Ini Sejumlah Catatan Jika Kurikulum Merdeka Dilanjutkan, Apa Saja?

Ini Sejumlah Catatan Jika Kurikulum Merdeka Dilanjutkan, Apa Saja?

Terkini | sindonews | Rabu, 23 Oktober 2024 - 11:14
share

Kurikulum Merdeka saat ini menjadi sorotan ketika kini Abdul Mu'ti resmi menggantikan Nadiem Anwar Makarim menjadi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen). Perhimpunan Pendidik dan Guru (P2G) menyampaikan pendapatnya mengenai hal ini.

Kepala Bidang Litbang Pendidikan P2G Feriansyah mengatakan, P2G meminta Mendikdasmen berikutnya melanjutkan kebijakan Kurikulum Merdeka namun dengan beberapa catatan yang perlu dilakukan agar implementasinya di lapangan tidak berdampak negatif.

Baca juga: Sekolah Diberi Masa Transisi 3 Tahun untuk Implementasi Kurikulum Merdeka

Pertama, ujar dia, menteri pengganti Nadiem Anwar Makarim harus melakukan pembenahan optimal dalam Implementasi Kurikulum Merdeka termasuk juga Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).

Pihaknya juga meminta dimasukkannya kembali mata pelajaran bahasa asing di jenjang SMA/MA/SMK pada implementasi Kurikulum Merdeka di lapangan.

Baca juga: P2G Sebut Penerimaan Siswa Angkatan Pertama Kurikulum Merdeka di SNBP 2024 Menurun

"Ada pelatihan IKM bagi guru-guru di seluruh wilayah secara adil dan merata dan tidak menjadikan PMM sebagai solusi tunggal bagi guru," ujarnya, melalui keterangan resmi, Rabu (23/10/2024).

Selain itu P2G juga meminta kementerian meringankan beban administrasi guru dalam Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) dan juga ada perbaikan dan penyempurnaan buku teks utama.

Baca juga: Kurikulum Merdeka Resmi Berlaku Nasional, Ada Masa Transisi

“Ganti menteri ganti kurikulum, sebenarnya tidak selalu terjadi dalam sejarah kurikulum nasional. Indonesia baru 11 kali berganti kurikulum nasional, sedangkan menteri Pendidikan dan Kebudayaan sudah berganti sebanyak 38 kali sejak Ki Hadjar Dewantara sampai Nadiem Makarim," lanjut mahasiswa S3 UGM ini.

Dia mengatakan, jika ganti menteri harus mengganti kurikulum dirasa akan berdampak negatif. Misalnya secara psikologis bagi siswa, disorientasi ketidakjelasan arah, hambatan harmonisasi dengan perguruan tinggi, dan penyesuaian buku teks yang tidak mudah.

"Kemudian pelatihan guru yang tak efektif, administrasi pembelajaran, sampai pada paradigma guru, siswa, dan orang tua termasuk birokrasi pendidikan di daerah," lugasnya.

Topik Menarik