Perayaan Natal Wujudkan Perdamaian dan Interaksi Antarumat Beragama
Dalam konteks keberagaman yang diusung oleh bangsa Indonesia, perayaan Natal perlu diberikan perhatian yang sama seperti dengan perayaan agama lainnya. Hal ini bertujuan untuk mereduksi sikap intoleransi agama yang masih ada saja di beberapa kelompok masyarakat.
Hal itu dikatakan Pdt. Risang Anggoro Elliarso, akademisi dari Sekolah Tinggi Agama Kristen (STAK) Marturia Yogyakarta. Menurutnya Natal adalah momen untuk menyambut kelahiran Kristus sebagai Sang Raja Damai.
“Dalam konteks ini, setiap individu diharapkan dapat berkontribusi dalam mewujudkan perdamaian. Perdamaian tidak hanya berarti tidak adanya konflik, tetapi juga mencakup keadilan dan integritas seluruh ciptaan. Keadilan harus diperjuangkan untuk semua pihak, dan setiap individu perlu berupaya menjaga kesejahteraan sesama manusia serta alam ciptaannya,” ujar Pdt Risang dikutip Rabu (25/12/2024).
Ia mengusulkan, salah satu solusi untuk melawan intoleransi adalah dengan meningkatkan interaksi antarumat beragama. Menurutnya, perjumpaan dan saling mengenal dapat membangun kepercayaan antarindividu.
Dengan semakin sering berinteraksi, masyarakat dapat mengurangi prasangka dan stereotip yang sering muncul akibat ketidaktahuan.
Pdt. Risang menyatakan, dari yang semula orang asing lalu menjadi tetangga dan lama-lama bisa jadi sahabat bahkan saudara. Hal ini menunjukkan bahwa dialog yang terbuka dan inklusif sangat penting dalam membangun hubungan antaragama.
“Dengan saling mengenal satu sama lain, saya yakin umat beragama di Indonesia akan mengedepankan aspek kemanusiaan dalam menyelesaikan persoalan yang suatu saat bisa saja muncul,” ungkapnya.
Dia mengungkapkan bahwa merayakan perayaan agama bersama merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Ia mengingatkan bahwa sejarah menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia telah lama hidup berdampingan dalam keberagaman. Namun belakangan ini, ada kelompok yang cenderung mau memisahkan diri berdasarkan agama.
“Kita justru sekarang malah seringkali dipaksa untuk tidak bisa merayakan hari keagamaan dengan umat yang berbeda, namun harus dengan yang sama agamanya. Ini menunjukkan bahwa ada tantangan besar dalam menjaga tradisi toleransi yang telah ada,” jelas Risang.
Selain itu, Risang juga mengajak masyarakat untuk melakukan re-learning atau mempelajari kembali kearifan lokal yang ada. Ia menekankan bahwa warisan budaya toleransi harus diangkat kembali agar masyarakat dapat hidup dalam harmoni.
Bukan lalu jadi sangat homogen; yang Muslim merayakan sama yang Muslim saja, yang Kristen sama yang Kristen.
“Nilai-nilai luhur yang telah ada perlu terus dipertahankan dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan semboyan negara kita Bhinneka Tunggal Ika,” tutur Pdt. Risang yang juga aktif mengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
Pdt. Risang juga menggarisbawahi pentingnya moderasi beragama sebagai pendekatan untuk mengatasi intoleransi. Dia mencatat bahwa meskipun moderasi dan toleransi sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia, masih banyak tantangan yang harus dihadapi.
Ia merujuk pada pentingnya kembali kepada prinsip-prinsip dasar toleransi yang telah ada.
Dalam menghadapi ancaman radikalisme berbasis agama, dialog dan interaksi antarumat beragama harus dapat ditingkatkan. Dengan demikian, potensi ancaman dari radikalisme dapat diminimalisir.
Pdt. Risang pun menyampaikan pesan Natal bagi bangsa Indonesia, agar semua menyambut Natal Sang Raja Damai dengan kerukunan dan menghadirkan kedamaian dimanapun berada dalam porsi dan tugasnya masing-masing.
“Harapannya akan terciptanya suasana damai di tengah keberagaman agama dan kepercayaan di Indonesia,” ujarnya.
Menurut Pdt. Risang, upaya untuk mengatasi intoleransi beragama di Indonesia memerlukan keterlibatan semua pihak. Dialog terbuka, perjumpaan antarumat beragama, serta penguatan nilai-nilai toleransi adalah langkah-langkah penting menuju masyarakat yang harmonis.
“Dengan mengedepankan kerukunan dan saling menghargai, bangsa Indonesia dapat terus maju sebagai negara yang kaya akan keberagaman tanpa terjebak dalam konflik sektarian. Intoleransi bukanlah jalan keluar, sebaliknya persatuan dalam keberagaman adalah kunci untuk masa depan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia,” tegasnya.