Kenaikan PPN 1 Persen Lebih Baik daripada Kenaikan PPh, Begini Pendapat Ekonom

Kenaikan PPN 1 Persen Lebih Baik daripada Kenaikan PPh, Begini Pendapat Ekonom

Terkini | sindonews | Jum'at, 27 Desember 2024 - 17:30
share

Kebijakan kenaikan PPN 12 persen per 1 Januari 2025 menjadi topik hangat yang tengah diperbincangkan di masyarakat. Salah satu yang menjadi pembahasan yaitu, seharusnya pemerintah mengambil langkah lain, selain menaikan PPN untuk menjadi sumber pendapatan negara. Namun benarkah demikian?

Josua Pardede, Ekonom Bank Permata turut menyoroti persoalan ini. Menurutnya, kenaikan PPN menjadi 12 persen di Indonesia memang langkah yang diperlukan untuk meningkatkan pendapatan negara, tetapi dampaknya terhadap daya beli masyarakat tidak bisa diabaikan.

Penerapannya telah disesuaikan dengan kondisi masyarakat, hal itu dapat dilihat bahwa barang kebutuhan pokok (beras, daging, ikan, sayur-sayuran, susu segar) tetap bebas PPN, sehingga tidak membebani kelompok berpendapatan rendah.

“PPN 12 persen hanya berlaku untuk barang dan jasa premium seperti daging wagyu, sekolah internasional, dan layanan kesehatan VIP,” ujarnya kepada iNews Media Group, Senin (23/12).

Selain itu, kata Pardede, tarif PPN Indonesia masih lebih rendah dari rata-rata global, kebijakan ini mencerminkan langkah untuk meningkatkan ruang fiskal tanpa mengorbankan daya beli kelompok rentan.

“Beras sebagai kebutuhan pokok tetap termasuk dalam kategori bebas PPN (0 persen) untuk mendukung daya beli masyarakat. Beras dengan harga premium dikenakan PPN 12 persen (misalnya, beras dengan harga jual minimum Rp300.000/kg). Hal ini sejalan dengan asas keadilan dan keberpihakan terhadap masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah,” ujarnya.

Dengan adanya PPN 12 persen, kata Pardede, justru dapat membedakan antara konsumsi masyarakat mampu dengan kebutuhan dasar masyarakat luas.

“Pemerintah juga memberikan bantuan pangan berupa 10 kg beras per bulan untuk 16 juta keluarga penerima manfaat selama dua bulan pertama pada 2025, guna menjaga konsumsi rumah tangga dan melindungi kelompok rentan,” tuturnya.

Jadi, untuk memitigasi dampak dari kenaikan PPN, pemerintah memberikan berbagai insentif, seperti subsidi listrik dan bantuan pangan, serta kemudahan akses bagi pekerja yang terkena PHK.

Kebijakan pemerintah terkait kenaikan PPN ini juga menjadi strategi yang lebih efektif daripada menaikkan pajak penghasilan (PPh). Padede menilai kenaikan PPh tidak secara langsung berdampak pada konsumsi masyarakat luas, berbeda dengan PPN yang dikenakan pada barang/jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat umum.

“Di sisi yang lain, kelompok berpenghasilan tinggi cenderung memiliki lebih banyak akses ke strategi perencanaan pajak untuk menghindari kewajiban, yang dapat mengurangi efektivitas kebijakan kenaikan tarif PPh,” katanya.

Selain itu, imbuhnya, kenaikan tarif PPh dapat mempengaruhi daya tarik Indonesia sebagai destinasi investasi, karena dianggap membebani perusahaan atau investor dengan pajak penghasilan yang lebih tinggi.

“Lalu, basis pajak PPh lebih kecil dibandingkan PPN, karena hanya dikenakan pada wajib pajak tertentu. Hal ini membuat potensi penerimaan negara dari PPh lebih terbatas dibandingkan PPN yang berlaku luas,” ujarnya.

Oleh sebab itu, pemerintah lebih mempertimbangkan kenaikan PPN dibandingkan kenaikan PPh karena PPN mencakup semua lapisan masyarakat melalui konsumsi barang dan jasa, sehingga penerimaan negara lebih stabil dan berkelanjutan.

Pardede menambahkan, dengan tidak menaikkan PPh secara signifikan, pemerintah dapat menjaga daya saing dan menarik investasi, sekaligus mempertahankan lapangan kerja di sektor formal.

“Kenaikan PPh juga dapat menciptakan persepsi negatif di masyarakat dan investor, karena langsung menyasar pendapatan individu dan perusahaan. Terakhir, pemerintah memberikan berbagai insentif dan pengecualian PPN, khususnya untuk kebutuhan pokok dan UMKM, yang lebih mudah diterapkan dibandingkan reformasi tarif PPh,” tuturnya.

Dengan demikian, pemerintah menilai kenaikan PPN sebagai langkah yang lebih efektif dan berimbang untuk mencapai tujuan fiskal tanpa memberikan tekanan yang signifikan pada ekonomi dan masyarakat tertentu.

Kenaikan PPN Indonesia Lebih Rendah dari Negara-negara LainIa juga mengungkapkan bahwa kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sering kali terjadi di negara-negara dengan pendapatan per kapita tinggi karena warga negara dengan pendapatan tinggi memiliki daya beli lebih baik, sehingga dampak kenaikan PPN terhadap konsumsi cenderung lebih moderat.

“PPN sering digunakan sebagai sumber utama pendapatan pemerintah untuk mendanai program sosial dan pembangunan yang melibatkan redistribusi kekayaan. Tarif PPN di negara maju seperti Prancis (20 persen), Inggris (20 persen), dan Jerman (19 persen) lebih tinggi dibandingkan rata-rata global dan juga Indonesia (12 persen per 2025),” ucapnya.

Sementara, Indonesia merupakan negara berpenghasilan menengah, dengan GDP per kapita tahun 2024 diperkirakan mencapai USD5,039 dan diharapkan meningkat menjadi USD5,444 pada 2025.

Strategi Mengoptimalkan Pendapatan NegaraSelain menaikkan PPN menjadi 12 persen, Pardede menyebutkan beberapa langkah lain untuk meningkatkan pendapatan negara selain menaikkan PPN menjadi 12 persen, di antaranya:

1. Peningkatan basis pajak yang dapat dilakukan dengan reformasi perpajakan untuk memperluas basis pajak, seperti pengenaan pajak atas barang atau jasa baru yang sebelumnya tidak dikenakan pajak.

2. Peningkatan tarif PPh untuk kelompok berpenghasilan tinggi (tarif 35 persen untuk pendapatan di atas Rp5 miliar), serta insentif pajak seperti PPh Final 0,5 persen untuk UMKM bisa ditinjau kembali untuk meningkatkan pendapatan pajak.

3. Penerapan pajak baru seperti mempercepat implementasi pajak karbon untuk sektor-sektor tertentu yang menghasilkan emisi tinggi. Selain itu juga dilakukan peningkatan penerapan pajak atas ekonomi digital, seperti e-commerce, layanan streaming, dan platform digital lainnya.

4. Efisiensi belanja dan peningkatan kualitas pengeluaran dengan memastikan setiap rupiah yang dikeluarkan memberikan dampak maksimal untuk pembangunan. Di samping itu juga mengalokasikan kembali anggaran dari pos-pos yang kurang prioritas ke sektor yang lebih produktif dan memberikan dampak langsung ke ekonomi.

5. Peningkatan penerimaan non-pajak dengan mendorong BUMN untuk memberikan kontribusi lebih besar melalui dividen yang lebih tinggi, serta pengelolaan yang lebih baik atas sumber daya alam dan PNBP lainnya, seperti royalti tambang dan migas.

Menurut Pardede, langkah strategis di atas diyakini mampu meningkatkan pendapatan negara demi pembangunan ekonomi yang berkeadilan. Ia juga berharap, potensi kenaikan penerimaan negara dari kenaikan PPN tersebut justru perlu dioptimalkan oleh pemerintah untuk mendorong belanja pemerintah.

“Belanja pemerintah tersebut nantinya digunakan untuk memberikan stimulus dalam rangka penciptaan lapangan kerja, yang dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar, sehingga dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh industri manufaktur padat kerja,”ucapnya.

Masyarakat Perlu Tingkatkan LiterasiPengamat Kebijakan Publik Yustinus Prastowo menilai bahwa dalam menghadapi kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen ini, masyarakat perlu meningkatkan literasi keuangan dengan memahami pengeluaran mana yang dikenai PPN, sehingga dapat mengelola anggaran rumah tangga secara lebih bijak.

Menurutnya, masyarakat juga dapat berperan aktif dengan menyampaikan aspirasi dan masukan kepada pemerintah terkait dampak kenaikan PPN terhadap daya beli masyarakat. Partisipasi aktif ini penting agar pemerintah dapat mengambil kebijakan yang lebih tepat dan memperhatikan kesejahteraan masyarakat.

“Kenaikan tarif PPN adalah kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara. Namun, dampaknya terhadap masyarakat harus tetap diperhatikan. Dengan persiapan yang matang dan sikap yang adaptif, masyarakat dapat menghadapi tantangan ini dengan lebih baik,” tutur Yustinus.

Dengan demikian, kenaikan PPN bukan hanya tentang meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan sosial.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam sebuah kesempatan mengatakan bahwa Pemerintah terus berupaya menjaga daya beli masyarakat dan menstimulasi perekonomian melalui berbagai paket kebijakan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan, salah satunya dari sisi perpajakan.

“Pajak merupakan instrumen penting bagi pembangunan. Dalam pemungutannya selalu mengutamakan prinsip keadilan dan gotong-royong. Prinsip ini juga mendasari penerapan kebijakan PPN 12 persen yang bersifat selektif untuk rakyat dan perekonomian,” ujarnya.

Penyesuaian PPN 12 persen ditujukan pemerintah untuk pembangunan ekonomi, serta meningkatkan pendapatan negara demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.

Pembebasan PPN untuk kebutuhan pokok memastikan bahwa masyarakat berpenghasilan rendah tetap terlindungi. Hal ini menurut pemerintah lebih baik, dibandingkan dengan kenaikan PPh yang bisa berdampak langsung pada penghasilan pekerja dan dapat mengurangi insentif kerja, sistem PPN yang bertingkat ini mencerminkan prinsip gotong royong dalam perpajakan.

Mereka yang mengonsumsi lebih banyak barang dan jasa premium akan secara proporsional berkontribusi lebih besar pada pendapatan negara.

Topik Menarik