Indonesia Perlu Kaji Ulang Produk Terdampak Tarif Impor AS 32 Persen
IDXChannel - Pengenaan tarif impor sebesar 32 persen oleh Amerika Serikat (AS) terhadap produk-produk Indonesia memicu perhatian serius.
Ekonom Senior Indef Tauhid Ahmad menekankan perlunya pengkajian ulang terhadap produk-produk tertentu yang terkena dampak tarif tersebut.
"Saya kira kita belum terlibat satu perjanjian perdagangan bebas ya, free trade agreement dengan Amerika. Jadi pengenaan tarif sepanjang tidak dipermasalahkan dalam persidangan di World Trade Organization (WTO) sah-sah saja begitu," kata Tauhid dalam Special Dialogue IDX Channel, Jumat (4/4/2025).
Tauhid menjelaskan, tanpa perjanjian perdagangan bebas, AS memiliki hak untuk mengenakan tarif. Namun, jika ada banding dari AS terkait produk atau regulasi non-tarif yang dianggap merugikan, maka WTO akan mempertimbangkannya.
"Saya kira dengan perbedaan tarif ini pasti akan dikulik lagi oleh pemerintah, mana yang kemudian bisa dikurangi, mana yang tidak," ujarnya.
Dia mencontohkan sertifikasi halal sebagai salah satu regulasi non-tarif yang khas di Indonesia dan sulit untuk diubah. "Itu kalau dikurangi maka bisa jadi katakanlah beragam produk non halal masuk ke kita dan menghantam secara ideologis beragam produk yang ada di kita, itu mungkin yang menjadi bahan untuk kita me-review ulang tuntutan yang ada dari Amerika," ujar dia.
Namun, Tauhid mengakui tidak semua tuntutan AS dapat dipenuhi karena daya saing industri dalam negeri yang belum siap menghadapi tarif sebesar 32 persen.
"Karena on average berdasarkan data, tarif yang dikenakan oleh kita impor dari Amerika maksimum 5-6 persen. Kalau masuk ke Amerika, kalau sampai tarifnya 32 persen yang tidak memperhitungkan non tarif barrier maka harganya akan meningkat luar biasa besar, misalnya alas kaki bisa jadi kurang laku," kata dia.
Dia menambahkan, Indonesia dapat belajar dari negara-negara yang telah menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan AS, di mana mereka juga diberikan tarif sebesar 10 persen.
"Dari dua hal ini maka saya berkesimpulan ini adalah strategi untuk perang dagang dengan beragam negara yang mengalami surplus perdagangan terhadap Amerika," kata Tauhid.
(Dhera Arizona)