Marak Kasus Pelecehan Seksual Dokter PPDS, IDI Sebut Rumah Sakit Harus Tanggung Jawab
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dr Slamet Budiarto menegaskan semua permasalahan yang terjadi di sebuah rumah sakit adalah tanggung jawab direktur maupun pemilik. Termasuk tanggung jawab secara hukum yang ditimbulkan atas kelalaian sumber daya manusia rumah sakit tersebut.
Hal ini ditegaskan Slamet Budiarto menanggapi konferensi pers Kementerian Kesehatan (Kemenkes) atas kekerasan seksual terhadap pasien seperti yang dilakukan dokter program pendidikan dokter spesialis (PPDS) Priguna Anugerah Pratama terhadap pendamping pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat. Dalam kasus itu, Kemenkes telah mengganti Ketua Staf Medik (KSM) di unit RSHS Bandung.
"Sesuai UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan Pasal 193, semua kegiatan SDM RS adalah tanggung jawab RS (direktur dan pemilik) sedangkan RSHS adalah milik Kemenkes," kata Slamet Budiarto dalam pesan singkat yang dikirimkan ke SindoNews, Selasa (22/4/2025).
Slamet Budiarto mengungkapkan, RSHS Bandung menghadapi beberapa permasalahan. Antara lain terkait tidak ada gaji bagi residen, jam kerja residen, pelanggaran Standart Operational Procedure (SOP), tata kelola rumah sakit yang tidak baik, dan dokter anestesi yang meninggalkan tempat saat jam kerja.
"Semua adalah tanggung jawab RS (direktur dan pemilik)," kata Slamet.
Sebelumnya, Kemenkes mengakui adanya celah dalam sistem pengawasan layanan kesehatan yang memungkinkan tenaga medis tertentu melakukan pelanggaran, termasuk kekerasan seksual. Salah satu kasusnya menimpa pendamping pasien di RSHS Bandung yang dilakukan oleh peserta PPDS, Priguna Anugerah Pratama.
Direktur Jenderal Kesehatan Lanjutan, Azhar Jaya, menyatakan bahwa pihaknya tengah meninjau kembali sistem pengawasan dan akan memberikan sanksi tegas kepada semua pihak yang memiliki tanggung jawab.
"Sebenarnya SOP yang ada sudah cukup komprehensif, namun masih terdapat celah yang dimanfaatkan oleh oknum. Inilah yang sedang kami benahi," kata Azhar dalam konferensi pers di Kantor Kemenkes, Jakarta Selatan, Senin (21/4/2025).
Azhar menjelaskan langkah tegas telah diambil, termasuk mengganti Ketua Staf Medik (KSM) di unit RSHS Bandung yang dinilai turut bertanggung jawab secara struktural. "Tindakan kami tak hanya menyasar pelaku langsung, tapi juga struktur yang memfasilitasi terjadinya pelanggaran," ujarnya.
Direktur Utama RSHS, Rachim Dinata Marsidi, mengklaim rumah sakit telah memiliki sistem pengawasan yang ketat mencakup pelaporan, pendampingan pasien, hingga pencatatan obat. Namun, ia mengakui bahwa tindakan pelaku melampaui ekspektasi sistem pengawasan internal.
Menurut Rachim, prosedur pemeriksaan mengharuskan kehadiran pendamping, baik dari perawat maupun keluarga pasien. Ia menyayangkan insiden tersebut dan menyatakan pihaknya akan terus melakukan evaluasi.
Terkait penyalahgunaan obat bius, Rachim menjelaskan bahwa pelaku mengambil sebagian kecil dari obat yang seharusnya dikembalikan utuh. "Obat bius kami awasi secara ketat, satu ampul harus dikembalikan wadahnya. Tapi dia hanya ambil sebagian dan menyimpannya sendiri. Itu tindakan kriminal dan sulit terdeteksi," ujarnya.
Pengawasan terhadap obat bius dilakukan oleh Departemen Farmasi melalui sistem kunci ganda dan pencatatan rinci. Namun, masih ada potensi disalahgunakan jika pelaku memanipulasi secara manual.










