Berkaca Penanganan Covid-19, WHO Diminta Susun Panduan Pandemi yang Berkeadilan
JAKARTA – Ketimpangan dalam penanganan pandemi terjadi saat dunia menghadapi Covid-19. Untuk itu, AIDS Healthcare Foundation (AHF) Indonesia menekankan peran penting negara-negara Asia dalam memperjuangkan keadilan dan kesetaraan dalam negosiasi WHO Pandemic Agreement. WHO diminta membuat kerangka kerja yang mendesentralisasi pendekatan terhadap kesiapsiagaan dan respons pandemi serta melindungi semua negara.
Hal itu berkaca dari pengalaman langsung terkait dampak pandemi COVID-19 dan tantangan-tantangan dalam mengamankan vaksin serta komoditas kesehatan lainnya.
Country Program Manager AHF Indonesia, Asep Eka Nurhidayat mengatakan, Pandemi COVID-19 memperlihatkan kesenjangan kritis dalam akses layanan kesehatan, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
“Akses terhadap vaksin dan pasokan penyelamat kehidupan tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara kaya atau maju. Dengan memajukan produksi yang terdesentralisasi dan menerapkan berbagi teknologi, Asia dapat memimpin upaya menuju kerangka kesehatan global yang lebih adil dan lebih siap,” ucapnya, dikutip Rabu (6/11/2024).
“Melalui komitmen bersatu untuk kesetaraan berkeadilan, kita dapat menciptakan Pandemic Agreement yang tidak hanya melayani Asia tetapi juga membangun ketahanan untuk semua, memastikan tidak ada wilayah yang dibiarkan rentan dalam krisis di masa depan,” ucapnya.
Terkait hal itu, para advokat yang tergabung dalam Save Our Society (SOS) mendesak agar pandemic agreement yang baru mencakup:
Pertama, Kapasitas Produksi Regional (Regional Production Capacity) atau mekanisme konkret untuk memfasilitasi produksi vaksin lokal, diagnostik, dan therapeutics di negara-negara south global. Hal ini memerlukan peta jalan yang mengikat transfer pengetahuan, teknologi, dan pembiayaan berkelanjutan jangka panjang, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 9, 10, dan 11 dari rancangan pandemic agreement.
Kapolsek Dumai Timur Pimpin Langsung Kegiatan Gotong Royong Perbaiki Akses Jalan Utama Warga
Kedua, Transfer Teknologi (Technology Transfer) yakni ketentuan yang dapat dipaksakan untuk memastikan bahwa transfer teknologi tidak dibatasi pada syarat sukarela dan yang disepakati bersama, tetapi memberikan negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMIC) fleksibilitas yang sama seperti negara kaya seperti Amerika Serikat, yang dapat menggunakan cara non-sukarela dan langkah-langkah tambahan untuk mengatasi keadaan darurat kesehatan masyarakat dan krisis lainnya.
Ketiga, Pembiayaan Berkelanjutan (Sustainable Financing). Perjanjian harus menjamin komitmen finansial jangka panjang yang mengikat negara-negara berpenghasilan tinggi untuk mendukung kesiapsiagaan dan respons pandemi bagi negara-negara LMIC. Kontribusi sukarela (voluntary contribution) saja tidak akan cukup, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 20.
Keempat, Partisipasi Masyarakat Sipil (Civil Society Participation), Efektivitas Tata kelola kesehatan global kini mengakui peran penting masyarakat sipil dan non-state actors lainnya dalam proses pengambilan keputusan. Mengadopsi model tata kelola yang memasukan partisipasi penting dan dapat meningkatkan legitimasi, memperkuat akuntabilitas, dan mengubah arsitektur keamanan kesehatan global menjadi sistem yang lebih adil dan efektif untuk mencegah, mempersiapkan, dan merespon ancaman kesehatan global dengan lebih baik.
Saat negosiasi pandemic agreement mencapai titik kritis, AHF sekali lagi mengimbau negara- negara Asia untuk mendukung perjanjian yang berarti banyak dan dapat memaksa promosi kesetaraan kesehatan masyarakat serta membangun masa depan yang siap dan tangguh.