KAHMI Sulsel Usul Sistem Pileg Didesain Ulang Merespon Wacana Pilkada Lewat DPRD
MAKASSAR, iNewsCelebes.id - Polemik atas wacana pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui DPRD terus terjadi. Apalagi wacana tersebut bergulir tidak lama setelah Pilkada Serentak selesai dilaksanakan baru-baru ini.
Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Sulawesi Selatan (Sulsel) menegaskan, jika Pilkada tidak lagi dilakukan secara langsung, maka sistem pemilihan legislatif (Pileg) juga harus segera dievaluasi.
Koordinator Presidium KAHMI Sulsel, Ni’matullah, menyampaikan hal ini dalam dialog akhir tahun bertema Dinamika Pilkada Tidak Langsung: Efisiensi atau Kepentingan Politik di Makassar, Sabtu (28/12).
Menurutnya, kualitas Pilkada lewat DPRD sangat bergantung pada kompetensi anggota dewan yang akan memilih kepala daerah.
“Jika sistem Pileg tetap terbuka seperti sekarang, sulit melahirkan pemimpin yang benar-benar kapabel, karena dipilih oleh orang-orang yang juga tidak kapabel. Maka, jika Pilkada diubah, sistem Pileg juga harus dirombak,” ujar Ni’matullah, yang akrab disapa Ullah.
Ullah berpendapat, akan sulit menghasilkan kepala daerah berkualitas jika sistem perekrutan hingga penentuan anggota dewan di DPRD tidak dievaluasi.
Sebagai solusi, Ketua Partai Demokrat Sulsel itu mengusulkan penerapan sistem proporsional tertutup dalam Pileg, yang memungkinkan partai politik menunjuk kader terbaiknya untuk duduk di parlemen.
“Berikan otonomi kepada partai untuk dia menunjuk siapa yang mewakili partainya duduk di DPRD. Harus relevan seperti itu. Jangan kita membuat kebijakan yang parsial. Jika ini diterapkan, Pilkada via DPRD bisa menjadi lebih akuntabel,” kata Ullah.
Ullah juga menilai perlunya revisi undang-undang partai politik guna mengatasi fenomena “politisi tawaf,” yaitu politisi yang kerap berpindah-pindah partai demi kepentingan pribadi.
"Sudah saatnya kita mengembangkan partai kader, bukan yang isinya politisi tawaf seperti yang terjadi selama ini," tegasnya.
Dalam dialog ini, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Hamid Paddu tampil sebagai salah satu narasumber. Ia menekankan pentingnya efisiensi dalam Pilkada tidak langsung.
Hamid menyarankan Pilkada langsung bisa saja tetap diterapkan untuk tingkat Provinsi karena memerlukan legitimasi yang lebih luas. Sementara untuk tingkat Kabupaten dan Kota dapat dilakukan melalui DPRD sebagai representasi rakyat.
“Jika Pilkada melalui DPRD, itu tetap demokratis sesuai konstitusi. Namun, penguatan DPRD sangat penting untuk mencegah praktik vote buying,” ujar Hamid.
Menurutnya, meskipun vote buying mungkin tetap terjadi, potensi kerusakannya lebih kecil dibandingkan sistem Pilkada langsung.
“Kita perlu memastikan DPRD diisi figur-figur berkualitas. Jangan sampai mereka yang tidak mampu berbicara untuk rakyat malah mengambil keputusan besar (memilih kepala daerah),” imbuhnya.
Sementara itu akademisi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Dr Romi Librayanto menyorot aspek hukum wacana Pilkada tidak langsung via DPRD yang tengah ramai saat ini.
"Kita sudah pernah mengalaminya, baik Pilkada tak langsung via DPRD maupun Pilkada langsung. Hanya saja, usulan untuk kembali ke DPRD ini perlu memenuhi semua landasan hukum, terutama secara sosiologis," jelasnya.
Romi bilang, secara filosofis dan yuridis, konsep Pilkada via DPRD sesungguhnya tidak ada masalah.
"Tinggal sekarang secara sosiologis apakah ini bisa diterima oleh publik atau tidak, mengingat kita sudah 25 tahun menjalankan Pilkada langsung. Nah, ini jadi tugas kita semua melakukan edukasi kepada masyarakat," ungkapnya.
Diskusi akhir tahun KAHMI Sulsel yang dipandu Direktur LPMD KAHMI Sulsel Asri Tadda, berjalan meriah diikuti puluhan partisipan.
Sejumlah tokoh KAHMI Sulsel tampak hadir, diantaranya Andi Tobo Hairuddin, Armin Mustamin Toputiri, Mulawarman, Prof Mustari, Baharuddin Hafid, Muslimin B Putra, Syahruddin Hamun, Sahman AT, Natsar Desi, Hidayat Muhalim dan masih banyak yang lain. (*)