Dewan Pers Minta Polri Tinjau Ulang Perpol Izin Liputan Jurnalis Asing

Dewan Pers Minta Polri Tinjau Ulang Perpol Izin Liputan Jurnalis Asing

Nasional | sindonews | Jum'at, 4 April 2025 - 08:46
share

Dewan Pers meminta Polri meninjau ulang aturan penerbitan Surat Keterangan Kepolisian (SKK) untuk jurnalis asing. Aturan itu termaktub dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 3 Tahun 2025 Tentang Pengawasan Fungsional Kepolisian Terhadap Orang Asing.

Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyesalkan Perpol 3/2025. Sebab, kata dia, penyusunan aturan itu tak melibatkan organisasi wartawan seperti Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Organisasi Jurnalis, dan Perusahaan Pers. “Berdasarkan hal tersebut, Dewan Pers merekomendasikan peninjauan kembali Perpol 3/2025,” ujar Ninik dalam keterangan tertulis, Jumat (4/4/2025).

Selain itu, Ninik menjelaskan, usulan peninjauan ulang aturan itu didasari atas potensi melanggar UU Nomor 40/1999 tentang Pers dan UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran. Padahal, kata dia, Perpol ini mengatur kerja jurnalistik pers seperti mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyiarkan berita sebagaimana diatur dalam UU Pers dan UU Penyiaran.

"Perpol 3/2025 bertentangan dengan pengaturan yang lebih tinggi yaitu pada bagian pertimbangan tidak mempertimbangkan UU Nomor 40/1999 tentang Pers dan UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran," terang Ninik.

Ninik mengaku bingung pada bagian pertimbangan pembentukan perpol itu lantaran merujuk Pasal 15 ayat (2) UU Polri yang mengatur kewenangan polisi untuk mengawasi orang asing yang berada di wilayah NKRI dengan koordinasi instansi terkait. Padahal, kata dia, Perpol itu tak merujuk UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang mengatur pemberian izin masuk WNA, termasuk jurnalis ke Indonesia. Ia pun menlai, aturan di perpol tumpang tindih dengan regulasi lain.

"Pengaturan Perpol 3/2025 akan menimbulkan tumpang tindih kewenangan antar lembaga, memperpanjang jalur birokrasi untuk beraktivitas di Indonesia dan potensi menjadi komoditas oleh oknum aparat penegak hukum," terang Ninik.

Di sisi lain, Ninik menilai, keberadaan perpol itu bisa menghambat indepedensi kerja pers meski, aturan itu dinyatakan untuk memberikan pelayanan dan perlindungan bagi jurnalis asing.

“Karenanya, berdasarkan hal tersebut, Dewan Pers berpandangan bahwa Perpol 3/2025 secara substantif potensial melanggar prinsip-prinsip pers yang demokratis; profesional; independen; menjunjung tinggi moralitas dan mengedepankan asas praduga tidak bersalah. Prinsip-prinsip yang dijalankan sebagai wujud upaya memajukan, memenuhi, dan menegakkan kemerdekaan pers," tegasnya.

Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Kepala Divisi (Kadiv) Humas Polri Irjen Pol Sandi Nugroho buka suara soal pemberitaan yang mengaitkan Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 3 Tahun 2025 tentang penerbitan Surat Keterangan Kepolisian (SKK) bagi jurnalis asing yang bertugas di Indonesia. Pada pernyataan yang beredar sebelumnya disebutkan bahwa SKK menjadi kewajiban bagi jurnalis asing.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyanggah adanya kewajiban bagi jurnalis asing memiliki surat keterangan kepolisian (SKK) sebagai persyaratan untuk melakukan kegiatan peliputan di Indonesia.

Kapolri menjelaskan, dalam Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 3 Tahun 2025, disebutkan dalam Pasal 8 (1), Penerbitan Surat Keterangan Kepolisian sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 (1) huruf b diterbikan berdasarkan permintaan penjamin. Jika tidak ada permintaan dari penjamin, SKK tidak bisa diterbitkan.

"SKK tidak bersifat wajib bagi jurnalis asing. Tanpa SKK jurnalis asing tetap bisa melaksanakan tugas di Indonesia sepanjang tidak melanggar peraturan perundang-undangangan yang berlaku," kata Sigit kepada wartawan, Kamis (3/4/2025).

"Jadi pemberitaan terkait dengan kata-kata wajib tidak sesuai, karena dalam Perpol tidak ada kata wajib, tetapi SKK diterbitkan berdasarkan permintaan penjamin," sambungnya.

Ia mencontohkan, penjamin memerlukan SKK ketika meliput di daerah konflik. "Sebagai contoh jika jurnalis akan melakukan giat di wilayah Papua yang rawan konflik, penjamin dapat meminta SKK kepada Polri dan juga meminta perlindungan karena bertugas di wilayah konflik," ujarnya.

Ia melanjutkan, dalam penerbitan SKK jurnalis asing pun tidak berhubungan langsung dengan Polri. Sebab, hal itu akan diurus oleh pihak penjamin. Lebih lanjut, Sigit menyatakan, dasar penerbitan Perpol tersebut merupakan tindak lanjut dari revisi UU Keimigrasian Nomor 63 Tahun 2024.

Kemudian, memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap WNA seperti para jurnalis asing yang sedang bertugas di seluruh Indonesia, misalkan di wilayah rawan konflik. "Perpol ini di buat berlandaskan upaya preemptif dan preventif kepolisian dalam memberikan perlindungan dan pelayanan terhadap WNA dengan koordinasi bersama instansi terkait," ucapnya.

Sementara itu, Kepala Divisi (Kadiv) Humas Polri Irjen Pol Sandi Nugroho menjelaskan, Perpol Nomor 3 Tahun 2025 diterbitkan sebagai tindak lanjut dari revisi Undang-Undang Keimigrasian Nomor 63 Tahun 2024.

"Perpol ini bertujuan untuk memberikan pelayanan dan perlindungan kepada Warga Negara Asing (WNA), termasuk para jurnalis asing yang sedang bertugas di seluruh Indonesia, misalnya di wilayah-wilayah rawan konflik," kata Sandi kepada wartawan, Kamis (3/4/2025).

Sandi mengatakan, bahwa Perpol itu dibuat sebagai upaya dari kepolisian dalam memberikan perlindungan dan pelayanan terhadap WNA. Hal ini dilakukan dengan koordinasi bersama instansi terkait, sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 Huruf a, yang bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi ancaman terhadap keamanan dan keselamatan orang asing.

"Perlu diluruskan bahwa dalam Pasal 8 (1) disebutkan, penerbitan Surat Keterangan Kepolisian (SKK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 (1) huruf b diterbitkan berdasarkan permintaan penjamin," katanya.

Dia juga menambahkan bahwa jika tidak ada permintaan dari penjamin, SKK tidak bisa diterbitkan. "SKK tidak bersifat wajib bagi jurnalis asing. Tanpa SKK, jurnalis asing tetap bisa melaksanakan tugas di Indonesia selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata Irjen Sandi.

Menurutnya, pemberitaan yang menggunakan kata wajib dalam konteks ini sangat tidak tepat, karena dalam Perpol tersebut tidak ada ketentuan yang menyatakan SKK itu bersifat wajib. SKK, kata Sandi, diterbitkan hanya jika ada permintaan dari penjamin.

Sebagai contoh, Sandi menjelaskan bahwa jika seorang jurnalis asing akan melakukan kegiatan di wilayah yang rawan konflik, penjamin dapat mengajukan permintaan SKK kepada Polri dan juga meminta perlindungan karena bertugas di wilayah yang rawan konflik.

"Jadi, yang berhubungan langsung dengan Polri dalam penerbitan SKK ini adalah pihak penjamin, bukan WNA atau jurnalis asingnya," pungkasnya.

Topik Menarik