Duduk Perkara Kasus Supriyani, Guru Honorer yang Ditahan: Apa yang Sebenarnya Terjadi?
KONAWE SELATAN, iNewsPandeglang.id – Kasus dugaan penganiayaan yang melibatkan Supriyani, seorang guru honorer di SDN 4 Baito, menjadi sorotan publik dan memicu reaksi dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulawesi Tenggara, yang mengadakan mogok mengajar sebagai bentuk protes terhadap apa yang mereka anggap sebagai kriminalisasi terhadap guru honorer tersebut.
Kejadian ini bermula pada April 2024, ketika polisi menerima laporan dari orang tua siswa yang mengklaim bahwa anaknya dianiaya oleh Supriyani. Hasil visum dari Puskesmas Baito menunjukkan bahwa korban mengalami luka di paha bagian belakang, diduga akibat dipukul menggunakan gagang sapu ijuk.
Informasi yang dihimpun menyebutkan bahwa orang tua siswa meminta uang ganti rugi sebesar Rp50 juta dan menuntut agar Supriyani dikeluarkan dari sekolah. Supriyani menolak untuk membayar karena merasa tidak bersalah, sementara pihak sekolah juga tidak bersedia mengeluarkan siswa tersebut.
Selama proses penyelidikan, penyidik telah memeriksa tujuh saksi, termasuk dua rekan korban yang juga murid di sekolah tersebut. "Dalam lima bulan terakhir, kami telah melakukan berbagai mediasi melibatkan banyak pihak, termasuk pelaku, suaminya, orang tua korban, kepala desa, dan kepala sekolah," ungkap Kapolres Konawe Selatan, AKBP Febry Sam, dalam konferensi pers pada Senin (21/10/2024).
Sebelumnya, Supriyani tidak mengakui telah memukul siswa tersebut, melainkan hanya menegurnya. Dia kemudian memilih untuk meminta maaf kepada orang tua siswa agar kasus ini tidak berlarut-larut. Permintaan maaf itu disampaikan didampingi Kepala SDN 4 Baito, namun orang tua siswa menganggapnya sebagai pengakuan kesalahan.
Kejadian ini semakin memanas ketika, tiba-tiba, pihak kejaksaan mengeluarkan panggilan untuk Supriyani dan menyatakan bahwa berkas perkara telah lengkap, yang berujung pada penahanan guru tersebut.
Sebagai respons terhadap situasi ini, PGRI Kecamatan Baito mengeluarkan keputusan untuk mogok mengajar mulai Senin (21/10/2024), hingga ada keputusan minimal penangguhan penahanan terhadap Supriyani. Dalam rapat yang diadakan pada 19 Oktober, para kepala sekolah di Kecamatan Baito sepakat untuk menuntut agar siswa yang bermasalah dikembalikan kepada orang tua mereka dan agar Supriyani dibebaskan.
Kapolres menekankan bahwa tidak ada tindakan kriminalisasi terhadap Supriyani meskipun orang tua korban merupakan anggota polisi. "Penyidikan dilakukan berdasarkan fakta yang ada. Jika sejak awal, guru tersebut meminta maaf kepada orang tua korban, kasus ini mungkin sudah selesai," tambahnya.
"Ini adalah tindakan solidaritas kami terhadap Ibu Supriyani. Kami berharap keadilan dapat ditegakkan dan guru-guru di daerah ini dapat mengajar tanpa rasa takut akan kriminalisasi," ungkap Hasna, S.Pd, perwakilan PGRI.
Dari kasus ini, kita bisa mengambil pelajaran bahwa tantangan yang dihadapi para pendidik di Indonesia, khususnya dalam konteks hubungan antara guru dan siswa, sangat kompleks. Insiden ini menggambarkan perlunya pemahaman yang mendalam dan dialog terbuka antara semua pihak yang terlibat.
Selain itu, pentingnya penyelesaian konflik yang adil dan bijaksana harus menjadi perhatian bersama. Masyarakat, sekolah, dan pemerintah perlu bersinergi untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pendidikan, di mana guru dapat menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi tanpa rasa takut akan kriminalisasi. Kejadian ini seharusnya menjadi momentum untuk meningkatkan penghargaan terhadap profesi guru dan memperkuat sistem pendidikan di Indonesia demi masa depan yang lebih baik.