Trump 2.0: Sikap Kita?
Candra Fajri Ananda Staf Khusus Menteri Keuangan RI
KEMENANGAN Donald Trump dalam pemilu Presiden Amerika Serikat dan dilantik pada Januari tahun 2025 menghadirkan babak baru kerja sama ekonomi dan politik antarnegara serta ekonomi global. Keberhasilannya mengalahkan Kamala Harris mengukuhkan kembalinya tokoh Partai Republik yang dikenal penuh kontroversi ke kursi kepemimpinan tertinggi di Gedung Putih.
Artinya, Trump tercatat sebagai presiden pertama sejak Grover Cleveland yang menjabat dua kali dalam periode yang tidak berurutan. Masa kepemimpinannya kali ini pun dibuka dengan serangkaian kebijakan yang sarat ketegasan dan keberanian, meskipun tak lepas dari sorotan dan perdebatan di berbagai penjuru dunia.
Salah satu gebrakan awal Trump adalah pengakuan sepihak terhadap beberapa wilayah sebagai bagian dari kedaulatan Amerika Serikat. Kebijakan ini pun langsung memicu ketegangan diplomatik, terutama dengan negara-negara yang mengklaim wilayah yang sama. Banyak pihak internasional mengkritik langkah tersebut sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional dan prinsip kedaulatan negara. Meski demikian, Trump berdalih bahwa kebijakan tersebut adalah bagian dari strategi penguatan posisi geopolitik dan simbol patriotisme nasional.
Di bidang perdagangan, Presiden Donald Trump kembali mengusung semangat proteksionisme yang tegas sebagai pijakan utama kebijakan ekonominya pada masa jabatan keduanya. Presiden Amerika Serikat tersebut memberlakukan tarif impor yang sangat tinggi terhadap negara-negara yang memiliki surplus perdagangan signifikan dengan Amerika Serikat, dengan alasan untuk melindungi industri domestik dan menyeimbangkan neraca perdagangan.
Artinya, langkah Presiden Trump tersebut bertujuan untuk melindungi industri dalam negerinya serta menekan defisit neraca perdagangan yang selama ini dianggap merugikan ekonomi Amerika Serikat. Paling mencolok, tarif impor terhadap produk-produk tertentu asal Tiongkok bahkan melonjak drastis hingga mencapai 145, mencerminkan eskalasi ketegangan dagang yang berpotensi memicu respons balasan serta menimbulkan ketidakpastian dalam sistem perdagangan global.
Dalam teori dasar perdagangan internasional, perdagangan yang dilakukan antar 2 negara akan meningkatkan kesejahteraan warga dua negara tersebut. Salah satunya adalah peningkatan pilihan-pilihan konsumsi, produk yang tidak mampu diproduksi sendiri dipenuhi oleh negara lain. Sehingga jika volume perdagangan meningkat, maka kesejahteraan meningkat.
Pemerintah Indonesia harus menghadapi tantangan baru ketika sejumlah produk ekspor pun terkena kenaikan tarif hingga 32. Maka sejalan dengan pemikiran dasar teori tersebut, para eksportir nasional dan otoritas perdagangan perlu merumuskan strategi baru dan mencari patner perdagangan baru agar ekonomi dalam negeri tidak terdampak secara masif.
Zero Tarif dalam Konsep Ekonomi
PLN Indonesia Power UBP Grati Santuni 110 Anak Yatim dan Dhuafa di Pasuruan, Bentuk Peduli Sosial
Pada teori perdagangan internasional klasik maupun modern, konsep zero tarif atau tarif nol merupakan bagian dari pendekatan perdagangan bebas (free trade). Dalam kerangka ini, negara-negara disarankan untuk menghapus hambatan perdagangan seperti bea masuk demi menciptakan efisiensi ekonomi, spesialisasi produksi, dan keunggulan komparatif. Teori Ricardo dan Heckscher – Ohlin menekankan bahwa dengan penghapusan tarif, negara akan memperoleh manfaat berupa peningkatan kesejahteraan secara agregat karena sumber daya dapat dialokasikan secara optimal berdasarkan efisiensi relatif.
Kebijakan perdagangan Presiden Donald Trump, baik dalam masa jabatan pertamanya maupun dalam rencana masa jabatan keduanya, merupakan penolakan eksplisit terhadap prinsip zero tarif. Trump berargumen bahwa sistem perdagangan bebas yang tidak diimbangi dengan perlindungan terhadap industri domestik justru merugikan Amerika Serikat, terutama karena adanya surplus perdagangan negara mitra seperti Tiongkok dan Meksiko.
Pasalnya, secara teoritis, penyimpangan dari prinsip zero tarif dapat menimbulkan sejumlah konsekuensi negatif. Pengenaan tarif yang tinggi cenderung menurunkan volume perdagangan internasional, meningkatkan harga barang bagi konsumen domestik, dan menurunkan efisiensi produksi secara global.
Lebih jauh lagi, kebijakan tarif dapat memicu retaliasi atau pembalasan dari negara mitra, yang menyebabkan terjadinya perang dagang (trade war) seperti yang pernah terjadi antara Amerika Serikat dan Tiongkok pada periode 2018–2020. Hal ini menunjukkan bahwa proteksionisme jangka pendek sering kali datang dengan risiko instabilitas jangka panjang.
Strategi Indonesia Hadapi Tarif Trump
Kebijakan tarif impor tinggi yang kembali diusung oleh Presiden Trump bukan semata tindakan unilateral, melainkan merupakan bagian dari strategi negosiasi yang kompleks dan sistematis. Apabila dianalisis melalui pendekatan game theory, kebijakan ini mencerminkan dinamika interaksi strategis antar-negara dengan kepentingan yang saling bertaut. Dalam konteks ini, model seperti game of chicken maupun prisoner's dilemma menjadi relevan untuk menjelaskan bagaimana Trump menggunakan ancaman tarif sebagai bentuk tekanan psikologis yang terukur guna mendorong negara mitra mengambil sikap kooperatif.
Beberapa negara, seperti Vietnam, menanggapi ancaman tersebut secara akomodatif dengan membuka akses perdagangan, sedangkan negara lain seperti Tiongkok memilih konfrontasi melalui kebijakan tarif balasan. Hal ini menunjukkan bahwa ancaman tarif Trump bersifat credible threat – tekanan yang dirancang secara rasional untuk menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan pihak pengancam.
Pada situasi seperti ini, respons Indonesia harus diarahkan pada strategi yang cermat dan berimbang. Menyerah sepenuhnya bukanlah pilihan bijak, namun bersikap terlalu konfrontatif juga berisiko. Berdasarkan kerangka game theory, hasil yang optimal (equilibrium) akan tercapai apabila Indonesia menempuh jalur diplomasi rasional, bersikap terbuka untuk bernegosiasi namun tetap menjaga kepentingan nasional melalui penguatan posisi tawar.
Pendekatan ini memungkinkan tercapainya kompromi yang saling menguntungkan, sebab pada akhirnya Amerika Serikat juga membutuhkan stabilitas perdagangan global. Oleh karena itu, strategi Indonesia seharusnya fokus pada penggunaan forum multilateral sebagai sarana membangun solidaritas untuk perdagangan yang adil, sekaligus memperkuat peran diplomatik dalam menghadapi tekanan ekonomi eksternal.
Di sisi lain, tantangan terbesar bagi Indonesia tidak hanya terletak pada arena internasional, tetapi juga dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan konsumen dan keberlanjutan produsen domestik. Kebijakan yang terlalu longgar terhadap impor, seperti pembebasan kuota impor kedelai dari Amerika Serikat, memang memberikan keuntungan jangka pendek berupa harga murah bagi konsumen.
Akan tetapi, hal ini berpotensi menekan petani lokal, terlebih jika produk tersebut berasal dari komoditas rekayasa genetika (GMO) yang di negara asal hanya digunakan sebagai pakan ternak. Ketika produk-produk impor murah membanjiri pasar tanpa perlindungan yang memadai terhadap produksi lokal, maka kedaulatan pangan yang selama ini menjadi visi besar pemerintah akan tergerus oleh kenyataan struktural yang melemahkan fondasi ketahanan nasional.
Di tengah dinamika tersebut, penting pula untuk mencermati dampak kebijakan dalam negeri seperti penghapusan atau pelonggaran aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Selama ini, TKDN berperan strategis dalam mendorong penggunaan bahan baku lokal dan membangun kemandirian industri nasional. Oleh sebab itu, jika aturan ini dihapuskan, maka industri akan semakin bergantung pada bahan impor, yang pada gilirannya mengurangi insentif investasi dalam kapasitas produksi dalam negeri.
Ketergantungan ini tidak hanya akan melemahkan daya saing industri nasional, tetapi juga dapat memperburuk tekanan terhadap sektor-sektor rentan seperti UMKM, pertanian, dan perkebunan. Artinya, dalam konteks proteksionisme global yang semakin kuat, penghapusan TKDN tanpa strategi penguatan industri domestik justru berisiko memperdalam ketimpangan struktural dan mengancam stabilitas ketahanan ekonomi nasional.
Kala menghadapi tantangan saat ini, Indonesia perlu menghindari jebakan logika pasar bebas yang timpang. Pemerintah mutlak perlu menegaskan kembali komitmennya terhadap kedaulatan pangan dengan memperkuat kapasitas produksi dalam negeri, meningkatkan daya saing petani dan nelayan, serta memastikan adanya perlindungan terhadap sektor-sektor domestik strategis.
Di saat yang sama, diplomasi dagang harus dilaksanakan secara cerdas – kooperatif namun tetap kritis, terbuka namun berdaulat. Artinya, melalui strategi yang seimbang, Indonesia tidak hanya akan mampu mengamankan posisinya dalam peta perdagangan global, melainkan juga menegaskan diri sebagai negara yang mampu melindungi kepentingan rakyatnya di tengah dinamika geopolitik dan ekonomi dunia yang semakin kompleks. Semoga.