Kekurangan Pasukan saat Berantas PKI, Sarwo Edhie Gembleng Anggota GP Ansor

Kekurangan Pasukan saat Berantas PKI, Sarwo Edhie Gembleng Anggota GP Ansor

Nasional | okezone | Rabu, 2 Oktober 2024 - 07:15
share

KURANGNYA personel Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) atau yang sekarang berubah menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus), untuk memburu para kader Partai Komunis Indonesia (PKI), membuat RPKAD melatih para pemuda, yang sebagian besarnya merupakan anggota Gerakan Pemuda Ansor.

Dikutip dari buku Sarwo Edhie dan Misteri 1965, pada 20 Oktober 1965, Panglima Kodam Diponegoro, Brigjen Surjosumpeno, membuat keputusan untuk membekukan semua kegiatan PKI dan organisasi massanya. Hal tersebut mengakibatkan daerah-daerah yang menjadi basis pendukung PKI bergejolak. Benar saja, sehari setelah Kolonel Sarwo Edhie dan RPKAD tiba di Semarang, situasi keamanan memburuk.

Saat itu marak beredar kabar, bahwa ribuan orang komunis mulai berkumpul dan menutup jalan Solo-Yogyakarta, dengan menebangi pohon dan memutus saluran telepon. Kerusuhan juga terjadi di beberapa kota, serikat-serikat buruh melakukan mogok massal, hingga pabrik dan jalur transportasi menjadi lumpuh.

Mengetahui hal tersebut, Sarwo Edhie beserta para pasukannya bergerak dengan cepat dari kota ke kota, untuk memandamkan api yang terus menjalar. Setelah sepekan ia berada di Jawa Tengah, ia menghubungi Markas Besar TNI di Jakarta untuk meminta tambahan pasukan. Sayangnya, sebagian besar tentara belum ditarik pulang dari Kalimantan dan Sumatera, setelah sebelumnya diminta bersiap untuk menyerbu Malaysia.

 

Sarwo Edhie pun lantas meminta izin kepada Markas Besar TNI di Jakarta untuk melatih rakyat sipil, demi mengimbangi massa terorganisasi PKI. Untungnya Markas Besar TNI tersebut memberikannya izin.

Dalam buku The End of Sukarno: A Coup that Misfired, a Purge that Ran Wild, karya John Hughes, ia mengakui perannya dalam pelatihan tersebut. “Kami beri mereka latihan agar berani menumpas komunis ke akar-akarnya” kata Sarwo Edhie pada akhir Oktober 1965, ketika gelombang pertama pelatihan militer pemuda dan rakyat sipil itu dimulai.

Yoso Dumeri Faizin, merupakan salah satu pemuda yang ketika itu ikut dalam pelatihan tersebut. “Latihannya diadakan di Kampus Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga,” kata Yoso mengingat-ingat. Mulai dari Gerakan Pemuda Ansor, Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah, hingga Pemuda Marhaen dari Partai Nasional Indonesia mengikuti latihan tersebut.

Ketika hari pertama dimulai, semua peserta dibagi ke dalam tiga kompi, yang di setiap kompinya terdapat satu prajurit RPKAD, yang berperan sebagai pelatih. “Saya terpilih jadi salah satu komandan kompi,” ujar Yoso.

 

Tiga hari pertama pelatihan, digunakan untuk ceramah dan diskusi ringan. Dalam satu sesi ceramah, pelatih dari RPKAD menegaskan, bahwa PKI anti-Tuhan dan berencana membunuh para ulama dan kiai Nahdlatul Ulama.

“Kami diberi tahu bahwa PKI itu berbahaya dan kami harus menumpas mereka. Kami juga diberi tahu, setelah pelatihan, kami bisa masuk tentara” ucap Yoso.

Pada hari keempat, barulah dimulai latihan fisik dan persenjataan. Para pemuda tersebut diajari baris-berbaris dan kecakapan dasar lainnya. Meski mereka tak diberi seragam, Yoso berkata “Kami juga diberi tahu cara menggunakan pistol dan senapan AK-47, kami merasa gagah seperti tentara”.

Setelah sebulan dilatih di kampus, mereka akhirnya dilepas turun ke lapangan. Yoso bercerita, saat itu mereka ditugaskan ke desa-desa dengan membawa daftar orang PKI yang harus mereka tangkap. Penugasan tersebut juga diatur sedemikian rupa, agar para anggota tidak harus menggerebek desanya sendiri.“Saya menangkap puluhan orang,” ujar Yoso.

 

Kemudian jika ada perlawanan, mereka seringkali terpaksa harus membakar rumah dan menembaki sasarannya. Yoso juga bercerita, bahwa setiap kali mereka melakukan operasi penangkapan tersebut, akan ada satu atau dua tentara dari komando resor militer atau rayon militer yang memantau dari belakang.

Kemudian semua tawanan tersebut nantinya akan diserahkan kembali kepada tentara. Lalu di penjara dan kamp tahanan puluhan ribu tawanan tersebut akan disortir, siapa saja yang merupakan aktivis dan siapa saja yang hanya sekadar anggota pasif. Dalam buku Militer dan Politik di Indonesia, karya Harold Crouch, dijelaskan bahwa umumnya para aktivis PKI akan dieksekusi, sementara anggota pasif hanya akan dipenjarakan tanpa proses hukum yang memadai.

Topik Menarik