Ijtihad bukan Asal Tajdid, Bukan Pula Tabdid

Ijtihad bukan Asal Tajdid, Bukan Pula Tabdid

Terkini | sindonews | Sabtu, 19 Oktober 2024 - 14:20
share

SERUAN untuk berijtihad dewasa ini bukan sekadar asal-asalan dan membuka pintunya kepada setiap orang yang mengaku dengan lantang padahal belum terpenuhi syarat-syarat utama dalam ijtihad.

Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press,1997) mengatakan sebagian dai atau aktivis Tajdid (pembaharuan) dan 'Ath-Thawwur', (perkembangan) ada yang menghendaki untuk mengembangkan Islam sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu mereka.

Allah SWT berfirman: "Andaikan kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya." (QS Al Mu'minun: 71)

Hawa nafsu mereka itu dipengaruhi oleh pengetahuan yang mereka peroleh dari pengetahuan Barat dengan pemahaman yang dangkal atau sudah dikaburkan dari orisinalitas Islam.

Baca juga: Pengertian Tajdid atau Modernisasi Menurut Quraish Shihab

Mereka tidak mampu memisahkan antara sisi keislaman yang memiliki sifat konstan dan tetap selamanya dalam hukum Islam dan ajarannya dengan sisi, fleksibel yang berkembang dan yang berubah sesuai dengan perkembangan zaman, tempat dan kondisi.

Mereka mengkritik fikih dan menganggapnya sebagai sekadar sudut pandang yang menggambarkan pendapat orang tertentu dalam lingkungan tertentu dan pada masa tertentu. Sehingga apabila terjadi perbedaan masa, perbedaan lingkungan dan perbedaan orangnya maka dibolehkan untuk membuat fikih baru yang menggambarkan perubahan masa, tempat dan orangnya.

Ini memang benar jika dilihat dari rincian pendapat sebagaimana dikatakan oleh para fuqaha' dalam berbagai ijtihad, tetapi tidak benar jika dilihat dari fikih secara keseluruhan sebagai khasanah kekayaan hukum yang besar yang telah dibangun oleh orang-orang yang berakal cerdas dimulai dari para sahabat, kemudian generasi setelahnya sepanjang masa dengan berpedoman pada Al Qur'an Al Karim dan Sunnah Muthaharah.

"Saya tidak tahu dan saya kira tidak ada orang yang tahu bahwa ada sebuah umat yang membuang warisannya berupa hukum positif ke belakang dan memulai dari nol untuk membuat undang-undang baru untuk hari ini dan esok, tanpa mau mengambil faedah dari sejarah masa lalunya," kata al-Qardhawi.

"Apatah lagi terhadap warisan fikih yang memancar dari sumber Rabani (dari Allah)."

Baca juga: Ijtihad Manajemen dan Fiqhiyyah Haji

Jika kita serahkan mereka dalam hal-hal yang berkaitan dengan fikih dan fuqaha' maka kita akan mendapatkan mereka itu melompat dengan lompatan lain, yang dengan itu mereka ingin menolak Sunnah Nabawiyah yang berfungsi sebagai penjelas Al Qur'an baik secara teori ataupun secara aplikatif, padahal Allah telah mewajibkan kepada kita untuk taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya.

Sebagaimana dalam firman-Nya: "Katakanlah, "Taatilah Allah dan taatilah Rasul...." (QS An Nuur: 54)

Allah menjadikan taat kepada Rasul-Nya itu sebagai taat kepada-Nya: "Barang siapa taat kepada Rasul maka ia kepada Allah." (QS An-Nisa':80)

Menurut al-Qardhawi, tidak heran jika kita menemukan di antara mereka ada yang mengajak untuk cukup dengan Al Qur'an dan menolak seluruh Sunnah atau hanya mengambil Sunnah hadits mutawatir saja sementara meniadakan hadis-hadis ahad, padahal sebagian besar hadits adalah hadits ahad. Atau ada yang mengajak untuk mengambil hadis-hadis, fi'liyah saja, sementara menolak hadis-hadis qauliyah, padahal perputaran Sunnah itu banyak berkisar pada hadis-hadis qauliyah.

Al-Qardhawi mengatakan termasuk kebodohan mereka adalah bahwa dengan itu sebenarnya mereka telah bertentangan dengan Al Qur'an itu sendiri dan keluar dari ijma' umat serta mengingkari sesuatu yang sudah menjadi kepastian dari agama.

"Jika kita biarkan mereka dan kita terima kata-kata mereka yang mardud yaitu tentang Sunnah, maka mereka akan segera melangkah dengan langkah yang lebih berani dan lebih keji, yaitu berani untuk menolak Al Qur'an itu sendiri dan juga menolak hukum-hukum Al Quran yang permanen dan pasti," katanya.

Baca juga: Kalender Hijriah Global: Lompatan Ijtihad Muhammadiyah

Tidak heran jika kita dapatkan di antara mereka ada yang menulis tanpa mempunyai perasaan malu dengan maksud ingin menghilangkan ketentuan-ketentuan Allah, baik berupa perintah atau larangan, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

"Semua itu mereka lakukan dengan alasan mengikuti perkembangan zaman dan atas nama 'reaktualisasi' dengan memelihara roh Islam bukan bentuk zhahirnya," kata al-Qardhawi

Ada salah seorang di antara mereka menulis, "Sesungguhnya Al Qur'an itu tidak diturunkan untuk mengatur era ruang angkasa, tetapi untuk mengatur masyarakat primintif jahiliyah."

Menurut Al-Qardhawi, ini merupakan tuduhan kepada Allah yang Maha Agung akan dangkalnya ilmu-Nya, seakan Dia tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh makhluk-Nya setelah satu masa ini.

Ada juga yang mengatakan bahwa ayat tentang hukum potong tangan itu diturunkan sekadar untuk menakut-nakuti orang yang mencuri unta orang Arab di padang pasir jazirah Arab karena di atas unta itu terdapat benda-benda berharga dan kehidupannya.

Al-Qardhawi mengatakan seandainya orang yang menuduh seperti itu memiliki sedikit pengetahuan tentang sejarah bangsa Arab pada masa kenabian pasti akan mengetahui bahwa tidak ada pencurian terhadap unta mereka pada saat itu. Bahkan dibiarkan bebas di daratan pun tidak ada yang mau mengambil. Padahal bersamanya ada terumpah dan minumannya. Adapun kasus pencurian pada saat itu tidak ada kaitannya dengan unta.

Baca juga: Restorative Justice, Ijtihad Moderat untuk Keadilan

"Kita mengajak untuk berijtihad dan bukan asal-asalan, untuk tajdid (pembaharuan) dan bukan perusakan, untuk fikih yang terjaga orisinalitasnya dan bukan saling tuduh yang tanpa dasar," demikian Syaikh Yusuf al-Qardhawi.

Topik Menarik