Politik Disinformasi dan Gangguan Perhatian Kolektif

Politik Disinformasi dan Gangguan Perhatian Kolektif

Nasional | sindonews | Selasa, 8 April 2025 - 06:29
share

Taufiq Fredrik PasiakIlmuwan Otak dan Dekan Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta

KITA hidup di zaman yang aneh. Informasi datang seperti hujan badai, tapi kesadaran publik justru makin keruh. Bukan karena kurang data, tapi terlalu banyak, terlalu cepat, dan terlalu kacau. Distraksi (mudah teralih perhatian) menjadi tanda kekacauan.

Inilah era kelelahan informasi. Dalam situasi seperti ini, perhatian publik adalah komoditas paling berharga. Dan ketika perhatian jadi rebutan, maka pengalihan isu dan disinformasi menjadi alat paling efektif untuk mempertahankan kekuasaan.

Disinformasi hari ini bukan sekadar berita palsu. Ia adalah strategi. Dirancang dengan presisi, dibungkus dalam lelucon, diunggah lewat akun anonim, disebar oleh algoritma, dan diterima oleh jutaan orang dalam hitungan detik.

Isinya bisa ringan, bisa lucu, bisa bikin marah, tapi tujuannya sama: mengalihkan, membelokkan, menenggelamkan yang penting. Ketika masyarakat seharusnya membahas ketimpangan, harga pangan, atau korupsi, yang muncul di linimasa justru selebritas, prank politik, dan drama yang tak penting tapi memancing emosi.

Dalam politik Indonesia, pola ini sangat nyata. Setiap kali menjelang pemilu, krisis nasional, atau isu kebijakan besar, ruang digital dipenuhi kabut. Bukan kabut udara, tapi kabut perhatian.

Berdasarkan laporan Yusof Ishak Institute (Issue 7, 2022) berjudul "Cybertroops, Online Manipulation of Public Opinion and Co-optation of Indonesia’s cybersphere" (Yatun Sastramidjaja & Wijayant), pola penyebaran disinformasi di Indonesia meningkat tajam menjelang pemilu, saat terjadi krisis nasional, atau ketika pemerintah menghadapi tekanan politik.

Studi ini mengungkap bahwa tim siber yang terorganisir -sering disebut cybertroops- secara aktif menyebarkan konten yang memanipulasi opini publik melalui media sosial.

Taktik yang digunakan mencakup menyebarkan informasi menyesatkan, memperkuat narasi yang menguntungkan kelompok tertentu, serta menciptakan kebisingan digital agar isu-isu penting tenggelam.

Praktik ini bukan hanya menciptakan kebingungan, tetapi juga mengikis kemampuan publik untuk berpikir kritis, memperlemah partisipasi bermakna, dan pada akhirnya menjadi ancaman serius bagi kualitas demokrasi di Indonesia. Hoaks bukan cuma muncul dari kubu politik, tapi juga dari konten viral yang tampaknya apolitis.

Padahal semuanya bekerja dalam satu ekosistem, menjauhkan publik dari berpikir kritis. Kenapa strategi ini bisa begitu efektif? Karena otak manusia, secara evolusioner, tidak dirancang untuk menangani ledakan informasi modern.

Dalam satu hari, kita bisa menerima ratusan hingga ribuan notifikasi, sementara sistem atensi di otak -khususnya Reticular Activating System (RAS)- hanya mampu menyaring informasi yang dianggap paling relevan untuk kelangsungan hidup. RAS bertindak sebagai "gerbang perhatian" yang memfilter jutaan stimulus dan secara otomatis mengarahkan fokus pada hal-hal yang memicu emosi atau dianggap mendesak (Pfaff, 2006).

Secara biologis, otak manusia memprioritaskan emosi seperti takut, marah, dan jijik, karena emosi-emosi ini terbukti membantu manusia bertahan hidup sejak zaman purba (LeDoux, 1996). Penelitian juga menunjukkan bahwa otak bisa merespons emosional lebih cepat dibanding proses berpikir logis; kita merasa dulu, baru berpikir (Zajonc, 1980).

Itulah sebabnya dalam dunia digital, konten emosional lebih cepat menyita perhatian dan lebih sering tersebar luas dibandingkan data atau argumen logis. Ketika sistem saraf kita terus dipapar oleh gelombang emosi, kemampuan untuk berpikir kritis jadi tumpul, dan publik lebih mudah diarahkan.

Jangan heran, disinformasi yang paling viral selalu mengandung muatan emosi tinggi. Algoritma media sosial tahu betul bahwa manusia lebih mudah bereaksi daripada berpikir. Amigdala, bagian otak yang mengatur emosi dasar, bekerja jauh lebih cepat daripada prefrontal cortex yang mengatur logika.

Dalam banyak kasus, kita sudah membagikan konten sebelum sempat mengecek isinya. Karena emosi kita sudah lebih dulu dipegang. Di dunia digital, ini sangat dimanfaatkan. Ditambah dengan efek echo chamber -di mana kita hanya melihat informasi yang memperkuat keyakinan sendiri- kita makin sulit membedakan mana realitas, mana rekayasa.

Kelelahan informasi menciptakan kelelahan berpikir. Publik menjadi cepat reaktif, mudah tersinggung, dan makin malas mengecek sumber. Otak, yang terus dipapar stimulus emosional, akhirnya menutup pintu terhadap refleksi. Otak alami kelelahan kritis. Dan saat itu terjadi, kita jadi mudah diarahkan. Digerakkan bukan oleh akal sehat, tapi oleh rasa takut, rasa jijik, atau bahkan sekadar kebosanan.

Seperti yang dikatakan Gramsci (1971), kekuasaan modern tak lagi mengandalkan represi fisik. Ia bekerja lewat kendali budaya, kebiasaan, dan cara berpikir. Di era digital, kekuasaan cukup memproduksi kebisingan. Dan saat publik sibuk menanggapi hal remeh, kebijakan penting disahkan tanpa pengawasan (anda ingat sejumlah UU yang disahkan di tengah kebisingan publik?)

Media sosial telah berubah dari alat komunikasi menjadi mesin produksi realitas. Ketika sesuatu viral, kita mengira itu penting. Padahal belum tentu. Banyak konten didesain untuk viral, bukan untuk bernilai. Otak kita, jika terus-menerus dipapar konten cepat, pendek, dan emosional, akan kehilangan daya refleksi.

Kita merasa aktif secara politik hanya karena ikut komentar atau share, padahal kita sedang terjebak dalam ilusi partisipasi.

Yang lebih berbahaya: publik jadi kehilangan daya tekan. Bukan karena bodoh, tapi karena lelah. Banyak orang cerdas akhirnya tenggelam dalam debat yang dangkal, bukan karena tidak peduli, tapi karena terlalu banyak hal yang harus direspons tanpa arah.

Ini menciptakan publik ilusi -aktif secara digital, tapi pasif secara politik. Apa yang bisa kita lakukan? Pertama, kita harus sadar bahwa ini bukan sekadar masalah moral atau etika, tapi juga persoalan biologis. Kita perlu memahami bagaimana otak kita bekerja- bagaimana emosi memengaruhi perhatian, bagaimana algoritma memanfaatkan impuls kita, dan bagaimana sistem saraf bisa dibajak oleh sensasi.

Kedua, penting untuk mengembangkan literasi media berbasis ilmu otak. Pendidikan harus mengajarkan bukan hanya cara mencari sumber valid, tapi juga bagaimana mengenali manipulasi emosi. Kita perlu tahu bahwa jika suatu konten membuat kita langsung marah atau takut, itu mungkin bukan kebenaran, tapi pancingan.

Ketiga, batasi paparan konten ekstrem. Tidak semua yang viral penting. Tidak semua yang menghibur itu sehat. Otak butuh ruang tenang untuk berpikir, dan kita perlu membiasakan diri menahan jempol sebelum bereaksi.

Keempat, dukung jurnalisme mendalam dan independen. Kita butuh lebih dari sekadar headline. Kita perlu narasi yang utuh, konteks yang jernih, dan analisis yang tajam. Demokrasi tidak akan bertahan jika rakyatnya hanya membaca caption.

Kelima, bangun ruang diskusi kecil. Di keluarga, di komunitas, di sekolah. Bicarakan isu-isu besar secara manusiawi. Kembalikan politik ke ruang kesadaran, bukan sekadar arena adu emosi.

Karena hari ini, politik bukan lagi soal siapa yang punya kekuasaan, tapi siapa yang bisa mengendalikan perhatian kita. Dan dalam dunia yang penuh gangguan, kemampuan untuk fokus pada yang penting adalah bentuk perlawanan paling radikal.

Jangan biarkan perhatian Anda dibajak. Karena di situlah letak kebebasan yang sejati. Dan dari situlah perubahan dimulai.

Topik Menarik