Terungkap! Sheikh Zayed Pernah Ragukan AS Akan Lindungi Pemimpin Arab saat Krisis
Dokumen rahasia pemerintah Inggris yang baru-baru ini ditemukan mengungkap pandangan mengejutkan dari pendiri Uni Emirat Arab, Sheikh Zayed bin Sultan Al Nahyan.
Dia ternyata pernah meragukan komitmen Amerika Serikat (AS) dalam melindungi para pemimpin Arab sekutu Washington saat menghadapi krisis politik atau pemberontakan rakyat.
Pandangan ini disampaikan langsung oleh Sheikh Zayed dan keponakannya yang juga Kepala Stafnya, Sheikh Surour, dalam pertemuan dengan Julian Amery—anggota Parlemen Inggris dari Partai Konservatif—pada Mei 1986 di Abu Dhabi.
Pertemuan itu terjadi ketika Richard Murphy, Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk urusan Timur Dekat dan Asia Selatan, tengah mengunjungi Uni Emirat Arab.
Menurut catatan yang kini tersedia di Arsip Nasional Inggris dan diungkap oleh MEMO (Middle East Monitor), Rabu (23/4/2025), kedua pemimpin Emirat menyampaikan kekecewaan terhadap ketidakmampuan Presiden Ronald Reagan kala itu untuk meyakinkan Kongres AS agar menyetujui penjualan senjata kepada negara-negara sahabat di Arab.
“Jika perang Iran-Irak benar-benar meluas ke Teluk, apakah Pemerintahan Amerika akan bertindak melindungi negara-negara Teluk seperti yang mereka katakan, atau apakah Kongres dan opini publik Amerika akan menghentikan mereka?” tanya Sheikh Zayed dan Sheikh Surour, sebagaimana dikutip dalam catatan Amery.
Kegelisahan mereka dipicu oleh krisis regional akibat perang Iran-Irak yang telah berlangsung sejak 1980, serta oleh sejarah “pengkhianatan” AS terhadap para pemimpin sekutu yang tumbang akibat tekanan rakyat.
Contoh dari Iran, Filipina, hingga Haiti
Dalam catatannya kepada Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher saat itu, Amery menyebut bahwa kekecewaan terhadap AS di kalangan elite UEA merupakan “fitur paling mencolok” saat itu.Dia menulis bahwa keraguan ini bukan semata karena dukungan AS terhadap Israel, tetapi lebih karena ketidakmampuan Washington dalam menjalankan kebijakan luar negerinya secara konsisten.
Sheikh Zayed dan Surour mengutip sejumlah contoh sebagai bukti bahwa AS meninggalkan para sekutu mereka di saat genting:
♦Shah Iran (Mohammad Reza Pahlavi), yang digulingkan dalam Revolusi Iran 1979 meski merupakan sekutu dekat AS. ♦Jean-Claude Duvalier, diktator Haiti pro-Barat yang dipaksa lengser tahun 1986 akibat tekanan rakyat.
♦Ferdinand Marcos, penguasa otoriter Filipina, yang digulingkan melalui Revolusi Kekuasaan Rakyat (People Power) pada Februari 1986.
"Meski reputasi mereka dipertanyakan, para pemimpin itu tetap setia kepada Amerika selama bertahun-tahun. Maka, reputasi mereka seharusnya bukan alasan untuk diperlakukan dengan tidak hormat,” demikian argumen Zayed dan Surour dalam percakapan dengan Amery.
Mereka bahkan bertanya secara retoris: “Jika sahabat Amerika diperlakukan seperti ini, apa gunanya menjadi sahabat mereka?”
Kepercayaan Personal yang Tinggi
Amery, dalam laporannya, mengkritik pola pikir pemimpin Timur Tengah yang sangat mengutamakan hubungan personal. Dia menyatakan, “Pemimpin-pemimpin di wilayah ini cenderung menempatkan hubungan pribadi di atas segalanya, sesuatu yang kurang kita lakukan di Barat.”Sebagai perbandingan, dia menyebut penarikan Inggris dari Aden (Yaman Selatan) tahun 1967 dan bagaimana Arab Saudi kemudian memberi perlindungan kepada mantan pemimpin Aden sebagai contoh loyalitas yang dihargai tinggi oleh dunia Arab.
Amery juga menyebut kasus Idi Amin, diktator Uganda, yang meskipun dicap pelanggar hak asasi manusia (HAM) berat, tetap diberi perlindungan oleh Libya dan Arab Saudi setelah digulingkan tahun 1979. Amin tinggal di pengasingan sampai meninggal dunia pada 2003.
Laporan Amery kepada pemerintah Inggris mendapat perhatian langsung dari Perdana Menteri Margaret Thatcher, yang menyebutnya “menarik dan sangat informatif.”
Pengungkapan ini memberi gambaran historis bahwa bahkan sejak tahun 1980-an, para pemimpin Teluk sudah menyimpan keraguan terhadap keandalan Washington sebagai pelindung sejati.
Meski hubungan strategis AS dan UEA tetap berjalan hingga kini, catatan ini menambah konteks penting dalam memahami dinamika kepercayaan antara dunia Arab dan Barat.








