Ketua Komisi XI DPR Nilai Aturan PPN Membingungkan

Ketua Komisi XI DPR Nilai Aturan PPN Membingungkan

Nasional | sindonews | Jum'at, 3 Januari 2025 - 19:36
share

Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengkritisi Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 131 Tahun 2024 tentang Pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Menurutnya, peraturan itu menimbulkan multitafsir dan membingungkan, terutama bagi dunia usaha.

Untuk diketahui, Presiden Prabowo Subianto telah mengumumkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 menjadi 12 hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah. Barang dan jasa mewah tersebut adalah kategori yang selama ini sudah dikenakan PPN barang mewah dan hanya dikonsumsi oleh masyarakat golongan mampu.

Menurut Misbakhun, perintah yang sudah jelas tersebut tidak bisa diterjemahkan dengan jelas oleh para birokrat di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Aturan pelaksanaannya di PMK sangat membingungkan dan menimbulkan kerancuan dalam penerapannya karena menggunakan dasar pengenaan dengan nilai lain 11/12, di mana ada penafsiran tunggal seakan-akan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tidak bisa menerapkan PPN dengan multitarif.

 

"Padahal sangat jelas bahwa dalam Pasal 7 UU HPP tidak ada larangan soal multitarif PPN, sehingga penerapan tarif PPN 11 dan PPN 12 bisa diterapkan bersamaan sekaligus. Tarif PPN 11 untuk yang tidak naik, sedangkan tarif PPN 12 hanya untuk barang dan jasa mewah," kata Misbakhun dalam keterangannya, Jumat (3/1/2025).

Politikus Golkar itu mengatakan, dunia usaha resah dengan penerapan aturan ini. Beberapa perusahaan ritel dilaporkan telah memungut PPN sebesar 12, seperti yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam media briefing pada 2 Januari 2025. Persiapan yang mepet menjelang implementasi kebijakan ini juga dinilai menyulitkan pelaku usaha dalam menyesuaikan sistem mereka.

Misbakhun menyampaikan meskipun pengusaha dapat melakukan penghitungan ulang PPN melalui SPT Masa, kebijakan ini tetap membebani masyarakat. Ia menekankan bahwa aturan yang multitafsir dan tidak sesuai dengan arahan Presiden dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah.

Mukhamad Misbakhun juga mempertanyakan loyalitas birokrat di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam menerjemahkan instruksi Presiden. Ia menilai bahwa PMK Nomor 131 Tahun 2024 menunjukkan adanya tafsir subjektif yang bertentangan dengan perintah Presiden dan UU HPP. Misbakhun bahkan menyarankan agar Dirjen Pajak mempertimbangkan untuk mengundurkan diri jika tidak mampu melaksanakan arahan Presiden dengan tepat.

Misbakhun mendesak agar Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Pajak, membuat peraturan yang lebih sederhana dan tidak menimbulkan multitafsir. Ia juga meminta agar mekanisme penyusunan peraturan dilakukan dengan cermat sehingga tidak menimbulkan keresahan di masyarakat maupun dunia usaha.

Kebijakan perpajakan yang menjadi salah satu aspek strategis dalam perekonomian nasional membutuhkan penerapan yang akurat dan transparan agar tujuan meningkatkan keadilan pajak dapat tercapai tanpa menimbulkan polemik.

Topik Menarik