Jejak Karir Bashar al-Assad, dari Dokter hingga Pemimpin Diktator Suriah
JAKARTA - Pada Minggu (8/12/2024), Presiden Bashar al-Assad meninggalkan Suriah, mengakhiri kekuasaannya menyusul pemberontakan yang terjadi.
Militer Suriah yang semakin lemah akibat perang panjang tidak mampu menghadapi serangan dari kelompok jihad yang terorganisir. Sementara itu, fokus Rusia yang beralih ke perang di Ukraina dan berkurangnya dukungan Iran semakin memperlemah posisi rezim Bashar.
Melansir The Guardian, Senin (9/12/2024), dalam minggu-minggu terakhir pemerintahannya, Bashar terus menyatakan ia akan menghancurkan semua pemberontak. Namun, kenyataannya, ia kehilangan kendali atas sebagian besar wilayah Suriah, termasuk Damaskus. Pada Desember 2024, 50 tahun pemerintahan keluarga Assad akhirnya berakhir, meninggalkan Suriah sebagai negara yang terpecah-belah dan hancur akibat konflik.
Bashar al-Assad awalnya tidak direncanakan untuk menjadi pemimpin Suriah. Sebagai putra kedua dari Hafez al-Assad yang saat itu menjabat sebagai presiden Suriah, ia menghabiskan sebagian besar masa mudanya mengejar karir sebagai dokter mata dan sempat menempuh pendidikan di London. Namun, setelah kakaknya, Bassel, yang dianggap penerus ayahnya, meninggal dalam kecelakaan mobil pada 1994, Bashar dipanggil kembali ke Suriah untuk dipersiapkan menggantikan ayahnya.
Ketika Hafez meninggal pada 2000, parlemen segera menurunkan batas usia presiden dari 40 menjadi 34 tahun. Bashar, yang berusia 34 tahun, dilantik sebagai presiden dan disahkan melalui referendum nasional, di mana ia menjadi satu-satunya calon.
Hafez merupakan seorang militer sejati, yang memerintah Suriah selama hampir 30 tahun dan mendirikan ekonomi terpusat ala Soviet. Dia juga menegakkan kekuasaannya dengan tangan besi, sehingga warga Suriah takut untuk membicarakan politik, bahkan dengan teman dekat sekalipun.
Awalnya, Bashar berusaha mencitrakan diri sebagai pemimpin yang berbeda dari ayahnya. Posisi resminya sebelum menjadi presiden adalah ketua Masyarakat Komputer Suriah. Istrinya, Asma al-Akhras, merupakan wanita kelahiran Inggris dan seorang mantan bankir Inggris-Suriah yang dinikahinya beberapa bulan setelah ia menjabat. Mereka memiliki tiga anak dan tampak menghindari kemewahan kekuasaan dengan memilih tinggal di apartemen di distrik Abu Rummaneh, Damaskus, alih-alih istana seperti pemimpin Arab lainnya.
Bashar mencoba menggambarkan Suriah di bawah pemerintahannya sebagai negara yang lebih modern dan progresif.
Media Barat pada awalnya bahkan memuji Asma sebagai “Rose in the Desert” dalam profil yang diterbitkan oleh Vogue pada tahun 2011.
Saat awal pemerintahannya, Bashar sempat memberikan harapan akan adanya reformasi. Ia membebaskan beberapa tahanan politik dan menjanjikan pembaruan ekonomi. Bahkan selama "Musim Semi Damaskus", muncul beberapa tempat di mana warga Suriah bisa berdiskusi tentang seni, budaya, dan politik, yang sebelumnya tidak bisa dilakukan pada masa pemerintahan ayahnya.
Namun, setelah seribu intelektual menandatangani petisi yang meminta demokrasi multipartai dan kebebasan lebih pada tahun 2001, serta yang lainnya mencoba membentuk partai politik, akhirnya tempat-tempat tersebut dibubarkan oleh polisi rahasia yang ditakuti, dan puluhan aktivis dipenjara.
Reformasi yang dilakukan Bashar hanya menguntungkan segelintir elite dekat rezimnya tanpa mengubah sistem politik otoriter yang diwarisi dari Hafez. Sejak awal, kekuasaannya tetap terpusat pada militer, intelijen, dan lingkaran keluarga yang didominasi minoritas Alawite, kelompok Bashar.
Meski ada janji-janji perubahan, Suriah tetap menjadi negara polisi di mana agen keamanan mengawasi kehidupan rakyat, mulai dari pasar hingga jalan-jalan kota. Penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan tetap menjadi ciri khas rezimnya, serta perlawanan terhadap pemerintah terus ditekan secara brutal.
Ketika gelombang Arab Spring menyebar ke Suriah pada tahun 2011, protes damai terhadap pemerintah Bashar mulai muncul. Awalnya, rakyat menuntut reformasi politik dan pembebasan dari otoritarianisme. Namun, respon Bashar sangat represif, dengan pasukan keamanan menembaki demonstran, sementara milisi pro-rezim yang dikenal sebagai shabiha bertindak sebagai regu pembunuh. Dalam waktu singkat, protes tersebut berubah menjadi pemberontakan bersenjata yang meluas.
Di bawah perintah Bashar, militer Suriah menggunakan segala cara untuk menghentikan pemberontakan, termasuk serangan udara, pengepungan kota, hingga penggunaan senjata kimia. Salah satu serangan yang paling terkenal adalah di Ghouta pada tahun 2013, di mana ratusan warga sipil tewas akibat gas sarin. Meskipun dunia internasional telah mengecam hal tersebut, Bashar terus menggunakan alasan "perang melawan terorisme" untuk membenarkan tindakannya, mengklaim bahwa ia sedang memerangi kelompok Islam radikal seperti Al-Qaeda.
Melalui Associated Press, kelompok hak asasi internasional dan jaksa menuduh pemerintah Suriah melakukan penyiksaan dan pembunuhan di luar hukum di pusat-pusat penahanan yang dikelola negara. Perang saudara yang berlangsung lebih dari sepuluh tahun telah menghancurkan Suriah. Perang ini telah menewaskan hampir 500.000 orang dan memaksa setengah dari populasi Suriah yang sebelumnya berjumlah 23 juta untuk mengungsi. Meskipun rezim Bashar hampir runtuh, akan tetapi dukungan dari Rusia dan Iran memperpanjang kekuasaannya.
Di bawah perintah Presiden Vladimir Putin, ia mengirim pasukan militernya pada tahun 2015 untuk mendukung Bashar. Operasi militer ini membantu rezim merebut kembali wilayah-wilayah strategis seperti Aleppo.
Iran juga memainkan peran penting dengan memberikan dukungan finansial, militer, dan pengiriman milisi seperti Hizbullah untuk melindungi pemerintahan Bashar.
Namun, dukungan ini membawa konsekuensi, dengan Bashar yang semakin bergantung pada kekuatan asing, sehingga Suriah terpecah-belah. Bagian utara dan timur Suriah dikendalikan oleh berbagai kekuatan seperti Turki, Amerika Serikat, dan kelompok Kurdi, sementara wilayah lain berada di bawah pengaruh Rusia dan Iran.