Saksikan Morning Zone Nekat Masuk Tol Biker Tewas Jumat 24 Januari 2025 di Portal dan Youtube Official Okezone Pukul 08.00 Wib
JAKARTA – Perlindungan hak asasi manusia (HAM) menjadi salah satu aspek penting terkait dengan reformasi hukum pidana di Indonesia. Selain itu, hukum acara pidana harus berorientasi untuk menghindari kesewenang-wenangan.
"Filosofi utama hukum acara pidana harus berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia dan menghindari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum," ujar Pakar Hukum Universitas Gajahmada (UGM) Prof Eddy O.S. Hiariej, dikutip Kamis (23/1/2025).
Prof Eddy menyampaikan hal tersebut dalam webinar pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Selain hukum acara pidana harus bersifat keresmian dengan pengaturan yang ketat, kata Prof Eddy, dalam KUHAP harus menjunjung tiga prinsip.
Prinsip pertama adalah terulis guna aturan hukum tidak multitafsir. Kedua, harus jelas sehingga tidak menimbulkan kebingungan dalam penerapan. Terakhir, tidak dapat diinterpretasikan selain dari yang tertulis untuk menghindari menghindari kerugian bagi pelapor, terlapor, saksi, tersangka, terdakwa, hingga narapidana.
Perubahan paradigma dari Crime Control Model yang mengedepankan asas praduga bersalah menurutnya juga perlu adanya perubahan untuk menuju Due Process Model yang lebih melindungi HAM. Meski, di sisi lain pihaknya diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan pidana, khususnya memposisikan Polri sebagai penyidik utama.
Sementara Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bertindak sebagai penyidik pendukung. Adapun peran jaksa sebagai penuntut umum sekaligus eksekutor dalam penelusuran dan perampasan aset. Prof Eddy juga menekankan pentingnya keberadaan advokat sejak tahap penyelidikan untuk memastikan pengawasan yang lebih baik dalam proses penegakan hukum.
Menurutnya, peran advokat juga perlu diperluas dalam konteks praperadilan untuk melindungi kepentingan saksi, tersangka, terdakwa, hingga narapidana. Hal lainnya yang juga tak luput dari sorotan Prof Eddy, yakni pengawasan terhadap perolehan barang bukti. Pengumpulan barang bukti harus dilakukan secara transparan dan dapat diawasi oleh pihak-pihak terkait.
Prof Eddy juga mengusulkan dua jenis putusan tambahan di pengadilan. Yakni, putusan pemaafan hakim, untuk kasus yang layak mendapatkan pertimbangan khusus. Kemudian, putusan tindakan, terkait dengan keadilan restoratif atau restorative justice. Kendati, dalam keputusan restorative justice, katanya harus tetap melalui proses penetapan hakim dan terregistrasi, baik oleh polisi, jaksa, dan hakim.
Prof Eddy juga menyoroti kemungkinan putusan Mahkamah Agung (MA) yang lebih berat dibandingkan putusan pengadilan sebelumnya. "Putusan MA tidak boleh lebih berat dari putusan sidang pembuktian sebelumnya, kecuali dalam kondisi tertentu," katanya.
Soal peninjauan kembali (PK), Prof Eddy juga meminta agar diperketat, karena merupakan upaya luar biasa, bukan sebagai peradilan tingkat empat. Ia juga mengingatkan pentingnya asas hukum pidana yang memberikan kepastian hukum.
"Proses pidana harus ada akhirnya," katanya.
Untuk Lembaga pemasyarakata (Lapas), Prof Eddy menekankan sebagai akhir dari rantai sistem peradilan pidana. Untuk itu, ia berharap dengan adanya RKUHAP dapat menguatkan peran lapas, sehingga tidak hanya menjadi tempat penahanan, namun berfungsi menjadi tempat pembinaan dan reintegrasi sosial.