Ketua DPP Perindo Soroti Tantangan Berat Perempuan di Dunia Politik

Ketua DPP Perindo Soroti Tantangan Berat Perempuan di Dunia Politik

Nasional | sindonews | Sabtu, 26 April 2025 - 10:59
share

Ketua DPP Partai Perindo Bidang Kesehatan Masyarakat, Sri Gusni Febriasari mengungkapkan, perempuan yang memilih jalur politik sebagai bentuk pengabdian masih memiliki tantangan berat. Menurutnya, politisi perempuan berhadapan dengan stigma dan stereotip.

"Karena pada dasarnya ketika akhirnya perempuan untuk memutuskan untuk berpolitik itu adalah sesuatu hal yang memang sangat berat ya, kayak gitu. Karena pertama, kita dihadapkan atau dibenturkan dengan stigma ataupun stereotyping bahwa perempuan itu tidak lebih mampu daripada laki-laki, kayak gitu. Itu yang pertama," kata Sri Gusni dalam acara Monthly Talk 'Penguatan Keterwakilan dan Peran Perempuan pada Legislatif' yang diselenggarakan oleh Iluni Universitas Indonesia, dikutip dari YouTube Iluni UI, Sabtu (26/4/2025).

Sri Gusni juga menyoroti akar budaya patriarki sebagai hambatan sistemik yang masih mengakar kuat di masyarakat. Budaya ini kerap menghalangi perempuan untuk menjadi pemimpin atau bahkan sekadar menduduki posisi strategis.

"Lalu yang kedua, kita memang hidup ada di budaya patriarki yang sangat tinggi yang mungkin hari ini kita dihadapkan bahwa seorang perempuan bahkan tidak boleh memimpin seorang laki-laki ataupun menjadi seorang pemimpin, bukan pemimpin laki-laki. Jadi hal ini aja sudah menjadi tantangan terberat kita nih sebagai para perempuan-perempuan yang pada akhirnya memilih jalur politik sebagai jalur pengabdian kita, kayak gitu," katanya.

Menurut Sri Gusni, langkah terbaik untuk melawan stigma tersebut adalah dengan menunjukkan hasil melalui kerja keras dan karya nyata.

"Pertanyaannya adalah sebenarnya bagaimana nih upaya kita untuk bisa membungkam stigma ataupun stereotyping yang ada? Itu memang, kalau hari ini cara terbaik untuk bisa menjawab atas stigma yang ada terhadap perempuan bahwa perempuan tidak boleh menjadi seorang pemimpin adalah lewat pertama adalah kerja keras, lalu yang kedua adalah karya nyata, kayak gitu," katanya.

Pada kesempatan itu, Sri Gusni juga menyoroti bahwa perjuangan perempuan di politik tidak hanya soal masuk sebagai calon legislatif, tetapi juga soal terpilih dan berdaya guna. Di sinilah pentingnya affirmative action untuk keterwakilan perempuan minimal 30, sebagaimana telah diatur secara konstitusional.

"Karena memang hari ini tantangan kita, memang pemerintah secara konstitusional sudah mengatur ya bahwa kita diberikan affirmative action untuk keterwakilan perempuan, yaitu sebanyak 30 yang memang hari ini kita belum mencapainya seperti itu," katanya.

Bahkan, Sri Gusni juga mengungkapkan hasil diskusinya dengan Titi Anggraini dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), bahwa isu keterwakilan perempuan tak bisa berhenti pada angka pencalonan saja.

"Kalau tadi saya diskusi dengan teman-teman FH UI, ada Mbak Titi Anggraini yang kita tahu ahli Perludem ya. Beliau mengatakan bahwa bukan hanya keterwakilan untuk perempuan bisa maju saja untuk 30, tapi keterwakilan terpilih untuk seorang perempuan terpilih menjadi anggota legislatif itu juga masih di bawah 30," katanya.

Sri Gusni menekankan perlunya membangun ekosistem politik yang lebih sehat agar keterwakilan perempuan bukan hanya terpenuhi secara kuantitas, tapi juga berkualitas. "Itu menjadi tantangan kita bersama. Bagaimana sih kita pada akhirnya membentuk sebuah ekosistem yang sehat kayak gitu. Jadi ekosistem kita yang sehat yang pada akhirnya keterwakilan perempuan ini ya benar-benar bisa terfasilitasi," kata Sri Gusni.

Di akhir paparannya, Sri Gusni juga menyinggung soal beban ganda yang masih banyak ditanggung oleh perempuan, terutama yang telah berkeluarga. Hal ini menurutnya harus menjadi bahan refleksi bersama tentang pembagian peran di rumah tangga dan di ranah publik.

Sri Gusni kembali menegaskan bahwa tujuan keterwakilan 30 bukan semata angka, melainkan untuk memastikan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan benar-benar menyerap perspektif perempuan dan membangun masyarakat yang inklusif.

"Tujuannya adalah agar kebijakan-kebijakan ini bisa komprehensif, bisa berdasarkan perspektif dari perempuan," katanya.

Topik Menarik