Ketua Dewan Pakar DPP Asprindo Ungkap Dampak Kebijakan Tarif Donald Trump

Ketua Dewan Pakar DPP Asprindo Ungkap Dampak Kebijakan Tarif Donald Trump

Nasional | sindonews | Senin, 7 April 2025 - 12:01
share

Presiden Amerika Serikat Donald Trump menerapkan bea masuk baru mulai dari 10 hingga 50 pada barang impor. Kebijakan ini mulai diberlakukan pada Rabu, 2 April 2025 kepada puluhan negara di dunia.

Ketua Dewan Pakar DPP Asprindo sekaligus Guru Besar Ekonomi Politik IPB dan Paramadina Prof. Didin S Damanhuri menilai, globalisasi ekonomi yang selama ini menjadi pijakan dunia kini menghadapi ujian berat. Terutama bagi negara berkembang di mana Indonesia berada di persimpangan kritis menghadapi perang dagang dan bayang-bayang deglobalisasi pascatarif Trump.

Menurut dia, semenjak keruntuhan komunisme dan berakhirnya periode perang dingin awal dekade 80-an, praktis secara politik dunia memasuki periode Pax-Americana. Yakni, semua negara mau tak mau harus melakukan political adjustment terhadap kekuatan politik dan militer Amerika Serikat (AS) beserta sekutu-sekutunya yang tergabung dalam G-7.

Hal itu juga membawa konsekuensi secara ekonomi. Dunia pun masuk secara monolitik ke dalam sistem perekonomian neoliberal yang terlembagakan ke dalam perjanjian-perjanjian internasional, khususnya ke dalam World Trade Organization (WTO).

“Jika ditilik secara intensif, kita melihat bagaimana asas neoliberalisme mendominasi dalam spirit WTO, di mana praktis lembaga tersebut telah menjadi wasit dalam proses globalisasi,” ujarnya, Senin (7/4/2025).

Sejak 1950, volume perdagangan dunia telah meningkat 20 kali lipat. Population Bulletin mencatat, perdagangan barang dan jasa jumlahnya mencapai USD6,5 triliun pada 2000, yakni hampir seperempat dari total Produk Domestik Bruto (PDB) dunia yang besarnya USD31 triliun. Dalam kondisi globalisasi, inisiatifnya berasal dari administrasi Clinton di Amerika sebagai upaya agar Amerika dapat mengembalikan supremasi ekonomi dunia karena terjadi defisit anggaran dan perdagangan di era Reagan sekitar USD500 miliar.

“Globalisasi sebenarnya mengandung bias AS. Dengan telah berjalannya sekitar 3,5 dasawarsa globalisasi, malah yang lebih diuntungkan ialah China, dan Amerika Serikat makin menjadi korban globalisasi itu sendiri. Sementara itu, bagi sebagian besar negara berkembang termasuk Indonesia, masih menjadi masalah dalam menghadapi globalisasi,” katanya.

Dalam satu dasawarsa, ternyata administrasi Trump baik di era pemerintahan pertama periode 2017-2021 maupun kedua periode 2025-2029, Amerika sebagai negara adidaya justru menganggap dengan globalisasi telah merugikan perekonomiannya. Yakni terjadinya lagi-lagi defisit neraca peredagangan yang kolosal, sekitar USD918 miliar atau lebih dari Rp15.000 triliun.

Oleh karena itu, secara mengejutkan Trump mengumumkan penaikan tarif sangat tinggi kepada lebih 60 negara untuk ekspor barang dan jasa ke AS. Indonesia ternyata menjadi salah satu negara yang dikenai tarif sangat tinggi oleh Trump yakni sebesar 32.

Dari Trump tariff tersebut, kata dia, ada kemungkinan tujuh dampak dan tujuh saran dalam menghadapinya. Dampaknya antara lain, pertama, akan terjadi depresiasi rupiah yang sebelumnya pun sampai Rp16.700 per Dolar AS, dan satu hari sejak pengumuman Trump, kurs Dolar AS melampaui Rp17.000 per 1 Dolar AS, dan entah sampai berapa dalam lagi depresiasi rupiah tersebut akan terjadi.

Kedua, akan banyak perusahaan besar melakukan PHK besar-besaran mengingat dalam usahanya terdapat unsur dolar AS sehingga bisa terancam memailitkan dirinya/bangkrut dan kemudian memilih PHK sebagai upaya rasionalisasi korporasi.

Ketiga, terjadi rentetan dampak terhadap berbagai kaitan usaha besar dengan UMKM karena adanya rantai ke depan dan ke belakang dari usaha besar tersebut. Keempat, akan terjadi makin turunnya penerimaan pajak dari pemerintah, yang terakhir ini pun sudah turun sekitar 30.

Kelima, akan terjadi penurunan daya beli masyarakat secara lebih massif lagi, yang saat inipun sudah terjadi melemahnya daya beli masyarakat (misal mudik baik jumlah orang maupun perputaran uang turun sekitar 24).

Keenam, akan menimbulkan sentimen pesimisme baik dalam usaha UMKM dan usaha besar maupun pemerintah pusat maupun daerah, yang sekarang pun pesimisme tersebut sudah cukup melanda publik atas perekonomian. Ketujuh, akan makin meningkatnya aksi kriminalitas, yang kini pun sudah meresahkan masyarakat.

Oleh karena itu, beberapa upaya disarankan. Pertama, Pemerintahan Prabowo segera mengevaluasi dampak jangka pendek, menengah, dan panjang akibat tarif tinggi dari Amerika terhadap perekonomian, seraya melakukan negosiasi langsung dengan pemerintahan Trump, membuat kebijakan diversifikasi tujuan ekspor, serta upaya kerja sama ekonomi ASEAN, OKI, atau BRICS plus.

Kedua, hendaknya pemerintah melakukan reajustment terhadap situasi baru akibat dampak jangka pendek, menengah, dan panjang atas tarif tinggi dari AS tersebut atas keseluruhan visi, misi, dan program pemerintah sendiri.

Ketiga, hendaknya disiapkan shifting pendanaan dari progran-program jangka menengah dan panjang untuk memberikan stimulus besar-besaran kepada para pelaku usaha guna membangkitkan pasar dalam negeri terutama kepada kalangan UMKM dan daerah-daerah.

”Keempat, menghentikan pengeluaran-pengeluaran APBN dan APBD yang tidak perlu, seperti perjalanan ke luar negeri, rapat-rapat di hotel, dan upacara-upacara seremonial,” katanya.

Kelima, menghentikan narasi-narasi pembelahan bangsa baik dari kalangan the rullling elite maupun civil society dan didorong terjadinya konsolidasi politik, ekonomi, dan sosial untuk menghadapi situasi terburuk sekalipun.

Keenam, kepada keluarga-keluarga hendaknya melakukan belanja yang lebih memprioritaskan pada kebutuhan pokok seraya lebih menghidupkan kondisi tolong-menolong (ta’awun) antarkeluarga, tetangga, antar-RT/RW, daerah-daerah, sehingga tak seorang pun dibiarkan ekonomi keluarganya mengalami kesulitan.

Ketujuh, hendaknya aparat keamanan lebih gercep dan bijak menghadapi situasi gangguan kamtibmas yang mungkin makin meningkat dalam waktu-waktu ke depan.

Topik Menarik