PERISKOP 2025: Kepala Daerah Terpilih, Sudah Siapkah Memerangi Korupsi?

PERISKOP 2025: Kepala Daerah Terpilih, Sudah Siapkah Memerangi Korupsi?

Nasional | okezone | Rabu, 8 Januari 2025 - 07:07
share

JAKARTA - Pemerintah akan mengundur pelantikan kepala daerah terpilih 2024 pada Maret 2025. Sedianya, jadwal pelantikan kepala daerah dijadwalkan pada 7 Februari 2025 dan bupati dan wali kota terpilih pada 10 Februari 2025.

Diundurnya jadwal pelantikan ini berkaitan dengan proses Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK).

Pertanyaan lebih lanjit adalah, siapkah kepala daerah memimpin daerahnya masing-masing tanpa korupsi?

Pesan Presiden Prabowo: Jangan Korupsi!

Presiden Prabowo Subianto menekankan kepada kepala daerah untuk dapat mengurangi kebocoran dari anggaran. Dirinya pun bertekad untuk memerangi kebocoran tersebut.

Awalnya Prabowo mengatakan bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2025 dirancang untuk menjaga stabilitas, inklusifitas, keberlanjutan, dengan kehati-hatian. 

"Kita punya cita-cita yang tinggi tapi kita harus terus melakukan pengendalian ekonomi secara prudent, hati-hati dan terencana dengan baik," kata Prabowo.

Presiden Prabowo mengatakan bahwa budaya mark-up proyek, penyelundupan, dan manipulasi anggaran harus dihapuskan karena merugikan negara dan rakyat. Ia menegaskan bahwa aparat pemerintah memiliki peran penting dalam memastikan pengelolaan anggaran yang bersih dan transparan. 

“Penggelembungan mark-up barang atau proyek itu adalah merampok uang rakyat. Kalau proyek nilainya 100 juta, ya 100 juta. Bikin rumah 100 juta ya 100 juta, ya jangan 100 juta dibilang 150 juta. Budaya ini harus dihilangkan,” ujar Presiden dengan tegas.

Presiden Prabowo juga mendorong penerapan teknologi digital, seperti e-katalog dan e-government, untuk meminimalisir peluang korupsi dalam birokrasi. Presiden menginstruksikan seluruh jajaran pemerintah, termasuk yudikatif dan legislatif, untuk bekerja sama demi menciptakan pemerintahan yang bersih.

“Kita harus hentikan kebocoran-kebocoran. Sekali lagi saya ingatkan aparat pemerintah sangat menentukan, aparat pemerintah sangat menetukan kebocoran-kebocoran untuk dihentikan,” ungkap Presiden.

ICW Soroti Banyaknya Mantan Koruptor di Pilkada

Gonjang-ganjing kekhawatiran akan kepala daerah yang koruptif sudah disampaikan sejak awal oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Saat pemilihan kepala daerah, ICW bahkan merilis ada setidaknya 138 calon kepala daerah yang terlibat korupsi.

Hasil penelusuran menemukan sedikitnya 138 kandidat dalam Pilkada 2024 diduga terkait kasus korupsi. Jumlah tersebut tersebar dari calon Gubernur & Wakil Gubernur, Walikota & Wakil Walikota, serta Bupati & Wakil Bupati. 

Para kandidat yang terkait kasus korupsi meliputi tersangka, terdakwa, terpidana, saksi, terlapor, dan yang disebut dalam persidangan.

 

ICW juga menemukan 33 dari 37 provinsi terafiliasi dengan dinasti politik. Dari jumlah tersebut, terdapat 5 provinsi dengan sebaran kandidat kepala daerah yang terafiliasi dinasti politik terbanyak. 

Itu adalah Nusa Tenggara Barat dengan 11 kandidat, Sulawesi Tenggara dengan 11 kandidat, Sulawesi Selatan sebanyak 10 kandidat, Sulawesi Barat sebanyak 9 kandidat, dan Sulawesi Utara dengan 7 kandidat.

Sebanyak 155 dari 582 kandidat dalam Pilkada 2024 terindikasi terafiliasi dengan dinasti politik. Sebaran tersebut termasuk orang tua-anak, adik-kakak, suami-istri, mertua-menantu, dan saudara (sepupu, keponakan, dan ipar). Dinasti politik dalam pilkada dikhawatirkan memfasilitasi praktik korupsi di daerah. Temuan ICW menunjukkan sedikitnya ada 70 kasus korupsi yang muncul dari 54 dinasti politik di berbagai daerah.

Selain itu, dinasti politik juga dikhawatirkan merekayasa dan merusak kompetisi dalam pemilu. Dari 37 daerah yang melawan kotak kosong, sebanyak 12 daerah memiliki kandidat yang terindikasi terafiliasi dengan dinasti politik.  

Potensi Korupsi Kepala Daerah

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan, setidaknya ada lima modus korupsi yang biasa dilakukan oleh para kepala daerah. 

Kelima modus tersebut adalah dengan melakukan intervensi dalam penggunaan APBD; campur tangan dalam pengelolaan penerimaan daerah; 

Kemudian ikut menentukan dalam pelaksanaan perizinan dengan pemerasan, benturan kepentingan dalam proses pengadaan barang jasa dan manajemen ASN seperti rotasi, mutasi, dan pengangkatan pegawai.

Lalu penyalahgunaan wewenang terkait pengangkatan dan penempatan jabatan pada orang dekat, pemerasan dalam proses rotasi, mutasi, dan promosi.

Untuk mencegah benturan kepentingan dan penyalahgunaan wewenang kepala daerah dalam pengisian jabatan, KPK mendorong diimplementasikannya manajemen ASN berbasis sistem merit. 

Dalam aplikasi MCP, terdapat lima indikator keberhasilan yang disyaratkan bagi pemda untuk dipenuhi, yaitu meliputi: ketersediaan regulasi manajemen ASN berupa Peraturan Kepala Daerah (Perkada) atau SK Kepala Daerah; sistem informasi; kepatuhan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan pengendalian gratifikasi; tata kelola SDM; serta pengendalian dan pengawasan.

 

Menunggu Gebrakan Prabowo

Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia, menunjukkan bahwa peran Presiden sangat menentukan. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kasus besar seperti skandal Bank Century tetap berjalan meskipun menyeret nama besannya, Aulia Pohan. 

"Pertanyaannya, apakah Prabowo akan membiarkan KPK melemah atau sebaliknya, dia akan menunjukkan komitmen nyata memperkuat Lembaga Antirasuah ini?" ucap pengamat politik dan hukum Pieter Zulkifli.

Saat ini kata dia, korupsi di Indonesia sudah menjadi sistemik, melibatkan lingkaran kekuasaan, birokrasi, hingga hukum. Uang menjadi benang merah dalam perekrutan, promosi jabatan, hingga pengambilan kebijakan.

Hal ini juga yang menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. Bahkan, hukum kerap tunduk pada kekuatan modal. Situasi ini menggambarkan betapa sulitnya memberantas korupsi tanpa reformasi menyeluruh. 

"Paralel dengan kondisi tersebut, masa depan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Hal ini tercermin dari penilaian Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang terus turun dan menjadi stagnan. Dalam survei terakhir Transparency International pada 2023, IPK Indonesia hanya berada di angka 34 dari skala 100," ulasnya.

Dia menuturkan, skor IPK ini sama dengan skor pada 2014. Dia juga mencatat pelaku korupsi selama ini memiliki latar belakang politisi, baik dari unsur legislatif maupun eksekutif yang terdiri dari anggota DPR/DPRD, Menteri/Lembaga Negara, Gubernur, Walikota/Bupati sebesar 517 orang.

"Belum lagi para koruptor yang belum disentuh di kalangan sektor swasta. Kondisi ini memperjelas bahwa korupsi politik semakin subur di negeri ini," katanya.
 

Topik Menarik