Kasus (Tudingan) Ijazah Palsu Jokowi: Lakukan Cross Examination
Reza Indragiri Amriel
Psikolog Forensik
SEBAGAI ILMUWAN, sebenarnya apa kesalahan yang diperbuat oleh Roy Suryo dan Rismon Sianipar dalam huru-hara (dugaan) ijazah palsu Joko Widodo (Jokowi)?
Tentang Ilmuwan
Hingga kini tidak ada penilaian apakah perbuatan Roy dan Rismon dapat dikategori sebagai scientific error atau justru scientific misconduct. Disebut scientific error jika mereka telah mematuhi seluruh azas-azas keilmuan. Namun, apa boleh buat, sebagai manusia yang punya keterbatasan ternyata ada kekeliruan dalam kerja ilmiah yang mereka lakukan.
Mirip dengan meledaknya pesawat ulang alik ruang angkasa Challenger pada tahun 1986 silam. Betapa pun para ilmuwan dan praktisi telah bekerja keras untuk mencapai kesempurnaan total, ternyata kesempurnaan memang tidak pernah ada. Kekhilafan tetap terjadi, sehingga terjadilah scientific error berupa salah satu tragedi dalam hikayat penguasaan antariksa oleh manusia.
Timnas Italia Terancam Gagal Lolos Piala Dunia 3 Kali Beruntun, Gennaro Gattuso Siap Penuhi Nazar?
Berbeda dengan scientific error, scientific misconduct bertitik tolak dari kesengajaan untuk tidak mengindahkan kaidah sains dan etika. Kelakuan buruk saintifik itu didetilkan terdiri dari fabrication (mengada-adakan sesuatu yang sesungguhnya tidak ada), falsification (memanipulasi data dan sejenisnya demi mencapai kepentingan nonkeilmuan si ilmuwan), dan plagiarisme.
Scientific error dikoreksi lewat riset berikutnya. Sementara ilmuwan yang melakukan scientific misconduct perlu ditakar derajat kesalahannya. Yakni, berencana dan bertujuan (purpose), berkehendak (willing), atau pengabaian (reckless).
Kalangan cerdik cendekia terbelah dua dalam menyikapi scientific misconduct. Sebagian menganggap bahwa ilmuwan yang melakukan perbuatan tidak senonoh itu perlu sampai dikenakan hukuman pidana. Selebihnya memandang sanksi etik dan akademik sudah memadai.
Untuk memastikan jenis perbuatan Roy dan Rismon, apakah scientific error ataukah scientific misconduct, titik pangkalnya adalah objek penelitian mereka harus tersedia. Lalu dicermati metode yang diterapkan dan temuan penelitian ketiga tokoh tersebut. Dari situ, semoga akan terjawab apakah Roy, Rismon, dan Tifa melakukan scientific error atau justru scientific misconduct.
Pertanyaannya, apa gerangan yang selama ini diteliti Roy dan Rismon sampai kemudian mereka simpulkan bahwa objek itu adalah palsu? Apakah yang mereka cermati adalah objek yang disebut sebagai ijazah Jokowi ataukah hasil pemindaian Dian Sandi terhadap objek yang disebut sebagai ijazah Jokowi?
Jika yang diinvestigasi adalah objek yang disebut sebagai ijazah Jokowi, maka setelah melalui metoda riset yang mereka terapkan, Roy dan Rismon otoritatif untuk menyimpulkan bahwa objek itu adalah asli atau pun palsu. Andaikan ada kekeliruan, maka Roy dan Rismon sebatas melakukan scientific error. Langkah untuk mengoreksi studi mereka adalah melalui studi tandingan.
Dari 19 Tim, Timnas Indonesia Satu-satunya Negara Asia Tenggara yang Lolos Piala Asia 2027!
Namun seandainya kajian Roy dan Rismon tertuju pada hasil pemindaian, maka apa pun metoda yang mereka aplikasikan, tidak beralasan bagi keduanya untuk bypass menyatakan "ijazah Jokowi asli" ataupun "ijazah Jokowi palsu". Ahli telematika dan ahli digital forensik tersebut hanya bisa menarik simpulan berbunyi "jika objek yang Dian Sandi pindai itu adalah benar-benar ijazah Jokowi, maka hasil pemindaian itu menunjukkan bahwa ijazah Jokowi palsu" atau ".... asli".
Karena sampai saat ini Polri merupakan satu-satunya pihak yang telah meneliti objek yang disebut sebagai ijazah Jokowi, maka sesungguhnya Roy dan Rismon tidak memiliki justifikasi ilmiah untuk mengeluarkan pernyataan melompat bahwa "ijazah Jokowi palsu" maupun "ijazah Jokowi palsu".
Apabila salah satu dari dua kalimat itu yang mereka kemukakan, tanpa pernah meneliti objek yang disebut sebagai ijazah Jokowi, maka patut diduga bahwa Roy dan Rismon telah melakukan fabrikasi (mengada-adakan suatu penilaian atas suatu objek yang faktanya tidak pernah mereka teliti). Dan fabrikasi sedemikian rupa, sekali lagi erupakan scientific misconduct.
Penting dicatat: uraian di atas juga berlaku bagi Josua Sinambela, ahli digital forensik yang berseberangan pendapat dengan Roy dan Rismon. Penilaian "asli" yang ia lontarkan perlu dievaluasi melalui tahap-tahap yang sama. Pertama, apa objek yang ia teliti. Kedua, bagaimana redaksional simpulan "asli" yang ia susun. Dan ketiga, apakah di dalam kerja saintifiknya itu terkandung scientific error atau scientific misconduct.
Pastinya, setali tiga uang dengan Roy dan Rismon, Josua pun tidak otoritatif menyimpulkan "ijazah Jokowi palsu" atau "ijazah Jokowi asli" selama objek yang ia analisis bukanlah objek yang disebut sebagai ijazah Jokowi. Apabila kalimat sedemikian rupa yang ia kemukakan sebagai simpulan, padahal ia tidak meneliti objek yang disebut sebagai ijazah Jokowi, maka Josua pun berpotensi dinilai melakukan scientific misconduct.
Bahkan sekalipun perbuatan Roy, Rismon, dan Josua dapat digolongkan sebagai scientific misconduct, masih dibutuhkan kesepakatan nasional terkait bentuk tindakan yang akan dijatuhkan kepada mereka masing-masing dan juga kepada para ilmuwan lain yang melakukan kesalahan serupa. Selama kesepakatan itu belum ada (apalagi kesepakatan dalam bentuk norma hukum pidana), maka sanksi maksimal bagi Roy, Rismon, dan Josua cukup berupa sanksi etik dan akademik.
Tentang Ijazah
Ada beragam versi sejarah tentang pihak-pihak di belakang malapetaka 30 September 1965. Tapi lima kalangan dengan pendapat-pendapat sejarah yang variatif itu tidak lempar caci maki dan tidak pula melakukan kriminalisasi satu sama lain. Pengecualian ada pada Sukmawati Sukarno. Di dalam bukunya, ia melontarkan sumpah serapah kepada Soeharto. Kendati begitu, keluarga atau pun pendukung Soeharto tidak membalas sama sekali, apalagi melaporkan Sukmawati ke polisi.
Begitulah idealnya dialektika antarpenulis sejarah. Enam hasil studi mereka menyediakan metode dan simpulan yang tidak habis-habisnya untuk dikaji oleh peminat dan peneliti sejarah berikutnya. Itu juga ideal karena tidak ada catatan buruk tentang bagaimana kaum cerdik cendekia meringkuk dalam penjara akibat buah pemikiran mereka. Sehingga, tidak ada trauma di kalangan ilmuwan-ilmuwan lainnya untuk terus memproduksi perspektif beragam tentang 30 September 1965.
Kalau cara penyikapan serupa juga publik di Tanah Air kenakan pada kasus dugaan ijazah palsu Jokowi, maka Roy, Rismon, dan Josua, plus jika ada saintis-saintis yang berbeda pandangan dengan mereka, tidak akan berbenturan secara pribadi dan berkonflik secara hukum. Sebaliknya, antarkubu ilmuwan tersebut akan bergelut sebagai sekondan yang terus menelurkan ilmu pengetahuan baru.
Penyikapan kritis dan fair atas peristiwa kelam 30 September 1965 terbentuk karena kejadian tersebut terbuka bagi siapa pun. Semua pihak punya akses untuk menjadikannya sebagai tema studi sekaligus mengaplikasikan metodelogi riset masing-masing terhadap objek berupa peristiwa historis itu. Alhasil, seandainya akses terhadap ijazah Jokowi juga terbuka bagi siapa pun, maka penyikapan kritis dan fair serupa akan terbangun juga.
Namun nasi telah menjadi bubur. Tema tentang ijazah palsu Jokowi yang tadinya potensial mendatangkan keasyikan jangka panjang untuk diteliti, dikaji, diteliti lagi, dikaji kembali, sekarang kadung berbelok menjadi isu ketersinggungan hati. Polisi pun telah menguncinya sebagai masalah hukum yang harus diselesaikan lewat litigasi. Litigasi berkonsekuensi bahwa di hilir nanti akan ada yang didudukkan sebagai terdakwa bahkan mungkin terpidana. Getir memang.
Akibatnya, pegang omongan saya: kelak sembarang ilmuwan akan ngeri menyoroti ulang lembaran kertas (konon) keluaran Universitas Gadjah Mada yang seyogianya menjadi objek riset itu.
Tapi bisakah nasi yang telanjur menjadi bubur itu dibalik menjadi nasi lagi? Ada peluang untuk itu.
Pertama, pijakannya adalah mendorong hakim untuk tahu akan efficacy norm. Efficacy norm adalah salah satu pisau analisis untuk menilai putusan hakim, yakni dengan menakar seberapa jauh hakim sanggup memuat kajian-kajian sains dalam produk hukum. Norma ini sekaligus meminta 'pertanggungjawaban' hakim yang menyidangkan perkara yang pembuktiannya sangat mengandalkan ilmu kedokteran, fisika, balistik, psikologi, kimia, telematika, dan berbagai disiplin sains lainnya.
Dalam perkara semacam itu, sebetulnya hakim dituntut seketika menjadi ilmuwan semu (pseudo scientist) lintas disiplin. Tidak ada alasan bagi hakim untuk mengakui betapa peliknya memahami kompleksitas sains dalam waktu singkat, lalu harus mampu membuat putusan berdasarkan khazanah keilmuan yang sejatinya asing tersebut.
Kedua, menyelenggarakan fairness terkait akses ke barang bukti maupun objek perkara. Artinya, bukan hanya jaksa atau penyidik yang dapat melakukan uji ilmiah terhadap objek yang disebut sebagai ijazah Jokowi. Agar azas fairness terpenuhi, hakim sepatutnya memberikan kesempatan setara kepada terdakwa untuk juga melakukan uji ilmiah terhadap objek tersebut. Sehingga nantinya kepada hakim disodorkan dua versi uji ilmiah, dan sepenuhnya terserah hakim untuk memercayai salah satu versi sebagai dasar untuk memutus perkara.
Praktik fairness terkait akses ke barang bukti maupun objek perkara didemonstrasikan pada perkara OJ Simpson. Setelah mencermati dua versi uji ilmiah atas barang bukti (kain), hakim ternyata justru berpandangan sama dengan terdakwa bahwa barang bukti yang diuji forensik oleh penyidik adalah compromised, corrupted, dan contaminated. OJ Simpson pun divonis tidak bersalah.
Dari persidangan itu, publik di Amerika memperoleh penguatan untuk selalu kritis terhadap kerja kepolisian. Kebenaran ternyata memang tidak serta-merta, absolut, dan selalu berada di tangan polisi. Segala benda yang dihadirkan di persidangan, termasuk hasil uji forensik oleh polisi sekalipun, tidak boleh dipandang apriori dan harus dibuka untuk diuji oleh semua pihak yang beperkara.
Ketiga, efficacy norm semestinya membangun keinsafan bahwa sebagai manusia, hakim sesungguhnya tidak sanggup memiliki khazanah sains yang mencukupi untuk menangani perkara dengan bobot keilmuan lintas disiplin yang amat sangat pelik. Untuk itu, mekanisme ala blue ribbon jury patut dipraktikkan sebagai inovasi yudisial. Yakni, menugaskan hakim khusus (bukan generalis) yang benar-benar cakap untuk memahami, mengkritik, dan menyintesis perspektif saintifik di ruang sidang.
Akhirul kalam: seandainya objek perkara yang disebut sebagai ijazah Jokowi itu palsu, apakah itu perwujudan scientific error ataukah scientific misconduct?
Allahu a'lam.










