Mengintip Masjid Bungkuk Malang Tempat Pejuang 10 November Dibekali Ilmu Kebal

Mengintip Masjid Bungkuk Malang Tempat Pejuang 10 November Dibekali Ilmu Kebal

Nasional | okezone | Sabtu, 9 November 2024 - 07:35
share

MALANG - Belanda dan sekutunya melakukan penyerangan besar-besaran terhadap pejuang di Surabaya pada November 1945. Saat itu Belanda dan sekutunya memang berusaha kembali merebut Indonesia dari kemerdekaan, termasuk di Surabaya. Di Surabaya itu pula dijadikan akses masuk menuju wilayah - wilayah lain di Jawa Timur.

Saat perjuangan melawan Belanda dan sekutunya, tentara santri dan tokoh agama se - Malang raya juga ikut andil. Di Malang Masjid Bungkuk Malang jadi salah satu markas pejuang Islam dari berbagai wilayah di Malang raya.

Masjid dan pondok pesantren yang ada di Bungkuk itu juga mengirimkan beberapa kader pilihannya untuk berjihad bergerilya melawan penjajah Belanda dan sekutu saat agresi militer Belanda.

Generasi keempat pendiri Masjid Bungkuk KH. Moensif Nachrawi mengatakan, meski tidak secara resmi digunakan markas gerilyawan, tetapi masjid dan pondok pesantren Bungkuk yang jadi tertua se-Malang raya ini menjadi area penggemblengan para pejuang.

Di sini para pejuang digembleng baik fisik maupun spiritual untuk berjihad mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Tidak secara resmi markas begitu, tapi seperti anda tahu gerilya itu setelah (tahun) 45 merdeka, 45 agustus merdeka, November 45 Belanda datang lagi bersama sekutu-sekutu waktu itu Inggris, sebetulnya itu urusannya sekutu,” ujar Moensif  kepada Okezone, saat ditemui beberapa waktu lalu.

“Tapi Belanda ndompleng (ikutan) kepingin masuk lagi ke Indonesia," sambung Moensif.

Saat itu Belanda dan sekutunya memasuki Indonesia mulai dari kawasan Surabaya. Belanda dan sekutu terus bergerak ke selatan mencoba menguasai kembali beberapa daerah ke selatan Surabaya yang sempat dikuasai sebelum kedatangan Jepang.

"Waktu itu mulai masuk dari Surabaya yang diincar mulai terjadi rundingan gagal, rundingan gagal, perang lagi, hingga ada perang enam hari matinya Jenderal Mallaby. Belanda bertahan (tahun) 45 akhir 46, (tahun) 47 di Surabaya, 47 mulai merangsek ke selatan," ungkapnya.

 

Menurutnya, saat itu wilayah Malang dan sekitarnya memang belum dalam penguasaan Belanda. Namun pergerakan Belanda yang terus merangsek ke selatan memasuki daerah Porong, membuat pejuang sekitar Malang bersiaga.

Antisipasi pun dilakukan para pejuang termasuk tokoh-tokoh ulama Islam di Malang dan sekitarnya, mereka bersama-sama rakyat dan gerilyawan berlatih perang dan membekali dengan ilmu spiritual, yang akan dikirim ke Porong untuk berjuang melawan Belanda dan sekutunya.

"Di saat di sana itu gerilya itu dikirim rata-rata cuma dibekali istilahnya tahan peluru, minum telur ayam, dikasih doa ditelan. Biar orang-orang yang mau berangkat untuk gerilya biasanya diangkut menuju perbatasan frontnya, di daerah Porong dikirim ke sana," terang pria yang juga penasehat takmir Masjid At Thohiriyah, Bungkuk.

"Dari mana-mana dari Jember ke sana, dari Malang ke sana, Singosari ini tempat mengemblengnya mengebalkan di sini, nggak ada markas tentara tentara nggak ada baru berdiri Oktober, nggak ada waktu itu yang ada gerilyawan," tambahnya.

Ia masih ingat betul selain di Bungkuk, Singosari, rumah orang tuanya KH. Nachrawi juga digunakan para pejuang gerilyawan berkumpul. Di sana para pejuang ini dibekali ilmu agama, peperangan, dan terpenting kebal saat ditembak senjata api oleh Belanda dan sekutunya. Bahkan KH. Nachrawi turut turun langsung membekali para pejuang untuk berperang, termasuk ilmu kekebalan terhadap senjata itu.

 

Ia masih ingat ketika masih SD samurai, pedang, dan senjata tajam lainnya menjadi hal yang sering dilihat, bahkan dipegangnya. Perbekalan pertempuran itulah yang menjadikan modal gerilyawan asal Malang dan sekitarnya.

"Banyak (yang mengajarkan ilmu kekebalan terhadap senjata) salah satunya Nachrawi, ayah saya di Lawang itu juga sama saja. Jadi Peta itu kumpulnya di sana, waktu itu saya masih kecil SD ada samurai diam-diam melihat, masih kecil saya," papar pria berusia 87 tahun ini.

Namun selain di Singosari dan Lawang disebutnya ada beberapa daerah lainnya terutama di pondok - pondok pesantren yang memiliki tokoh - tokoh ulama mengajarkan hal serupa, ilmu kekebalan dengan memakan telur mentah.

"Nyebar dimana-mana, banyak memang yang ditokohkan yang mampu bisa nyuwuk. Jadi orang bukan di tempat sini saja ada di tempat lain. Itu telur mentah bawa sendiri - sendiri, didoakan (sama kiai), dipecah, dimakan, jadi tanpa dimasak, namanya telur mentah. Setelah itu berangkat perang," tukasnya.

Topik Menarik