Balas Perang Tarif Trump, Presiden China Xi Jinping Galang Kekuatan di ASEAN

Balas Perang Tarif Trump, Presiden China Xi Jinping Galang Kekuatan di ASEAN

Global | sindonews | Kamis, 17 April 2025 - 20:15
share

Ketika Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memulai babak baru dalam kebijakan ekonominya dengan menaikkan tarif terhadap produk-produk asal China, dunia menyaksikan babak baru konflik dagang antara dua ekonomi terbesar di dunia.

Perang dagang ini bukan hanya menekan China, tetapi juga mengguncang tatanan perdagangan global.

Tak tinggal diam, Presiden China Xi Jinping mengambil langkah strategis: mengalihkan fokus ekonomi dan diplomasi ke negara-negara Asia Tenggara melalui kerja sama yang lebih erat dengan Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

Langkah ini bukan hanya bentuk perlawanan terhadap tekanan ekonomi AS, tetapi juga cerminan visi panjang China dalam membentuk poros baru kekuatan ekonomi dunia di Asia.

Berikut ini bagaimana Presiden Xi Jinping memanfaatkan ASEAN sebagai benteng pertahanan ekonomi sekaligus ladang perluasan pengaruh geopolitik China di tengah gelombang proteksionisme global yang digalang Trump.

Perang Dagang AS-China Dimulai 2018

Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok secara resmi dimulai pada 2018, ketika Presiden Trump memberlakukan tarif tinggi terhadap ratusan miliar dolar produk impor dari China.

Trump saat itu menuduh Beijing mencuri kekayaan intelektual AS, memanipulasi mata uang, dan menjalankan praktik perdagangan yang tidak adil.

Sebagai balasan, China juga menaikkan tarif terhadap produk-produk asal AS, termasuk kedelai dan barang pertanian lainnya.

Namun di balik narasi perang dagang ini, terdapat dinamika geopolitik yang lebih dalam. Amerika ingin membendung kebangkitan China sebagai kekuatan ekonomi dan teknologi global, sementara Beijing sendiri berusaha meneguhkan posisinya sebagai pemimpin global alternatif dengan strategi diplomatik, ekonomi, dan infrastruktur yang dikenal dengan nama Belt and Road Initiative (BRI).

ASEAN: Mitra Strategis dalam Krisis Global

Dalam konteks ini, ASEAN muncul sebagai kawasan yang sangat strategis. Dengan lebih dari 660 juta penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang stabil, ASEAN menjadi mitra dagang yang sangat menarik.

Secara geografis pun, negara-negara ASEAN berada di jalur lintasan penting perdagangan dunia.

Presiden Xi Jinping menyadari ASEAN bukan hanya pasar potensial bagi produk dan teknologi China, tetapi juga kawasan yang bisa menjadi benteng melawan isolasi ekonomi akibat tekanan dari Washington.

Sejak awal perang dagang, intensitas kunjungan pejabat tinggi China ke negara-negara ASEAN meningkat drastis.

Perjanjian dagang dan investasi ditandatangani, pinjaman lunak diberikan, dan proyek-proyek besar infrastruktur dimulai di bawah payung BRI.

Strategi Ekonomi: Investasi dan Infrastruktur

Salah satu pendekatan utama Xi Jinping untuk mempererat hubungan dengan ASEAN adalah melalui kerja sama ekonomi berbasis investasi langsung dan pembangunan infrastruktur.

Negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Laos, Kamboja, dan Myanmar menjadi tujuan utama investasi BRI.

Proyek-proyek besar seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung, pelabuhan di Malaysia dan Myanmar, serta jalur logistik di Kamboja menjadi simbol kehadiran ekonomi China di kawasan.

Investasi ini bukan sekadar aliran modal, tetapi juga sarana memperluas pengaruh politik dan diplomatik.

Negara-negara ASEAN yang menerima investasi dalam jumlah besar cenderung memiliki sikap yang lebih lunak terhadap isu-isu sensitif seperti Laut China Selatan atau kebijakan dalam negeri Beijing.

Diplomasi Multilateral: RCEP dan Perdagangan Bebas

Selain pendekatan bilateral, Xi Jinping juga mendorong diplomasi multilateral di tingkat regional. Salah satu terobosan terbesarnya adalah penandatanganan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) pada tahun 2020.

RCEP adalah pakta dagang yang melibatkan 15 negara Asia-Pasifik termasuk semua anggota ASEAN, China, Jepang, Korea Selatan (Korsel), Australia, dan Selandia Baru.

RCEP menjadi blok perdagangan terbesar di dunia, menutupi hampir sepertiga ekonomi global. Ini menjadi sinyal kuat bahwa Asia, dipimpin oleh China, masih berkomitmen pada perdagangan bebas, berbeda dari pendekatan proteksionisme yang diusung pemerintahan Trump.

Reaksi ASEAN: Kesempatan atau Ketergantungan?

Meski tawaran kerja sama dari China menggiurkan, negara-negara ASEAN juga dihadapkan pada dilema strategis.

Di satu sisi, China menawarkan bantuan ekonomi nyata yang mampu mendorong pembangunan nasional.

Di sisi lain, ketergantungan terhadap China dapat menimbulkan risiko geopolitik dan ekonomi jangka panjang.

Beberapa negara seperti Kamboja dan Laos menunjukkan kecenderungan mendekat kuat ke Beijing, sementara negara seperti Vietnam dan Filipina lebih hati-hati dan berusaha menjaga keseimbangan dengan tetap mempertahankan hubungan baik dengan AS dan sekutu barat lainnya.

Indonesia sendiri berada di posisi tengah, menerima investasi China tetapi tetap menjaga kedaulatan dan kebijakan luar negeri yang bebas aktif.

Dalam beberapa kasus, seperti revisi proyek Kereta Cepat atau penolakan terhadap dominasi tenaga kerja asing, Indonesia menunjukkan batas-batas kerja sama yang masih dijaga.

Laut China Selatan: Ujian Sebenarnya

Salah satu isu yang menjadi batu sandungan hubungan China dan ASEAN adalah Laut China Selatan.

Klaim China atas hampir seluruh wilayah tersebut bertabrakan dengan klaim beberapa negara ASEAN seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia.

Xi Jinping berusaha menenangkan kekhawatiran ini dengan mendorong Code of Conduct (CoC) di Laut China Selatan, namun hingga kini belum ada kesepakatan final.

Meski demikian, banyak pengamat melihat pendekatan ekonomi China berhasil "melunakkan" posisi sebagian negara ASEAN, terutama yang lebih tergantung pada investasi Beijing.

Soft Power China: Budaya, Pendidikan, dan Media

Selain aspek ekonomi dan diplomasi, China juga menggalang kekuatan di ASEAN melalui pendekatan soft power.

Institut Konfusius yang menyebarkan budaya dan bahasa Mandarin dibuka di banyak universitas di Asia Tenggara.

Beasiswa pendidikan ke China juga diperbanyak, memberikan peluang kepada mahasiswa ASEAN untuk belajar di Negeri Panda.

Media milik negara seperti CGTN dan Xinhua memperkuat kehadiran di negara-negara ASEAN dengan konten berbahasa lokal, menyampaikan perspektif China tentang isu-isu global.

Semua ini dilakukan dalam rangka membentuk opini publik yang lebih ramah terhadap Beijing dan menyaingi narasi barat yang sering kali kritis terhadap China.

Perubahan Tata Dunia: Dari Uni-Polarisasi ke Multi-Polarisasi

Langkah Xi Jinping menggalang kekuatan di ASEAN adalah bagian dari strategi besar China untuk menciptakan tatanan dunia multipolar.

Dalam dunia yang tidak lagi didominasi satu kekuatan tunggal seperti AS, China ingin menjadi salah satu poros utama yang menentukan arah kebijakan global.

Dengan menggandeng ASEAN, China mengukuhkan posisi sebagai pemimpin kawasan, memperkuat jaring ekonomi regional, dan menantang dominasi AS baik dalam perdagangan, teknologi, maupun pengaruh politik.

Pertarungan yang Masih Panjang

Perang tarif yang dilancarkan Trump mungkin hanya salah satu babak dalam persaingan panjang antara AS dan China.

Namun, respons Xi Jinping yang cerdas dan strategis melalui pendekatan kerja sama dengan ASEAN menunjukkan China tidak hanya bertahan, tetapi juga berbalik menyerang dengan membentuk poros ekonomi-politik baru di Asia Tenggara.

Di tengah ketidakpastian global, ASEAN kini berada dalam posisi krusial. Apakah akan tetap menjadi kawasan netral yang menjembatani dua kekuatan dunia, atau akan terjebak dalam tarik-menarik kepentingan antara Beijing dan Washington?

Satu hal yang pasti, langkah Xi Jinping menggalang kekuatan di ASEAN telah mengubah peta geopolitik Asia dan akan terus bergaung dalam dekade-dekade mendatang.