HIKMAH JUMAT : Ukuran Kemuliaan Seorang Muslim
Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; Ketua PCM Pagedangan, Tangerang
BANYAK ORANG yang melakukan berbagai cara untuk mendapatkan kemuliaan sesuai dengan versi dan ukuran yang ditetapkannya. Versi dan ukuran kemuliaan tersebut sebagian besar biasanya bertentangan dengan versi dan ukuran kemuliaan seorang muslim yang sesungguhnya.
Sebut saja ada orang yang mengukur kemuliaannya dengan uang dan harta yang dimilikinya. Demi ukuran tersebut ada sekelompok orang yang bersindikat untuk membuat uang palsu seperti kasus yang terjadi beberapa hari belakangan ini.
Ada juga orang yang mengukur kemuliaannya dengan jabatan dan kedudukannya di dalam pemerintahan atau lembaga negara lainnya. Demi ukuran tersebut dia pun rela melakukan tindakan tercela dengan menyuap rakyat atau politik uang hingga kampanye hitam.
Fakta menunjukkan, orang-orang yang mengukur kemuliaan dirinya berdasarkan versi dan ukuran seperti yang diuraikan di atas, biasanya mengalami stres dan depresi berkepanjangan jika apa yang diinginkannya tidak tercapai. Jika pun tercapai, dia akan menjadi orang yang sombong dan arogan.
Sebagai seorang muslim sejati, sesungguhnya ukuran kemuliaan seseorang itu bukan ditentukan oleh ukuran-ukuran seperti dipaparkan di atas atau ukuran-ukuran lain versi manusia. Ukuran kemuliaan seorang muslim mengikuti kriteria sebagaimana sabda Baginda Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim). Hadits ini memberikan ukuran kemuliaan seseorang di mata Allah, yakni bukan fisik dan harta, melainkan isi hati dan amal perbuatannya.
Jika ada seorang muslim yang masih menentukan kemuliaan berdasarkan ukuran harta, uang, pangkat, jabatan, dan ukuran-ukuran duniawi lainnya, maka bisa jadi orang tersebut telah terjebak oleh indahnya dunia yang penuh dengan tipu daya.
Allah Ta’ala telah memperingatkan hal ini melalui firman-Nya yang artinya: “Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan, kelengahan, perhiasan, dan saling bermegah-megahan di antara kamu serta berlomba-lomba dalam banyaknya harta dan anak keturunan.
(Perumpamaannya adalah) seperti hujan yang tanamannya mengagumkan para petani, lalu mengering dan kamu lihat menguning, kemudian hancur. Di akhirat ada azab yang keras serta ampunan dari Allah dan keridhaan-Nya. Kehidupan dunia (bagi orang-orang yang lengah) hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS. Al-Hadid [57]: 20).
Dalam tafsir Al-Misbah, Prof. Dr. Quraish Shihab menjelaskan bahwa permainan, kelengahan, perhiasan, saling berbangga-bangga, dan saling berlomba-lomba dalam kekayaan dan anak adalah representasi dari berbagai aspek kehidupan dunia yang menarik perhatian dan sering kali menjadi tujuan hidup orang-orang yang tidak menyadari hakikat sejati kehidupan.
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : iNewsSerpong)
Terkait hal di atas, Prof. Dr. Quraish Shihab mengutip nasihat Sayyidina Ali R.A. yaitu: “Jangan bersedih karena kehilangan kenikmatan dunia, karena kenikmatannya hanyalah terdiri dari enam macam: makanan, minuman, pakaian, aroma, kendaraan, dan hubungan seks.
Makanan yang terbaik adalah madu, yang merupakan ludah serangga (lebah). Minuman yang paling banyak adalah air, yang juga merupakan minuman semua binatang. Pakaian yang terbaik adalah sutra, yang merupakan hasil rajutan ulat.
Aroma yang paling nyaman adalah wewangian, yang sering kali berasal dari bahan alami yang unik. Kendaraan yang terbaik adalah kuda, yang di medan pertempuran banyak pejuang terkenal gugur. Sedangkan hubungan seks hanyalah pertemuan alat kelamin di tempat yang sama.”
Untuk itu, ukuran kemuliaan seorang muslim yang hakiki adalah yang ditetapkan oleh Allah dan Rasulullah-Nya. Ukuran tersebut bukanlah sesuatu yang memperdaya atau kesenangan yang bersifat sementara, melainkan sesuatu yang berbuah kebahagiaan abadi.
Takwa Menjadi Ukurannya
Sekali lagi, kemuliaan seseorang bukan diukur dari harta, uang, pangkat dan jabatannya. Bukan pula diukur dari jenis kelamin, warna kulit, suku bangsa, dan bahasa yang digunakannya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).
Berdasarkan ayat di atas, maka jelaslah sudah bahwa kemuliaan seseorang diukur dan ditentukan berdasarkan derajat ketakwaannya. Oleh karena itu, kita harus senantiasa berusaha untuk meningkatkan ketakwaan agar menjadi orang yang mulia di sisi Allah Ta’ala.
Terkait dengan takwa, Ibnu Taimiyah memberikan penjelasan bahwa takwa adalah seseorang beramal ketaatan kepada Allah atas cahaya (petunjuk) dari Allah karena mengharap rahmat-Nya dan ia meninggalkan maksiat karena cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan siksa-Nya.
Takwa sejatinya hanya bisa dinilai oleh Allah Ta’ala, karena takwa letaknya di dalam hati. (Foto: Ist)
Sementara itu, di dalam tafsir Ibnu Katsir, Ibnu Abbas mendefinisikan takwa sebagai takut berbuat syirik kepada Allah dan selalu mengerjakan ketaatan kepada-Nya. Definisi takwa yang lain disampaikan oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyyah yang menegaskan bahwa hakikat takwa adalah takwa hati, bukan takwa anggota badan.
Walaupun pendapat para sahabat dan ulama terkait dengan takwa itu sepertinya berbeda-beda, namun kita harus memandangnya bukan sebagai sebuah pertentangan atau perbedaan pendapat. Kita harus memandangnya sebagai saling melengkapi satu dengan yang lainnya.
Oleh karena itu, dari sekian banyak terminologi takwa yang ada, seluruhnya mengarah kepada satu konsep yang sama tentang takwa yakni melaksanakan semua perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan menjaga diri agar terhindar dari api neraka dan murka Allah Ta’ala.
Itulah takwa yang menjadi ukuran kemuliaan seorang muslim. Takwa sejatinya hanya bisa dinilai oleh Allah Ta’ala, karena takwa letaknya di dalam hati. Oleh karenanya, kita tidak perlu menyibukkan diri untuk menilai kemuliaan orang lain, namun hendaknya kita fokus untuk memperbaiki kualitas takwa diri kita sendiri.
Mari kita luruskan kembali cara pandang dan cara menilai kita terhadap kemuliaan diri kita sendiri, agar kita tidak salah melangkah dalam menentukan target dalam kehidupan kita. Jadikanlah takwa sebagai target dan ukuran agar kemuliaan dunia dan akhirat kita dapatkan.
Akhirnya, perhatikanlah hadits qudsi berikut ini: “Hai anak Adam, luangkanlah waktu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku penuhi dadamu dengan kekayaan dan Aku menghindarkan kamu dari kemelaratan.
Kalau tidak, Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan kerja dan Aku tidak menghindarkan kamu dari kemelaratan.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah). (*)
Jadikanlah takwa sebagai target dan ukuran agar kemuliaan dunia dan akhirat kita dapatkan. (Foto: Ist)
Wallahu a’lam bish-shawab.