Ribuan Demonstran Protes Hasil Pemiu Georgia, Bisa Picu Revolusi Seperti Ukraina
TBILISI - Ribuan orang berunjuk rasa di luar gedung parlemen Georgia di Tbilisi pada Senin, (28/10/2024) setelah partai yang berkuasa Georgian Dream memenangkan pemilihan umum yang ditandai dengan laporan kecurangan. Negara-negara Barat, yang mendukung oposisi menyerukan penyelidikan terhadap hasil pemilihan umum pada Sabtu, (26/10/2024).
Partai Georgian Dream menginginkan hubungan yang lebih baik dengan Rusia sementara pihak oposisi menginginkan integrasi Georgia ke dalam Uni Eropa. Georgia telah mengajukan permohonan keanggotaan Uni Eropa tetapi status kandidatnya dibekukan karena undang-undang tentang agen asing.
Beberapa pengunjuk rasa di Tblisi membawa spanduk anti-Rusia, sementara Kata "dicuri" diproyeksikan ke bagian depan gedung parlemen. Meski tidak ada tanda-tanda eskalasi situasi atau bentrokan yang terjadi, situasi ini memunculkan kekhawatiran akan terjadinya revolusi seperti yang terjadi di Ukraina pada 2014.
Komisi Pemilihan Georgia mengumumkan bahwa Partai Georgian Dream, yang berkuasa pada 2012, memenangkan hampir 54 suara dalam pemilihan Sabtu. Menyusul pengumuman tersbeut empat partai oposisi utama yang memenangkan kursi di parlemen mengatakan mereka tidak mengakui hasil tersebut, dan bahwa mereka akan memboikot majelis tersebut.
Presiden Salome Zourabichvili telah mendesak orang-orang untuk turun ke jalan setelah hasil pemilu diumumkan.
"Anda tidak kalah dalam pemilu. Suara Anda dicuri, dan mereka juga mencoba mencuri masa depan Anda," kata Zourabichvili kepada massa yang mengenakan bendera Georgia dan Uni Eropa, sebagaimana dilansir Reuters .
"Bersama-sama, dengan damai, seperti yang kita lakukan hari ini, kita akan mempertahankan apa yang menjadi hak kita: hak konstitusional Anda agar suara Anda dihormati."
Pemantau dari Organisasi Keamanan dan Kerja Sama di Eropa mengatakan mereka mencatat adanya insiden pembelian suara, intimidasi pemilih, dan penyusupan surat suara yang dapat memengaruhi hasil, tetapi tidak mengatakan bahwa pemilihan itu curang.
Hasil pemilihan tersebut menjadi tantangan bagi ambisi Uni Eropa untuk berekspansi dengan melibatkan lebih banyak negara bekas Soviet. NATO dan Uni Eropa menyerukan penyelidikan penuh atas apa yang disebut aliansi militer Barat sebagai "lapangan bermain yang tidak seimbang" dalam pemilihan tersebut.
Amerika Serikat (AS) bahkan mengancam akan mengambil tindakan jika pemerintah Georgia tidak berubah.
"Kami tidak mengesampingkan konsekuensi lebih lanjut jika arahan pemerintah Georgia tidak berubah," kata Juru Bicara Departemen Luar AS Negeri Matthew Miller, tanpa menjelaskan konsekuensi potensial apa pun.
Kantor berita Rusia TASS melaporkan bahwa penembak jitu yang dilatih di Ukraina telah tiba di Tblisi diduga untuk menciptakan insiden palsu yang dapat mendorong pembenaran kudeta oleh oposisi.
"Menurut sumber resmi yang terinformasi, Barat, dalam upaya mereka untuk mengacaukan situasi politik internal di Georgia setelah pemilihan 26 Oktober dan memprovokasi 'revolusi warna' lainnya, tidak akan berhenti," demikian dilaporkan TASS.
"Penembak jitu yang dilatih di Ukraina telah tiba di republik tersebut untuk mengatur provokasi selama protes massa."
Pejabat Georgian Dream telah memperingatkan bahwa pihak oposisi bermaksud untuk memicu kerusuhan sipil yang mirip dengan revolusi warna di Ukraina pada tahun 2014. Moskow telah mengatakan bahwa permusuhan saat ini dengan Kyiv sebagian merupakan hasil dari pemberontakan satu dekade lalu.
Rusia telah menolak tuduhan apa pun bahwa mereka entah bagaimana memengaruhi pemilihan umum Georgia, dengan menyatakan bahwa telah terjadi campur tangan terang-terangan dari Barat sebagai gantinya. Meskipun pihak oposisi mengklaim adanya kecurangan pemilu, Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE) melaporkan bahwa mereka tidak mengamati adanya penyimpangan sistemik.