Alasan Izin 20 Bank Dicabut
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin usaha sebanyak 20 BPR/S sepanjang 2024. Pencabutan izin dilakukan untuk menjaga dan memperkuat industri BPR/BPRS serta melindungi kepentingan konsumen setelah pemegang saham dan pengurus BPR/S tidak mampu melakukan upaya penyehatan.
“OJK pada saat ini terikat UU P2SK, di mana status BDP (bank dalam penyehatan) tidak boleh melampaui satu tahun," kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan (PBKN) OJK Dian Ediana Rae di Jakarta, Selasa.
1. Pencabutan izin BPR
Dian mengatakan pencabutan izin usaha (CIU) pada bank perekonomian rakyat (BPR) dan bank perekonomian rakyat syariah (BPRS) tersebut tidak serta merta dilakukan.
Dalam hal ini, pengawas senantiasa memantau realisasi rencana tindak penyehatan yang dilakukan oleh BPR/S dan pemegang saham pengendali (PSP).
2. Upaya penyehatan BPR
Upaya korektif seperti penambahan setoran modal, aksi korporasi hingga konsolidasi merupakan beberapa upaya penyehatan yang dilakukan selama masa BPR ditetapkan pada status dalam penyehatan.
"Realisasi dari rencana tindak BPR/S dan PSP ini yang berpengaruh terhadap penetapan BPR/S dalam Penyehatan dapat kembali normal atau menjadi BPR/S dalam resolusi," kata Dian.
3. Pengawasan OJK
Saat ini, menurut OJK, hampir seluruh BPR/S di Indonesia tercatat dengan status pengawasan normal.
Fokus pengawasan yang dilakukan OJK terhadap BPR/S bertujuan untuk mewujudkan industri BPR dan BPRS yang berintegritas dan terpercaya, tangguh, berdaya saing, dan memberikan kontribusi nyata terutama pada daerah atau wilayahnya.
Meski begitu, Dian mengatakan bahwa permasalahan serta kondisi BPR/S yang berada dalam pengawasan normal namun mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya perlu untuk dideteksi sejak awal.
Hal tersebut dilakukan sebagai upaya pengembangan dan penguatan sektor perbankan, khususnya BPR dan BPR Syariah, yang sejalan dengan perkembangan industri jasa keuangan yang makin kompleks dan beragam.