Asal Usul Pertentangan Kaum Adat dan Kaum Padri di Minangkabau

Asal Usul Pertentangan Kaum Adat dan Kaum Padri di Minangkabau

Infografis | sindonews | Jum'at, 27 Desember 2024 - 07:07
share

KAUMPadri dan adat di Minangkabau konon terlibat pertentangan saudara sebelum akhirnya berperang melawan Belanda. Permasalahan itu muncul saat kaum ulama atau kaum Padri ingin mengembalikan ajaran Islam ke arah yang murni.

Sejak itulah konon timbul bibit-bibit pertentangan antara kedua golongan ini. Pengikut kaum padri konon diidentikkan dengan memakai pakaian jubah putih, sedangkan kaum adat konon memakai kain hitam.

Ketika orang-orang Minangkabau mulai memeluk agama Islam pada pertengahan abad ke-16, terdapat dua cara hidup yang berdampingan secara damai adat lama dan Syara' Islam sama-sama dihormati. Keduanya mendapat tempat dalam masyarakat Minangkabau, sampai timbul pepatah yang mengatakan: "Adat basandi Syara', Syara' basandi Adat".

Golongan Adat dan golongan Syara' bekerja sama dan melengkapi satu sama lain. Namun, pada masa selanjutnya kerja sama ini nyata tidak abadi, keadaan pun berubah, dikutip dari buku "Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia".

Wilayah Minangkabau mempunyai seorang raja yang berkedudukan di Pagaruyung. Raja dibantu oleh empat orang pembantu yang disebut Basa Ampek Balai. Mereka adalah Indomo di Saruaso, Titah di Sungai Tarab, Mangkudum di Sumanik, dan Kadi di Padang Ganting. Raja tetap dihormati sebagai lambang negara Minangkabau, tetapi tidak mempunyai kekuasaan.

Penduduk Minangkabau terdiri atas dua belas suku yang berbeda-beda namanya dan mereka berdiam secara menyebar di seluruh negara. Tiap suku dipimpin oleh seorang penghulu, sedangkan raja dan para pembantunya tidak termasuk dalam salah satu suku pun, tetapi berada di luar suku. Pada hakikatnya kekuasaan terletak di tangan para penghulu yang tergabung dalam dewan penghulu atau dewan nagari.

Raja, bangsawan, dan para penghulu inilah yang menjalankan peran penting dalam pemerintahan adat. Perkembangan yang kemudian tampak di Minangkabau adalah timbulnya kebiasaan-kebiasaan buruk, sedang para pembesar tidak mampu menghalangi, bahkan turut menjalankan kebiasaan - kebiasaan buruk, yaitu menyabung ayam, madat, berjudi, dan minum minuman keras. Kebiasaan ini makin meluas dan memengaruhi kelompok pemudanya. Andaikata akan diadakan acara menyabung ayam, mereka datang berduyun-duyun dari berbagai tempat.

Menghadapi keadaan ini kaum ulama atau Padri mulai mengadakan reaksi, sehingga gerakannya dikenal dengan gerakan Padri. Kaum Padri ingin memperbaiki keadaan masyarakat dengan cara mengembalikan pada ajaran Islam yang murni. Sejak itu timbul bibit-bibit pertentangan antara kaum Padri dan kaum Adat.

Pada akhir abad ke-18, seorang ulama dari kampung Kota Tua, atau daerah Cangking, Empat Angkat di Daratan Agam, yaitu Tuanku Kota Tua, mulai mengajarkan pembaruan-pembaruan. Beliau mengajarkan, bahwa masyarakat sudah terlalu jauh menyimpang dari ajaran Islam yang murni, kemudian ditunjukkannya bagaimana seharusnya hidup sesuai dengan Alquran dan Sunnah Nabi.

Suatu ketika penduduk Pandai Sikat menyabung ayam. Larangan ini tidak diperhatikan oleh penduduk. Tokoh agama menjadi kesal, hingga suatu malam dibakarnya balai tempat menyabung ayam. Kaum adat pun marah, Haji Miskin tokoh agama itu pun dikejar-kejar dan berhasil menyingkir ke Kota Lawas, di sini ia mendapat perlindungan dari Tuanku Mensiangan.

Tuanku Mensiangan segera dapat dipengaruhi oleh Haji Miskin, dan bertekad akan membantunya. Kaum Adat semakin marah, beberapa hari kemudian di dekat Balai Panjang, pasar Kota Lawas, terjadi perkelahian antara kaum Adat dengan beberapa orang yang menaruh simpati pada Haji Miskin. Akibatnya, Haji Miskin menuju Kamang dan bertemu dengan Tuanku nan Renceh. Akibatnya, paham baru ini segera meluas di Luhak Agam, di Empat Angkat, IV Kota, Candung, dan Kota Tua.

Tuanku nan Renceh mengajak Tuanku-Tuanku di Luhak Agam untuk membentuk persekutuan melawan kaum Adat. Delapan ulama itu adalah Tuanku nan Renceh, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Berapi, Tuanku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Galung, Tuanku Biaro, dan Tuanku Kapau. Mereka dijuluki "Harimau nan Salapan" karena tindakannya yang keras.

Sebelum melaksanakan tujuan, mereka bermusyawarah dengan guru yang mereka hormati, yaitu Tuanku Kota Tua. Tuanku Kota Tua menyetujui gerakan ini, tetapi ia menyarankan agar dilakukan secara damai. Menurutnya, pembaruan yang keras akan menimbulkan perlawanan keras pula.

Sikapnya yang lunak ini menyebabkan Tuanku Kota Tua tidak jadi terpilih sebagai pemimpin gerakan. Yang kemudian terpilih menjadi pimpinan gerakan akhirnya Tuanku mensiangan, yang juga seorang ulama terkenal dan disegani di daerah VI Kota.

Topik Menarik