Saham Sritex (SRIL) Berpotensi Ditendang dari Bursa
JAKARTA - PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex mendapat vonis pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada 21 Oktober 2024.
Kondisi ini semakin memberatkan perusahaan dalam menghindari potensi penghapusan pencatatan (delisting), mengingat statusnya sebagai perusahaan publik di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Pasalnya suspensi saham SRIL sudah dilakukan sejak 18 Mei 2021 didasarkan atas kegagalan perusahaan dalam membayar Pokok dan Bunga Medium Term Note (MTN) Tahap III Tahun 2018 ke-6.
Pailit adalah kondisi ketika debitur tidak bisa atau kesulitan membayar utang-utangnya kepada kreditur yang jatuh tempo. Pailit berbeda dengan kondisi bangkrut.
Dengan menyandang status pailit, maka pekerjaan rumah SRIL kian bertambah untuk menghindari delisting, selain karena kewajiban membayar bunga dan pokok surat utang.
Kondisi pailit, oleh BEI, juga dinilai merupakan cerminan ketidakpastian atas kelangsungan usaha.
Maka Bursa memutuskan untuk melakukan penghentian sementara (Suspensi) Perdagangan Efek PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) di Seluruh Pasar terhitung sejak Sesi II Perdagangan Efek hari Senin, 28 Oktober 2024, demikian isi surat BEI, Senin (28/10/2024).
Sebagai pengingat, Bursa Efek Indonesia (BEI) sejatinya telah menggembok saham SRIL sejak 18 Mei 2021 di seluruh pasar imbas hal tersebut.
Apabila dihitung, maka per 29 Oktober hari ini, suspensi SRIL masuk bulan ke-41, sebuah kondisi di mana telah memenuhi syarat delisting, sesuai aturan bursa.
Sehingga pada Senin (28/10) lalu, BEI kembali menerbitkan reminder atas potensi delisting tersebut.
Bursa telah menyampaikan Permintaan Penjelasan dan reminder kepada SRIL untuk menyampaikan Keterbukaan Informasi kepada Publik mengenai tindaklanjut dan rencana Perseroan terhadap putusan pailit termasuk upaya SRIL untuk mempertahankan going concern-nya, kata Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna kepada awak media, Kamis (24/10).
Berdasarkan ketentuan III.1 Peraturan Bursa I-N Nomor III.1.3, delisting atas suatu saham dapat terjadi karena Saham Perusahaan Tercatat telah mengalami Suspensi Efek, baik di Pasar Reguler dan Pasar Tunai, dan/atau di seluruh Pasar, paling kurang selama 24 bulan terakhir
Namun aturan ini tidak berdiri sendiri. Tak hanya soal suspensi lebih dari 2 tahun, delisting suatu saham dapat terjadi karena emiten dinilai mengalami suatu kondisi atau peristiwa yang signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha.
Ini mencakup aspek finansial, dan/atau secara hukum, di mana perusahaan tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai.