

Di Indonesia, sejak Orde Baru berkuasa hingga sekarang hal ini dikenal dengan istilah Luber, langsung umum bebas rahasia. Sementara itu, kewenangan (authority) adalah legitimasi berkuasa seseorang setelah berhasil memenangkan kontestasi, baik itu Pemilu maupun Pilkada. Pemenang kontestasi pemilu adalah pemegang legitimasi kekuasaan atau disebut authority power. Kedaulatan rakyat yang berserak tersebut dihimpun melalui Pemilu atau Pilkada untuk menjadi kedaulatan kolektif. Oleh penyelenggara pemilu, suara rakyat nantinya akan dikonversi menjadi kursi kekuasaan. Dalam masyarakat modern, bentuk kedaulatan kolektif itu bernama negara, sebagai organisasi kekuasaan politik tertinggi. Kelak, negara akan memproduksi hukum-hukum dalam rangka melaksanakan kehendak kedaulatan dan mengatur warganya untuk tunduk pada kehendak kedaulatan kolektif tersebut. Seseorang atau sekelompok orang yang berkontestasi dalam pemilu adalah mereka yang mengejar legitimasi kekuasaan dari para pemilik kedaulatan, yakni individu-individu rakyat.  Mereka inilah yang nantinya disebut sebagai penguasa, yakni pemegang kewenangan mengatur kekuasaan politik (Rapar, HJ: 2002).

The Power (kekuasaan) adalah kemampuan berbuat dan bertindak yang legitimit. Dimana seseorang atau sekelompok orang sah mempengaruhi tingkah laku orang lain sehingga menyebabkan bertindak sesuai keinginan pemilik kekuasaan itu (Alfan Alfian (2009). Dengan demikian, kekuasaan adalah konsep yang berhubungan erat dengan masalah pengaruh, kekuatan, dan kewenangan. Tujuan utamanya untuk mengerjakan sesuatu yang mendatangkan kemaslahatan bersama. Tapi fakta sejarah, kekuasaan politik selalu mengarah pada kekuasaan yang tiran. Kehadiran politik sesungguhnya adalah berkaitan erat dengan fitrah manusia tentang cara mewujudkan keadilan melalui kepemimpinan, perlindungan dan kekuasaan. Walau realitasnya, politik melahirkan perlindungan dan kekuasaan yang berlebih-lebihan. (Bertens K: 1999).

 

Konsepsi kekuasaan politik terdiri dari dua suku kata utama, yakni kekuasaan dan politik. Kuasa atau kekuasaan adalah kemampuan untuk membuat gerak yang tanpa kehadiran kuasa ataupun kekuasaan tidak akan terjadi gerak dimaksud, maka kekuasaan politik bisa disebut sebagai kemampuan untuk membuat orang lain atau masyarakat (warga) melakukan sesuatu atas perintah pemegang kekuasaan. Varian terdekat dari istilah kekuasaan politik adalah kewenangan, yakni hak mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturan serta mengharapkan kepatuhan terhadap peraturan-peraturannya tersebut. Kewenangan ini tentu berbeda dengan kekuasaan sebab dia dibatasi oleh kewenangan pihak/lembaga lain.

Refleksi Pemilu dan Pilkada 2024 

Alih-alih negara memproduksi hukum untuk melaksanakan kehendak rakyat, Pemilu dan Pilkada 2024 malah memunculkan anomali. Sejak Presiden Jokowi terbuka ke-publik akan melakukan cawe-cawe politik di Pemilu 2024, sejak itulah penguasa republik ini secara “gamlang” memproduksi hukum untuk memayungi ambisi politiknya.  Pemegang kewenangan kekuasaan telah menapikan kehendak rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Pemegang kewenangan negara secara sadar menampakan ketidaknetralannya, cawe-cawe memengaruhi kedaulatan rakyat dengan segala instrumen kekuasaan yang sedang dipeganggnya. 

Politik yang harus tunduk pada hukum, malah sebaliknya. Sejumlah fakta menunjukan determinasi dan keangkuhan politik penguasa mengamputasi ketajian hukum tanah air. Teori politik dan teori hukum yang ideal serta penuh heroisme yang dipelajari mahasiswa di ruang kelas telah direduksi oleh gelagat oportunisme politik sesaat. Soal Indonesia sebagai negara hukum hanyalah gimmick yang kontradiktif semata. 

Dalam berbagai catatan media masa, jkontestasi Pemilu 2024 telah banyak memberikan catatan kusam bagi sejarah Pemilu di Indonesia pasca reformasi tentang bagaimana campurtangan kekuasaan untuk memenangkan salah satu paslon dengan vulgar dipertontonkan.  Keberpihakan Presiden dan keterlibatan menteri-menteri untuk andil berkampanye, belum lagi  tangan gelap aparat penegak hukum bermain menekan dan mengintervensi simpul-simpul suara rakyat. Belum lagi politisasi uang negara melalui bantuan sosial menjelang hari-hari pemilihan berlangsung menjadi sekian banyak masalah yang terangkat kepermukaan. 

 

Selama proses Pemilu dan Pilkada 2024 berlangsung, negara ini telah mengalami keadaan politik hukum yang tidak sehat, sebab kepentingan individu, kelompok dan keluarga lebih diutamakan dibandingkan kepentingan rakyat. Pagar pembatas potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam konstitusi dihiraukan, dan tak sedikit dilanggar maupun ditafsirkan sesuai kepentingan kekuasaan. Menyaksikan kondisi politik hukum yang sedang terjadi, ini menandakan bahwa politik memang memiliki power lebih kuat dibandingkan hukum. Kecurigaan publik terkait dugaan terjadinya kecurangan Pemilu dan Pilkada bukanlah spekulasi tak mendasar. Bahkan, dengan ketersediaan akses informasi melalui media sosial yang praktis publik dapat dengan cepat menerima segala bentuk informasi aktual dari berbagai wilayah dengan mudah. 

Tidak sedikit temuan masyarakat mengenai pelanggaran pemilu mencuat ke permukaan media hingga viral. Namun lagi-lagi, dari maraknya laporan publik soal dugaan kecurangan pemilu tak sedikit tanggapan dari pengawas atau penyelenggara pemilu selain mendiamkan masalah hingga tenggelam dan terlupakan. Dan begitulah realitas interaksi politik yang saat ini dipertontonkan: sanksi tak bertaji dan hukum yang impotensi. 

Alam, Hidup dan Manusia

Mari lupakan sejenak realitas politik tanah air Indonesia. Mari kembali merenungi, bagaimana kekuasaan sejatinya harus dikelola. Kita mesti meluruskan pandangan mengenai falsafah hidup di dunia. Ini adalah keterkaitan antara alam, hidup (nyawa), dan keberadaan manusia. Pemahaman yang benar tentang ketiganya tersebut akan membentuk cara berfikir yang positif bagi kelangsungan bangsa kedepan. 

Manusia hidup di muka bumi (alam semesta) dan memerlukan pandangan yang mendalam mengenai alam semesta, hidup, dan manusia. Pasti ini menghantarkan kepada pandangan hidup yang benar, dimana system keyakinan bermasyarakat tertanam dalam ruh, akal dan jasad manusia. Alam semesta, manusia, dan hidup merupakan materi yang ketiganya memiliki energi tak terlihat. Alam semesta adalah materi, dan manusia juga materi. Demikian pula halnya dengan hidup, ia adalah materi. Jadi, aspek imaterial datang  bukan dari zat/unsur alam, hidup, dan manusia itu sendiri, melainkan dari keberadaan ketiganya sebagai materi. Hubungan inilah yang dimaksudkan dengan aspek imaterial. 

Hubungan keharusan mendirikan kekuasaan politik dan pandangan terhadap alam, hidup, dan kehidupan manusia diatas melahirkan satu pandangan baru, yakni aspek imaterial manusia. Kekuasaan politik adalah materi yang cenderung memuaskan nafsu penguasanya. Yang dimaksud dengan materi di sini adalah sesuatu yang dapat dijangkau dan diindera; baik materi itu didefinisikan sebagai sesuatu yang menempati ruang dan waktu atau didefinisikan sebagai tenaga yang dapat menggerakkan baik tampak maupun tidak tampak. Yang menjadi pokok masalah bukanlah pada bentuk materi itu sendiri, melainkan hal yang terkait dengan hubungan alam, hidup, dan manusia.  Penghubung tiga unsur tersebut adalah unsur imaterial, yakni kesadaran manusia akan hubungannya dengan di luar dirinya. Gerak imaterial ini kemudian melahirkan prilaku baik atau buruk.

 

Konsepsi Kekuasaan Politik

Dengan mendeskripsikan alam, hidup dan manusia  sebagai materi, tergambar argumentasi tentang hakikat kekuasaan politik. Dimana ruang imaterial mestinya mempengaruhi tindakan berpolitik. Kesadaran mendalam manusia harusnya mampu menghubungkan kekuatan materi dan imaterial berdasarkan akalnya. Kita bisa menyusun konsepsi kekuasaan politik dalam satu system sosial dunia sebagai makhluk material yang tak bisa lepas dari kekuatan imaterial yang menguasai dan dikuasai dirinya. Kebebasan manusia sebagai makhluk yang bisa menguasai sesuatu dibatasi oleh kenyataan adanya hal-hal yang tak bisa dikuasai dirinya sendiri.  Di sini manusia terjepit pada dua sifat, yakni musayyar (dikendalikan) dan mukhayyar (diberi pilihan). 

Konsep kekuasaan politik adalah gagasan kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan  kekuasaan itu sendiri. Negara adalah final sebagai organisasi penegakan kedaulatan hukum, bukan negara kedaulatan kekuasaan, apalagi kedaulatan sekelompok orang (oligarki). Kekuasaan Politik harus mengutamakan Negara Kesatuan, bukan negara keakuan. Dalam demokrasi, Presiden bukanlah sumber hukum, sebab kedaulatan politik negara berada di tangan rakyat. Presiden merupakan wakil rakyat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan sesuai hukum-hukum yang disepakati bersama. Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota dipilih dan dibaiat oleh rakyat melalui Pemilu atau Pilkada. Mereka harus tunduk dan patuh kepada pemilik kedaulatan, bukan sebaliknya mengatur apalagi mengintervensinya. Seluruh tindakan pemegang kewenangan kekuasaan harus tunduk dan patuh hukum-hukum. Seluruh tindakan, kebijakan, keputusan hukum, serta pengaturannya harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat.


Penulis : Ace Sumirsa Ali, Sekolah Tinggi Filsafat “Sadra” Jakarta

Topik Menarik