Misinterpretasi Kebijakan
HendarmanAnalis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikdasmen/Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan
Berbagai kebijakan yang dimunculkan seringkali mendapatkan pendapat pro dan kontra. Harapan yang tadinya begitu tinggi terhadap sebuah kebijakan, dalam perjalanannya ternyata banyak yang juga menimbulkan kekecewaan. Apalagi kebijakan yang mendadak berubah setelah diluncurkan karena adanya berbagai tanggapan dari berbagai pemangku kepentingan terjadap implementasi kebijakan tersebut. Sampai terkesan kebijakan yang ada sekarang sangat mudah diguncang oleh suara netizen. Bukan tidak mungkin nanti akan timbul suatu fenomena baru yaitu bahwa kebijakan yang diusung pemerintah cenderung “kebijakan berbasis viral”.
Faktanya, banyak implementasi kebijakan yang tidak selamanya berjalan mulus. Padahal, yang membuat kebijakan mengklaim bahwa dalam perumusan kebijakan tersebut sudah mempertimbangkan berbagai aspek. Hal ini terjadi karena kebijakan, secara hakekat, memang dimaksudkan untuk kepentingan publik. Kepentingan publik dimaknai bahwa sebuah kebijakan seharusnya akan memberikan manfaat dan "kebahagiaan" bagi para target kebijakan.
Kepentingan publik seharusnya tidak dimaknai sebagai seluruh pemangku kepentingan yang ada. Tetapi, dilihat lebih kepada kekhususan yaitu siapa yang menjadi target kebijakan itu sendiri. Kebijakan secara teoretis pada dasarnya memiliki karakteristik khusus yaitu dalam hal konteks, konten dan konfigurasi.
Karakteristik yang dimiliki sebuah kebijakan tersebut menjadi suatu pembatas. Pembatas diartikan bahwa sebuah kebijakan seyogianya tidak dapat diinterpretasikan secara bebas. Artinya latarbelakang dan pengalaman seseorang yang tidak berkesesuaian akan mendorong lebih banyak adanya multi-tafsir dari sebuah kebijakan. Ini terutama bagi mereka yang tidak berkepentingan atau tidak memiliki kesesuaian dengan konteks, konten, dan konfigurasi kebijakan itu sendiri.
Munculnya Misinterpretasi KebijakanKetidakselarasan tersebut acapkali memicu munculnya kegaduhan terhadap komunitas akibat interpretasi kebijakan diungkapkan dengan tidak memahami "ruh kebijakan" itu sendiri. Pendapat atau opini serta kritikan yang lahir lebih kepada cara pandang dan paradigma berfikir yang pada intinya didasarkan atas "pokoknya berani berbicara berbeda". Ini yang berimplikasi kepada adanya misinterpretasi kebijakan.
Terkadang ada asumsi yang dipegang bahwa komentar dan tudingan akan dapat membuat rasa empati atau ketidaksukaan terhadap suatu kebijakan. Tetapi, di sisi lain lontaran pendapat tersebut ditujukan untuk menguatkan kebijakan itu sendiri karena dilihat sebagai suatu proses pemahaman dan penyamaan persepsi setelah melalui suatu proses diskursus. Hal ini ditengarai dilatarbelakangi pemikiran bahwa terkadang kebijakan yang diluncurkan atau ditetapkan tersebut tidak atau belum melalui proses sosialisasi atau uji-publik.
Padahal, suatu kebijakan yang ideal dipersyaratkan untuk diuji terutama dalam hal keterbacaan dan pemahaman. Sehingga ketika kebijakan ini diterapkan tidak menimbulkan kegaduhan dan kekacauan di masyarakat. Yang sering muncul sekarang adalah pkecenderungan bahwa kebijakan yang ditetapkan Pemerintah tidak memiliki kepastian hukum dan tidak memiliki kepastian bahwa kebijakan itu sendiri akan memberikan dampak manfaat bagi masyarakat. Yang terkesan di masyarakat secara umum adalah bahwa kebijakan yang ditetapkan lebih menguntungkan kepada kelompok tertentu yang bukan merupakan kelompok mayoritas.
Randall G. Holcombe (2018) dalam bukunya Political Capitalism: How Economic and Political Power Is Made and Maintained, berpendapat bahwa penegakan atau "enforcement" dari suatu kebijakan, sebagai suatu ketentuan hukum, memang harus dimulai dengan interpretasi. Ditegaskannya bahwa interpretasi merupakan suatu hal yang lumrah karena peraturan termasuk kebijakan terkadang memberikan ruang untuk menyebabkan lahirnya perbedaan tafsir. Kebijakan juga cenderung terkait dengan selektivitas yaitu dimana kemungkinan kebijakan diarahkan untuk kepentingan dari kelompok tertentu.
Holcombe mengatakan lebih lanjut bahwa kata-kata yang tertulis dalam bentuk peraturan atau kebijakan dapat diinterpretasikan dalam berbagai cara. Suatu kebijakan ketika dalam proses perumusan tidak mendapat persetujuan secara aklamasi atau "unanimously", yaitu mungkin banyak yang cenderung tidak memiliki kesetujuan.
Apa yang dikemukakan Holcombe juga dikuatkan oleh Peter Schweizer (2013) dalam bukunya Extortion: How Politicians Extract Your Money, Buy Votes, and Line Their Own Pockets. Schweizer mengatakan bahwa peraturan termasuk kebijakan cenderung ditulis dengan antisipasi munculnya interpretasi yang berbeda. Hal ini, agar berbagai pihak yang terkait dengan kebijakan itu memiliki ruang untuk mengembangkan alternatif yang memiliki kesesuaian dengan konteks lingkungan kebijakan itu. Dengan demikian, tidak terjadi "keseragaman" dalam implementasi.
Memastikan Manfaat KebijakanKebijakan bagaimanapun merupakan payung hukum yang ditujukan untuk mengatasi isu atau masalah yang muncul dalam konteks tertentu. Adanya kebijakan tersebut pastinya didasarkan atas niat yang baik yaitu dapat menghindari kemungkinan timbulnya dampak yang semakin buruk dari waktu ke waktu.
Walaupun sebagai payung hukum yang cenderung sudah memperhatikan berbagai kepentingan, menjadi sesuatu yang lumrah apabila masih sering muncul banyak pihak yang mempertanyakan manfaat kebijakan tersebut. Mereka mempertanyakan karena mereka menginterpretasikan konten kebijakan itu dengan latar belakang dan paradigma atau wawas pandang yang berbeda. Tidak seharusnya misinterpretasi kebijakan ini dijadikan resistensi bagi para pihak yang memegang kuasa atas kebijakan itu sendiri.
Ada baiknya, misinterpretasi tersebut justru dijadikan sebagai sebuah introspeksi agar kebijakan benar-benar memiliki keberpihakan terhadap sasaran kebijakan itu sendiri. Misinterpretasi tersebut sesunggugnya menjadi sebuah sinyal yang menarik karena secara tidak langsung merefleksikan secara faktual apa yang dirasakan target atau sasaran dari kebijakan itu sendiri, termasuk dampak kebijakan terhadap mereka. Bukan tidak mungkin misiinterpretasi tersebut terjadi karena munculnya sifat elitisme dari kebijakan. Artinya bahwa kebijakan itu tidak begitu banyak mencerminkan keinginan rakyat tetapi keinginan para elit.