Kaleidoskop 2025: Sepak Terjang Trump di Masa Jabatan Kedua, Kebijakan Imigrasi Hingga Tekanan Militer

Kaleidoskop 2025: Sepak Terjang Trump di Masa Jabatan Kedua, Kebijakan Imigrasi Hingga Tekanan Militer

Terkini | okezone | Selasa, 30 Desember 2025 - 10:34
share

JAKARTA Donald Trump dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) untuk masa jabatan kedua pada Januari 2025 di Washington, DC. Setelah memenangi pemilihan presiden dengan retorika berapi-api, Trump segera membuktikan bahwa ia serius dengan janji-janji yang disampaikan sejak hari pertama menjabat.

Serangkaian kebijakan kontroversial telah dihasilkan Trump kurang dari setahun menjabat di masa bakti keduanya ini, baik pada ranah domestik maupun luar negeri. Dampaknya tak hanya dirasakan oleh warga AS, tetapi juga dunia.

Kontroversi di Dalam Negeri

Kebijakan imigrasi yang menjadi fokus kampanye Trump dijalankan Presiden ke-47 AS ini dengan keras. Jika pada periode pertama Trump membangun tembok untuk mencegah imigran ilegal menyeberang dari Meksiko, kali ini ia berfokus melakukan deportasi paksa terhadap para imigran di AS.

Trump mengaktifkan kembali Alien Enemies Act, sebuah undang-undang lama dari tahun 1798. Ia memberikan kewenangan sangat besar kepada agen Immigration and Customs Enforcement (ICE), badan federal yang sebelumnya dibatasi oleh yurisdiksi lokal. Dengan kewenangan baru ini, agen ICE diberi lampu hijau untuk masuk ke “kota-kota perlindungan” (sanctuary cities) tanpa izin.

Mereka menangkapi orang-orang yang diduga sebagai imigran ilegal di rumah-rumah, bahkan di jalanan, dan mengirim mereka ke pusat detensi. Tak hanya imigran ilegal yang menjadi sasaran, sejumlah warga kelahiran AS berkulit berwarna turut menjadi korban.

 

Dampak sosialnya terasa instan dan masif. Sepanjang pertengahan tahun ini, suasana di kota-kota seperti New York, Chicago, hingga Los Angeles berubah mencekam. Sekolah-sekolah negeri melaporkan penurunan kehadiran siswa secara drastis—bukan karena anak-anak sakit, melainkan karena orang tua takut mengantar ke sekolah akibat agen ICE yang berpatroli di mana-mana, bahkan di sekolah dan rumah sakit.

Trump juga mengumumkan sejumlah kebijakan terkait pembatasan hak-hak kaum minoritas, termasuk LGBTQ, yang disambut baik oleh para pendukungnya yang dikenal sebagai MAGA (Make America Great Again / Buat Amerika Hebat Lagi).

Perang Dagang dan Tekanan Militer

Seperti pada masa jabatan pertamanya di 2020, Trump kembali mengobarkan “perang dagang” dengan mengumumkan tarif impor AS, yang ditujukan untuk meningkatkan produksi dalam negeri. Tarif universal ini diberlakukan kepada semua negara, termasuk sekutu seperti Uni Eropa dan India.

Kebijakan ini memicu inflasi impor di dalam negeri AS serta ketegangan diplomatik dengan mitra dagang utama, terutama di Barat. Pasar global mengalami volatilitas tinggi akibat ketidakpastian rantai pasok.

Trump juga kembali mengangkat isu aneksasi Greenland, memicu ketegangan dengan sekutu Baratnya, Denmark. Bahkan, kali ini Trump lebih agresif mengejar aneksasi Greenland.

Bagi Trump, Greenland dipandang penting sebagai wilayah militer strategis, meski AS sudah memiliki pangkalan di sana. Selain itu, wilayah tersebut menyimpan potensi sumber daya mineral, termasuk mineral tanah jarang.

Di sisi lain, Trump juga berusaha membangun reputasi sebagai juru damai dengan mencoba menyelesaikan konflik di berbagai wilayah dunia.

 

Dalam konflik Israel–Gaza, Trump mendorong pendekatan yang memadukan tekanan politik dan militer terhadap pihak-pihak yang bertikai, memaksa tercapainya gencatan senjata dengan poin-poin yang diusulkan AS. Meski gencatan senjata dipandang sebagai jeda penting untuk bantuan kemanusiaan, pihak lain menilai kondisinya masih rapuh dan sangat bergantung pada dinamika politik kawasan.

Faktanya, Israel yang merupakan sekutu AS terus melanggar gencatan senjata tanpa mendapat respons dari Washington.

Trump juga mengklaim berhasil memaksakan gencatan senjata antara Thailand dan Kamboja dengan ancaman tarif terhadap kedua negara jika menolak proposal yang diajukan.

Namun, hingga kini Trump belum berhasil membawa Rusia dan Ukraina menyudahi pertempuran yang telah berlangsung sejak 2022. Janji Trump untuk mendamaikan konflik tersebut pada hari pertama pemerintahannya belum terwujud.

Tekanan militer dan sanksi menjadi metode yang digunakan Trump untuk mencapai tujuannya. Inilah yang terjadi pada Venezuela di penghujung 2025.

Kebijakan terhadap Venezuela ditandai dengan peningkatan tekanan ekonomi dan kehadiran militer maritim di kawasan Karibia.

Pemerintah AS menyatakan langkah ini bertujuan membatasi pendanaan pemerintah Venezuela, menekan aktivitas terkait narkotika, dan mengurangi faktor pendorong migrasi ke Amerika Serikat.

Sejumlah negara dan pengamat regional menilai operasi ini sebagai bentuk tekanan keras (hard power) yang berisiko meningkatkan ketegangan, terutama terkait insiden pemeriksaan kapal dan dampaknya terhadap perdagangan energi dengan negara lain.

 

Secara umum, AS di bawah pemerintahan Trump pada 2025 menunjukkan eskalasi dari masa jabatan pertamanya. Pengetatan isu imigrasi dan birokrasi di dalam negeri disertai penggunaan instrumen ekonomi, militer, dan diplomasi secara intensif di luar negeri.

Sepak terjang Trump di tahun pertama masa jabatan keduanya diyakini akan memberi dampak pada lanskap politik dan keamanan global, bukan hanya untuk 2026, tetapi juga beberapa tahun mendatang.

Topik Menarik