Terungkap! Ini Peran dan Gaji Pelaku Aborsi Ilegal di Apartemen Bassura Jaktim
JAKARTA - Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya berhasil mengamankan lima orang pelaku setelah membongkar praktik aborsi ilegal yang beroperasi di Apartemen Bassura, Jakarta Timur. Kelima pelaku memiliki peran masing-masing dalam praktik tersebut.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Kombes Edy Suranta Sitepu merinci peran para tersangka. Salah satunya adalah perempuan berinisial NS yang berperan sebagai eksekutor aborsi terhadap para pasien. NS disebut berpura-pura menjadi dokter obstetri dan ginekologi (obgyn) yang memahami proses aborsi.
"Saudari NS ini memiliki peran sebagai eksekutor, atau dokter, seolah-olah sebagai dokter obgyn," kata Edy dalam konferensi pers, Rabu (17/12/2025).
Dari perannya tersebut, NS memperoleh bayaran sebesar Rp1.700.000 untuk setiap tindakan aborsi yang dilakukan.
Pelaku kedua adalah perempuan berinisial RH yang berperan membantu NS dalam proses aborsi. Dari peran itu, RH mendapatkan bayaran sebesar Rp1.000.000.
Selanjutnya, tersangka berinisial M berperan menjemput dan mengantar pasien, baik saat kedatangan maupun setelah tindakan aborsi dilakukan. M menerima bayaran sebesar Rp1.000.000.
Pelaku lainnya adalah pria berinisial LN yang berperan menyewa apartemen yang digunakan sebagai lokasi praktik aborsi ilegal. LN mendapat bayaran sekitar Rp200.000 hingga Rp400.000.
Sosok kelima adalah YH yang berperan sebagai pengelola website. Praktik aborsi ilegal tersebut diketahui dipromosikan melalui situs daring.
“Mendapatkan bagian sekitar Rp2.000.000,” ujarnya.
Selain lima pelaku tersebut, dua orang pasien berinisial KWM dan R juga ditetapkan sebagai tersangka. Keduanya berada di kamar 28A lantai 28 apartemen saat penggerebekan dilakukan oleh pihak kepolisian.
Lima tersangka utama yang merupakan pengelola praktik aborsi ilegal tersebut telah ditahan di Rumah Tahanan Polda Metro Jaya. Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 428 ayat (1) juncto Pasal 60 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dengan ancaman pidana maksimal 12 tahun penjara.










