Perempuan: Melawan Stereotip dan Narasi yang Belum Usai

Perempuan: Melawan Stereotip dan Narasi yang Belum Usai

Terkini | inews | Kamis, 6 Maret 2025 - 08:13
share

Febi Ramadhani Rusdin
Dosen Sains Komunikasi MNC University

PERINGATAN Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day) menjadi momen penting untuk membuka kembali jendela sejarah serta memandang dunia saat ini yang mungkin masih menyimpan kecemasan. Merenungkan sekaligus merayakan kemajuan-kemajuan kecil dari narasi panjang perjuangan perempuan tentang kesetaraan, perlawanan pada stereotip dan konstruksi sosial, serta kekerasan yang masih marak di lingkungan masyarakat.

Sejarah perjuangan perempuan adalah sejarah panjang nan berliku. Kita perlu menengok kembali ke belakang sekitar abad ke-17, melalui bukunya berjudul “A Vindication of The Right of Woman” (1792), Mary Wollstonecraft secara gigih menarasikan perlawanan pada tirani yang mengakar di Perancis. Tekadnya menyuarakan pada pemenuhan hak perempuan dalam ruang pendidikan dan hak bekerja.

Saya tertarik pada sebuah kalimat yang ia tulis dan dedikasikan kepada M. Talleyrand-Perigord di awal bukunya, Mary menulis, “Independence I have long considered as the grand blessing of life, the basis of every virtue and Independence I will ever secure by contracting my wants, though I were to live on a barren heath." Sebuah ungkapan yang menekan emosi paling melankolis bagaimana ia ingin memperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan perempuan meskipun harus hidup di padang yang tandus.

Atau pada abad ke-19, Emmeline Pankhurst, perempuan Inggris yang menginisiasi terbentuknya Women’s Social and Political Union (WSPU), sebuah gerakan yang memperjuangkan hak pilih perempuan dan mencoba mendobrak kuatnya dominasi patriarki yang diciptakan kapitalisme dan negara. Gerakan itulah yang selama ini dikenal dengan Suffragette.

Di Indonesia, kita mengenal seorang Kartini yang menginspirasi melalui pucuk-pucuk suratnya. Ia mencoba menentang tradisi yang membatasi gerak perempuan. Ia percaya pendidikan adalah kunci untuk membebaskan perempuan dari keterbelakangan. Ia adalah cahaya yang menyingkap tabir kegelapan, seperti goresan pemikirannya yang dibukukan oleh sahabatnya Abendanon dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Pertanyaannya, apakah tongkat estafet perjuangan itu telah sampai di garis akhir atau masih teredam dalam kebisingan sebuah perayaan? Apakah mimpi-mimpi tentang kesetaraan telah menjadi bagian dari kesadaran kolektif kita, ataukah masih menjadi wacana yang terus dipelihara dan dipoles dalam bentuk yang lebih modern?

Tubuh sebagai Medan Pertarungan

Dalam mitologi Yunani, tubuh perempuan adalah kutukan sekaligus anugerah. Kisah Pandora, perempuan pertama, membawa kotak yang berisi segala malapetaka ke dunia. Tapi dia juga membawa harapan. Dari kisah-kisah kuno, perempuan sering digambarkan sebagai makhluk yang ambigu: suci sekaligus terkutuk, lembut sekaligus berbahaya. Ini adalah paradoks yang terus menghantui kita hingga hari ini. 

Tubuh perempuan, dalam banyak kebudayaan, dilihat sebagai sesuatu yang harus dikendalikan, dijaga, atau bahkan disembunyikan. Ia menjadi simbol kesucian yang harus dilindungi, tetapi juga sumber godaan yang harus ditaklukkan.

Di Indonesia, tubuh perempuan adalah medan pertarungan yang kompleks. Di satu sisi, ia dirayakan dalam seni dan budaya. Di sisi lain, ia dibelenggu oleh norma-norma sosial yang seringkali tidak adil. Perempuan diharapkan menjadi istri yang setia, ibu yang penyayang, dan anak yang patuh. Tubuhnya harus memenuhi standar kecantikan yang tidak realistis, sementara pada saat yang sama, ia harus menundukkan diri pada aturan-aturan agama dan adat yang ketat.

Pertarungan atas tubuh perempuan juga terlihat pada ranah kebijakan publik. Aturan-aturan tentang pakaian, seperti larangan memakai celana pendek atau kewajiban berjilbab di beberapa daerah, adalah contoh bagaimana tubuh perempuan diatur oleh kekuasaan. Ini bukan sekadar soal pakaian, tetapi tentang siapa yang berhak menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh perempuan. Tubuh perempuan, dalam hal ini, menjadi simbol dari pertarungan antara modernitas dan tradisi, antara kebebasan individu dan kontrol sosial.

Tapi pertarungan yang paling menyakitkan seringkali terjadi di ruang privat. Kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, dan pemerkosaan adalah bentuk-bentuk penindasan yang paling nyata atas tubuh perempuan. Dalam kasus-kasus ini, tubuh perempuan bukan hanya medan pertarungan, tetapi juga korban. Ia menjadi sasaran kemarahan, kekerasan, dan dominasi. Dan yang paling tragis, seringkali perempuan sendiri yang disalahkan. Istilah, "Kenapa menggunakan baju seksi?" atau "Kenapa pulang malam?", mengungkapkan betapa tubuh perempuan selalu dilihat sebagai penyebab masalah, bukan korban.

Kita bisa melihat hasil sinkronisasi data kekerasan perempuan melibatkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komnas Perempuan, dan Forum Pengadaan Layanan (FPL), yakni sebanyak 34.682 kasus tindak kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2024 (sumber: Kementerian PPPA). Sebuah fenomena gunung es yang belum menemukan solusinya. Tentu kita berharap bahwa segelintir kasus tersebut mampu membuka mata kita dalam penyusunan kebijakan yang lebih inklusif serta mendorong perubahan perilaku masyarakat.

Pada perspektif lain, tubuh perempuan juga bisa menjadi sumber kekuatan. Dalam gerakan-gerakan feminis, tubuh perempuan adalah simbol perlawanan. Ketika perempuan memilih untuk tidak menikah, tidak memiliki anak, atau mengejar karier, mereka sedang merebut kembali tubuh mereka dari cengkeraman norma-norma sosial. Ketika perempuan berdiri bersama melawan kekerasan seksual, mereka mengubah tubuh mereka dari medan pertarungan menjadi medan perlawanan. Tubuh perempuan, dalam konteks ini, bukan lagi objek yang pasif, tetapi subjek yang aktif.

Begitu pula dalam sastra, tubuh perempuan seringkali menjadi metafora untuk kebebasan dan penindasan. Dalam novel-novel Pramoedya Ananta Toer, misalnya, perempuan seperti Nyai Ontosoroh adalah simbol dari perlawanan terhadap kolonialisme dan patriarki. Tubuhnya, yang seharusnya menjadi objek penindasan, justru menjadi sumber kekuatan dan inspirasi. Dalam puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, tubuh perempuan adalah ruang yang misterius dan penuh makna. Ia adalah tanah air, rumah, dan sekaligus pengasingan. 

Tapi pertanyaannya adalah, sampai kapan tubuh perempuan harus menjadi medan pertarungan? Kapan kita bisa melihat tubuh perempuan bukan sebagai sesuatu yang harus diatur, dikontrol, atau ditaklukkan, tetapi sebagai sesuatu yang bebas dan merdeka? Ataukah, cantik (baca:perempuan) itu akan selamanya menjadi luka? Jawabannya mungkin terletak pada kesadaran kita semua, laki-laki maupun perempuan perlu menciptakan sudut pandang yang sama dengan melihat tubuh perempuan bukan sebagai objek, tetapi sebagai subjek. Tubuh perempuan adalah milik perempuan. Dan hanya perempuan yang memiliki ruang otoritas untuk menentukan apa yang ingin mereka lakukan.

Melawan Stereotip

“Perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi dibentuk menjadi perempuan”. Itulah salah satu kalimat paling terkenal dari Simone de Beauvoir dalam bukunya “The Second Sex”. Beauvoir berusaha mengkritik bagaimana lingkungan sosial menciptakan persepsi, melahirkan ekspektasi atas peran-peran yang musti melekat pada diri perempuan sebagaimana istilah Lippmann (1922) sebagai “pictures in our heads”. Hal inilah yang kemudian memunculkan stereotip yang cenderung melihat dari lensa tradisional yang membatasi perempuan pada peran domestik.

Stereotip gender telah lama membangun tembok tebal bagi perempuan untuk mendapatkan ruang gerak. Stereotip membunuh kepercayaan diri perempuan, kata Coffman, asisten profesor dari Harvard Business School (2019). Stereotip terbentuk dari konstruksi sosial budaya, agama, dan sistem nilai yang berkelindan dan dominan dalam masyarakat. 

Hal tersebut kemudian meminggirkan, membatasi, dan mengotak-kotakkan peran mereka dalam masyarakat. Namun, stereotip gender bukan suatu fenomena yang statis, agresifnya gerakan-gerakan feminis dan peran media yang secara konsisten menyuarakan kesetaraan, anti-diskriminasi, serta ketidakadilan membawa angin segar pada kaum perempuan untuk berperan secara strategis dalam berbagai bidang kehidupan.

Peradaban manusia yang semakin modern, secara perlahan telah berhasil membuka kerang representasi perempuan di ruang publik dan kepemimpinan. Di kancah politik internasional, kita mengenal Angela Merkel, Kanselir Jerman selama hampir dua dekade (2005-2021), ia dikenal sebagai “pemimpin bebas dunia” dan salah satu perempuan paling berpengaruh di abad ke-21. 

Di negara adikuasa Amerika Serikat, hadir seorang Kamala Harris, perempuan kulit hitam pertama yang pernah menjadi Wakil Presiden AS. Di bidang bisnis dan teknologi, dari negara tetangga Australia, perempuan keturunan Asia, Melanie Perkins di usia mudanya menjadi Co-Founder dan CEO Canva dan memimpin tim lebih dari 650 orang di 3 negara berbeda.

Di Indonesia, kita mengenal Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan RI dalam tiga masa kepemimpinan presiden hingga sekarang. Beliau pernah dinobatkan sebagai salah satu tokoh perempuan berpengaruh di dunia. Atau seorang Retno Marsudi yang selama 10 tahun menjadi garda terdepan menjaga stabilitas hubungan luar negeri Indonesia. Serta tidak melupakan Megawati Soekarnoputri, pemimpin Partai terbesar dan menjadi Presiden perempuan pertama di Republik ini.

Tidak hanya di panggung birokrat dan politik, kita juga perlu menengok bagaimana perjuangan perempuan penggerak di wilayah-wilayah pelosok tanah air. Mereka mungkin jauh dari sorotan media, tetapi apa yang mereka lakukan di ruang-ruang sunyi menjadi manifestasi bahwa perempuan bisa menjadi penggerak di lingkungannya. Sebut saja Barsalina Dida, kepala Kampung Toray, Kabupaten Merauke, di perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Barsalina menjadi penggerak pemberdayaan bagi perempuan-perempuan di Sota dengan peningkatan produk-produk dari pemanfaatan sumber daya alam daerah yang kemudian berdampak pada kesejahteraan ekonomi perempuan Sota. 

Kemudian Aleta Baun yang dikenal dengan Mama Aleta, seorang aktivis lingkungan dan pejuang hak-hak masyarakat adat. Mama Aleta pada tahun 2013 pernah menerima Penghargaan Goldman Environmental Prize, yang sering disebut sebagai "Hadiah Nobel untuk Lingkungan” atas kegigihannya membangkitkan semangat perempuan Pulau Timor dalam mempertahankan wilayahnya dari eksplorasi tambang yang merusak lingkungan.

Dalam konteks Indonesia, progres perkembangan dalam beberapa tahun terakhir semakin menampakkan keberpihakan pada kesetaraan gender. Indikator utama dapat dilihat pada capaian Indeks Pembangunan Gender (IPG) Indonesia tahun 2023 memperoleh nilai 91,85 (Databoks, 2024), sering dengan indikator tersebut Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Indonesia juga mengalami peningkatan pada tahun 2023 dengan memperoleh nilai 76,90 (Kementerian PPPA, 2024). Hal ini tentu sangat patut diapresiasi bahwa upaya yang selama ini dilakukan dalam mendorong partisipasi perempuan membuahkan hasil yang cukup positif. 

Namun demikian, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh perempuan-perempuan Indonesia terutama dalam tindakan kekerasan, pemerkosaan hingga pembunuhan, serta pemberdayaan yang perlu untuk terus disuarakan. Sehingga dibutuhkan upaya kolektif dan partisipatif dari seluruh pemangku kepentingan dalam menciptakan lingkungan ideal bagi perempuan. 

Sebagaimana yang dibahasakan oleh Butler (2020) dalam bukunya The Force of Nonviolence, perubahan sosial memerlukan kesadaran kolektif dan tindakan yang konsisten. Oleh karena itu, narasi-narasi baru yang memberdayakan perempuan dan menantang stereotip perlu untuk terus dikuatkan dalam menciptakan masa depan di mana perempuan tidak lagi dibatasi, tetapi dapat berkembang sepenuhnya sebagai individu yang merdeka.

Peran Media

Salah satu aspek yang memiliki peran krusial dalam membentuk realitas sosial adalah keberadaan media. Media, dalam bentuk apapun, telah lama menjadi cermin sekaligus pembentuk opini dan konstruksi sosial. Media telah menjadi bagian integral dan sulit terpisahkan dalam kehidupan manusia. Namun, di balik peran krusial dan kemampuannya dalam menyalurkan informasi dan menyediakan hiburan, media seringkali memperkuat stereotip gender yang justru membatasi ruang gerak manusia.

Theodor Adorno (1991), filsuf dan sosiolog Mazhab Frankfurt, pernah mengkritik industri budaya sebagai mesin yang memproduksi kesadaran palsu. Menurut Adorno, media massa tidak netral, ia adalah alat kekuasaan yang mereproduksi nilai-nilai dominan, termasuk patriarki. Dalam konteks ini, penggambaran simbol-simbol berdasarkan gender menciptakan ketimpangan dan kesenjangan.

Selain Adorno, Stuart Hall, pemikir budaya asal Inggris, menegaskan bahwa media adalah arena pertarungan makna. Representasi gender dalam media bukanlah sesuatu yang alamiah, melainkan hasil konstruksi sosial yang bisa diubah. Namun, perubahan ini memerlukan kesadaran kritis dari para pembuat konten dan audiens. Sayangnya, industri media sering terjebak dalam logika pasar yang mengutamakan rating dan profit, sehingga mengabaikan tanggung jawab sosial yang mereka emban.

Bagaimana kita bisa memutus rantai stereotip gender dalam media? Sebagai akademisi dalam bidang komunikasi, saya berpandangan, Pertama, kita perlu mendorong literasi media yang lebih baik. Masyarakat harus diajarkan untuk membaca media secara kritis, memahami bahwa apa yang mereka lihat bukanlah kebenaran mutlak, melainkan konstruksi yang bisa dipertanyakan.

Kedua, industri media harus didorong untuk mengadopsi prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam produksi konten. Ini bisa dilakukan melalui regulasi yang mewajibkan representasi yang adil, atau melalui insentif bagi media yang berani menantang stereotip.

Ketiga, kita perlu melibatkan lebih banyak perempuan dan kelompok marginal dalam proses produksi media. Seperti dikatakan oleh Bell Hooks, "Representasi adalah bentuk kekuasaan." 

Ketika perempuan dan kelompok marginal memiliki suara dalam media, mereka bisa menciptakan narasi yang lebih inklusif dan membebaskan. Terakhir, pendidikan gender harus menjadi bagian integral dari kurikulum sekolah dan perguruan tinggi, agar generasi muda tumbuh dengan pemahaman yang lebih baik tentang kesetaraan.

Media memiliki kekuatan besar untuk membentuk cara kita melihat dunia dan diri kita sendiri. Namun, kekuatan ini bisa menjadi pedang bermata dua. Jika digunakan dengan bijak, media bisa menjadi alat untuk mendekonstruksi stereotip dan membangun masyarakat yang lebih adil. Namun, jika dibiarkan terjebak dalam logika pasar dan kekuasaan, media hanya akan menjadi alat penindasan baru.

Narasi yang Tak Berujung

Hal-hal yang tak berujung bukan melulu soal kesedihan seperti lagu mendiang Glenn Fredly. Tetapi juga terkait narasi perjuangan perempuan akan kesetaraan, pemberdayaan, serta perlawanan terhadap kekerasan baik di ruang publik maupun di koridor domestik. Bagian ini bukanlah sekadar rangkaian bab dalam sejarah peradaban manusia yang suatu hari nanti akan diakhiri dengan epilog yang memuaskan, tetapi ini adalah narasi yang akan terus bergulir bahkan mungkin tidak berujung. Meski kemajuan-kemajuan kecil telah dicapai, kita harus menyadari bahwa akan selalu ada resistensi yang tidak kalah keras dan terus membuntuti.

Kesetaraan gender, sebagai cita-cita, sering dianggap sebagai tujuan yang bisa dicapai melalui reformasi hukum atau perubahan kebijakan, namun, realitasnya lebih kompleks. Kesetaraan bukan hanya tentang hak-hak yang diakui di atas kertas, tetapi juga tentang transformasi budaya, pola pikir, dan struktur sosial yang telah berabad-abad meminggirkan perempuan. 

Di sini, kita berhadapan dengan tantangan yang lebih dalam, bagaimana mengubah narasi dominan yang telah mengakar dalam masyarakat, yang sering kali memposisikan perempuan sebagai subordinat, pelengkap, bahkan objek atau dalam bahasa Beauvoir yaitu "the Other".

Kekerasan terhadap perempuan, baik fisik, seksual, maupun psikologis, adalah manifestasi paling brutal dari ketidaksetaraan ini. Ia bukan hanya tindakan individu, tetapi juga produk dari sistem yang membiarkan, bahkan melanggengkan, kekerasan tersebut.

Perlawanan terhadap kekerasan ini tidak bisa hanya mengandalkan hukum yang lebih ketat atau hukuman yang lebih berat. Ia memerlukan dekonstruksi terhadap norma-norma sosial yang menormalisasi kekerasan, serta upaya kolektif untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan untuk bersuara dan bertindak.

Pemberdayaan perempuan, di sisi lain, sering kali dianggap sebagai solusi ajaib. Namun, pemberdayaan sejati bukan sekedar memberikan akses pendidikan atau membuka lapangan kerja, tetapi harus mencakup upaya dalam membongkar struktur kekuasaan yang mengekang. Perempuan tidak hanya butuh alat, tetapi juga kekuatan.

Akhirnya, perjuangan perempuan adalah perjuangan kemanusiaan itu sendiri. Ia adalah cermin dari bagaimana kita, sebagai masyarakat, menghargai martabat dan hak setiap individu. Dan seperti halnya kemanusiaan, perjuangan ini tidak akan pernah benar-benar usai. Ia akan terus bergulir, mengalir dan berdetak bersama denyut nadi zaman.

Topik Menarik