Pandangan Rhenald Kasali Atas Tindakan Gus Miftah yang Mengolok-olok Penjual Es Teh Sunhaji
Akademisi Prof Rhenald Kasali turut menyoroti tindakan pendakwah Gus Miftah yang mengolok-olok penjual es teh Sunhaji. Bahkan, banyak bertebaran meme bertuliskan "Penjual es teh lebih baik daripada penjual agama."
"Sudah banyak sih komentar-komentar dan akhirnya banyak sekali orang yang kemudian menyebarkan meme seperti ini dan dikatakan di situ, lebih baik menjadi penjual es teh daripada menjadi penjual agama," ujar Rhenald melalui akun Facebook pribadinya rhenald.kasali, Kamis (5/12/2024).
Berkaca dari kasus Miftah, dia menilai muncul masalah banyaknya orang yang mendapat gelar tokoh agama maupun tokoh masyarakat. Gelar tersebut dapat mudah didapat tanpa mengenyam pendidikan yang memadai.
"Ya, ini masalahnya sekarang karena banyak sekali orang yang bisa menjadi agamawan, apakah itu pendeta, apakah itu ustaz, apakah itu disebutnya kiai, apakah itu disebutnya profesor, apakah itu disebutnya sebagai apa sajalah tokoh-tokoh masyarakat yang tidak sekolah dengan memadai," katanya.
Menurut Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Indonesia (UI) ini, untuk mendapat gelar ustaz, pastur hingga kiai harus melewati pendidikan yang panjang. Pendidikan untuk menjadi tokoh agama bisa ditempuh puluhan tahun. "Dan ujiannya adalah bukan hanya pengetahuan, tetapi juga mental," tuturnya.
Dia mempertanyakan moral tokoh agama lainnya yang tertawa terbahak-bahak saat Gus Miftah menghina pedagang es teh. "Saya juga lihat ada empat orang yang tertawa terbahak-bahak. Ini moralnya bagaimana menertawakan tukang es?" kata Rhenald.
"Padahal, kalau kita lihat, agama itu kan justru mengajarkan perlindungan kepada orang kecil, mengajarkan anda yang kaya-kaya ini agar berempati pada orang susah. Kenapa ini terjadi?" tambahnya.
Setelah mencermati, Rhenald pun mendapat jawaban yakni tokoh di dalam sinetron telah berperan dalam kehidupan nyata.
"Ada orang yang latar belakangnya bukan pendidikan, bukan profesor, hanya akademik yang administrasi saja bisa jadi profesor. Jadi, ada orang-orang seperti ini jalan pintas dan masyarakat mempercayainya," ujarnya.
Di sisi lain, Rhenald juga menilai banyak orang yang ingin menjadi korban untuk dikasihani. Hal itu karena pihak yang menjadi korban dengan mudah mendapatkan bantuan dari mana pun.
"Iya sih, kasihan memang dia. Tapi sekarang banyak juga orang yang berpikir, kalau begitu, gue jadi korban aja deh. Dan sekarang banyak orang yang sering merendahkan martabat dirinya sendiri. Mudah-mudahan tidak terjadi," ucapnya.
Dia menilai saat ini tumbuh cancel culture. "Masyarakat itu bisa marah melihat orang-orang seperti ini. Jadi, sebetulnya mereka bisa di-cancel. Di Korea, kalau kita lihat, di Jepang, orang-orang seperti itu melakukan kesalahan dan brutal meski minta maaf itu sudah tidak bisa kembali lagi," ujarnya.
"TV tidak mengundang, kemudian pembuat acara tidak mengundang. Kalau kita, ini dipolitisir malah bisa dipakai, dikapitalisir oleh partai politik karena punya massa banyak. Coba pikirkan kembali terhadap tokoh-tokoh seperti ini. Apakah layak untuk kita taruh di hadapan publik?" kata Rhenald.
Menyikapi itu, telah terjadi pengerahan buzzer oleh tokoh saat ini. Rhenald juga mengaku telah mengalami serangan buzzer akibat mengingatkan tokoh.
"Saya berapa kali mengingatkan tokoh-tokoh yang bicaranya tidak baik, yang menghina orang lain. Saya ingatkan, tetapi saya juga diserang buzzer. Wah, buzzernya ini banyak sekali," ucapnya.