Raperda Kawasan Tanpa Rokok di Jakarta Bakal Ancam UMKM dan Pelaku Event

Raperda Kawasan Tanpa Rokok di Jakarta Bakal Ancam UMKM dan Pelaku Event

Ekonomi | okezone | Senin, 15 Desember 2025 - 19:11
share

JAKARTA - Isu pengendalian terhadap produk tembakau bukan lagi menjadi permasalahan baru. Hadirnya peraturan daerah terkait pengendalian produk tembakau diyakini mampu menciptakan lingkungan yang sehat. Namun isu ini memunculkan polemik yang belum tuntas antara berbagai pihak. 

Arman Suparman, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah/KPPOD menyoroti mengenai Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Jakarta.

“Peraturan daerah terkait dengan kawasan tanpa rokok ini itu sifatnya delegatif, yaitu mandat dari peraturan perundang-undang yang lebih tinggi. Dalam hal ini di level nasional ada Undang-Undang 17 Tahun 2023 dan turunannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 terkait dengan pelaksanaan dari Undang-Undang Kesehatan,” ucap Arman dalam Podcast Bikin Terang di YouTube Official iNews, pada Jumat (12/12/2025).

Ia menambahkan, PP 28 Tahun 2024 memandatkan pemerintah daerah untuk segera merevisi kalau sudah ada yang existing atau membuat baru untuk peraturan daerah (Perda) terkait dengan kawasan tanpa rokok.

Ia menyebut, Raperda KTR tersebut menimbulkan polemik yang cukup panjang sebetulnya tidak hanya di DKI Jakarta, semua daerah. Hal tersebut disebabkan regulasi ini mencoba mendamaikan dua sisi yang sangat ekstrem. 

“Satu di sisi isu kesehatan, satu di sisi ekonomi. Jadi pertentangan antara dua kubu ini yang sebetulnya tidak hanya terjadi di level lokal, di level nasional pun peraturan itu pasti menimbulkan polemik, pro dan kontra antara dua kubu itu,” tuturnya.

Arman melanjutkan, terkait dengan turunan dari Undang-Undang Kesehatan ini ada beberapa ketentuan, seperti pelarangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 m dari sarana prasarana pendidikan dan taman bermain anak, larangan pemajangan, larangan iklan, promosi, serta sponsorship produk tembakau. 

“Jadi, 200 meter dari sekolah itu dilarang. Kemudian yang kedua pelarangan iklan atau promosi rokok. Kemudian ada beberapa ketentuan lain juga terkait dengan tadi itu tempat khusus tempat rokok. Ini masalah nasional sebetulnya bukan masalah DKI, karena ini diatur di regulasi nasional,” katanya.

Raperda Kawasan Tanpa Rokok Berpotensi Melumpuhkan Industri Event

Sekjen DPP Industri Event Indonesia (Ivendo) Evan Saiful Rohman mengatakan bahwa Raperda KTR Jakarta ini tidak berpihak pada sisi industri.

“Karena di situ jelas kami para pelaku event ini kan ada yang punya event sudah berjalan lama dengan sponsor yang paling besar dari produk tersebut (produk tembakau). Kalau dibatasi dengan pelarangan secara keseluruhan sudah pasti mati,” ujarnya.

Ia mengungkapkan, sponsor terbesar dari event biasanya dari brand produksi tembakau. Bahkan ada yang menjadi sponsor tunggal. “Di sini kami pelaku industri ini membutuhkan juga kehidupan yang harus tetap berjalan,” tuturnya.

Evan mengaku, produk tembakau berkontribusi besar untuk sebuah event. “Sekitar 35 sampai 40 persen sponsor dari produk rokok. Kalau peraturan ini berlaku, 35 sampai 40 persen itu hilang, apalagi kalau produk rokok jadi full sponsor, akan hilang event-nya, hilang juga tenaga kerjanya,” ucapnya.

Ancaman Pengangguran Meningkat bagi Pelaku Event dan UMKM

Diskusi Polemik Raperda Kawasan Tanpa Rokok dalam Podcast Bikin Terang. (Foto: dok YouTube iNews)

Sektor produk tembakau juga menjadi penopang hidup masyarakat dalam menciptakan lapangan kerja. Jika Raperda KTR Jakarta ini berlaku maka akan memicu kekhawatiran yang lebih besar dari sektor UMKM dan pelaku event.

Evan menyampaikan, event ini tujuannya untuk membuka tenaga kerja. “Jangan sampai yang pelaku event yang rata-rata pendidikannya di bawah standar, jadi tidak punya pekerjaan lagi,” tuturnya. 

Sementara itu, Arman menambahkan, “Sebetulnya kalau bicara kawasan tanpa rokok itu atau pengendalian produk hasil tembakau ya kita bicara masalah paling krusial struktural di Indonesia, soal ketenagakerjaan.”

“Produk hasil tembakau itu dari hulu dari para petani sampai di hilir para pelaku event para UMKM gitu ya itu sekitar 6 juta orang. Sektor ini berkontribusi terhadap 8 persen dari PDB,” ujarnya.

Pada 2024, imbuhnya, sekitar Rp247 triliun memberikan kontribusi terhadap pendapatan negara. 

“Kalau misalnya kebijakan ini diterapkan itu pasti akan mengganggu. Pertama pemasukan ke negara, kemudian mengganggu soal isu ketenagakerjaan tadi,” tuturnya.

“Selain berdampak terhadap UMKM di sektor hilir di hulu juga para petani tembakau. Di Sleman, Garut, Bandung, di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur itu pasti terdampak dari peraturan ini,” kata Arman. 

Strategi Menurunkan Prevalensi Merokok

Arman Suparman dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah/KPPOD. (Foto: dok YouTube iNews)

Kebiasaan merokok telah menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat. Berbagai upaya pun dilakukan demi menciptakan lingkungan yang sehat dan bebas dari asap rokok, termasuk hadirnya Raperda Kawasan Tanpa Rokok.

Arman mengungkapkan bahwa kawasan tanpa rokok ini satu dari instrumen pengendalian orang untuk mengkonsumsi rokok. Selain soal pembatasan umur serta zonasi, dari 2017-2018 itu sebetulnya yang paling efektif untuk membentengi orang untuk tidak merokok itu adalah orang-orang sekitar. 

Menurutnya, promosi atau iklan rokok tidak efektif. Apalagi jika di Jakarta diterapkan regulasi tersebut dengan melarang reklame rokok atau penjualan, tentu saja perokok tetap memenuhi kebutuhannya, yaitu merokok.

“Oleh karena itu, menurut kami memang yang paling penting itu adalah soal edukasi. Edukasi mulai dari yang formal sampai yang informal. Karena dengan demikian itu yang paling efektif membatasi orang terutama perokok pemula untuk tidak mencoba untuk merokok,” ucapnya.

Arman juga menjelaskan, sebelumnya di Jakarta ada kawasan dilarang merokok, namun kurang efektif untuk mengurangi jumlah perokok. Adapun larangan promosi rokok dengan radius tertentu tidak menurunkan prevalensi merokok.

Arman menegaskan bahwa yang paling memungkinkan dari Raperda ini adalah soal pelarangan menjual rokok kepada anak di bawah 21 tahun. “Kalau itu menurut kami ini adalah jalan tengah sehingga tinggal proses pengawasannya itu nanti seperti apa, sistemnya juga harus siap, misalkan harus dicek KTP. Yang kedua adalah edukasi,” ucapnya.

Ia juga menilai, selain edukasi, perlu juga ditingkatkan kepatuhan dalam pengawasan. “Menurut kami itu perlu diperkuat dengan sanksi. Penegakan sanksi yang menimbulkan efek jera. Bukan hanya untuk anak, tapi juga lingkungannya, misalkan orangtuanya,” katanya.

Raperda Kawasan Tanpa Rokok ini diharapkan mampu merangkul segala aspek, baik sisi kesehatan dan juga ekonomi, karena keduanya merupakan pilar yang penting di Indonesia.

Topik Menarik