Wamenkum Sebut Jokowi Sempat Tak Setujui Pasal Penghinaan Presiden saat Godok KUHP Baru
JAKARTA – Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi), disebut sempat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pasal penghinaan terhadap presiden yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, yang akan mulai berlaku pada Januari 2026.
Hal tersebut diungkapkan Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif Hiariej saat menceritakan proses pembahasan KUHP. Jokowi, yang saat itu masih menjabat sebagai Presiden RI, bahkan sempat menarik Rancangan KUHAP dari pembahasan antara pemerintah dan DPR RI.
Jokowi, kata Eddy Hiariej, tidak ambil pusing dengan hinaan yang ditujukan kepadanya sebagai kepala negara.
“Presiden Jokowi dulu itu tidak setuju dengan pasal penyerangan kehormatan terhadap presiden. Sampai bertanya, kenapa pasal itu harus ada? Saya juga kalau dihina enggak apa-apa,” kata pria yang akrab disapa Eddy Hiariej saat kuliah hukum bertajuk Kupas Tuntas KUHP dan KUHAP Nasional yang digelar Ikatan Wartawan Hukum (IWAKUM) di Jakarta Selatan, Selasa (23/12/2025).
Sebagai bagian dari tim penyusun undang-undang, Eddy menjelaskan bahwa pasal tersebut tidak dibuat untuk melindungi pribadi Presiden Jokowi, melainkan untuk melindungi institusi kepala negara secara umum.
Ia menyebutkan, hampir seluruh KUHP di berbagai negara memuat pasal terkait penyerangan atau penghinaan terhadap kepala negara, termasuk kepala negara asing.
“Di KUHP seluruh negara ada pasal penghinaan terhadap kepala negara asing. Kalau kehormatan kepala negara asing saja dilindungi, apalagi kehormatan kepala negara sendiri,” ujarnya.
Lebih lanjut, Eddy menekankan bahwa keberadaan pasal tersebut bukan soal kesetaraan di depan hukum (equality before the law), melainkan berkaitan dengan fungsi hukum pidana yang pada dasarnya bertujuan memberikan perlindungan.
“Hukum pidana itu melindungi individu, masyarakat, dan negara. Individu dilindungi nyawanya, hartanya, dan martabatnya. Negara dilindungi kedaulatan, pemerintahan, dan kehormatannya,” jelasnya.
Menurut Eddy, presiden dan wakil presiden merupakan simbol utama negara sehingga memiliki posisi berbeda dengan warga negara biasa. Oleh karena itu, perlindungan hukumnya juga diatur secara khusus dengan memberi pagar yang ketat agar pasal penghinaan terhadap presiden tidak disalahgunakan oleh aparat penegak hukum.
“Dalam penjelasan pasal, secara tegas disebutkan bahwa ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk membatasi kebebasan berekspresi, berpendapat, maupun berdemokrasi. Kritik terhadap pemerintah, termasuk melalui unjuk rasa, dinyatakan tidak dilarang. Baca Pasal 318, itu jelas. Kritik tidak dilarang. Unjuk rasa adalah bentuk kritik yang sah,” tegasnya.
Selain itu, Eddy menyampaikan bahwa pasal penghinaan terhadap presiden dalam KUHP baru dikategorikan sebagai delik aduan absolut. Artinya, hanya presiden atau wakil presiden yang dapat melaporkan dugaan penghinaan tersebut.
“Yang bisa melapor hanya presidennya atau wakil presidennya. Tidak bisa orang lain,” paparnya.
Bahkan, KUHP baru juga mengatur alasan penghapusan pidana apabila pernyataan yang dianggap menghina disampaikan demi kepentingan umum.
“Kalau untuk kepentingan umum, termasuk pemberitaan pers, itu tidak bisa dikenakan pasal ini,” pungkas Eddy.









