Infrastruktur dan Pembiayaan

Infrastruktur dan Pembiayaan

Nasional | sindonews | Senin, 28 April 2025 - 06:07
share

Candra Fajri AnandaStaf Khusus Menteri Keuangan RI

INFRASTRUKTUR dasar memainkan peran sentral dalam mendukung seluruh aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Hal itu karena ketersediaan jalan yang memadai, akses listrik, air bersih, serta tempat tinggal layak bukan sekadar fasilitas fisik, melainkan fondasi penting bagi individu dan komunitas untuk berpartisipasi dalam kegiatan produktif.

Pembangunan infrastruktur dasar menjadi strategi efektif untuk mengurangi kemiskinan secara berkelanjutan. Sebab ketika masyarakat memiliki rumah layak, listrik, dan air bersih, mereka memiliki landasan kuat untuk mengembangkan usaha, mengakses pendidikan, menjaga kesehatan, dan membangun kehidupan yang lebih stabil.

Hal ini menegaskan bahwa pendekatan pembangunan tidak cukup hanya mengandalkan pemberian bantuan tunai jangka pendek. Melainkan harus difokuskan pada penciptaan kondisi yang mendorong masyarakat keluar dari jerat kemiskinan melalui upaya produktif dan mandiri.

Oleh sebab itu, proyek-proyek infrastruktur dasar perlu dipandang sebagai investasi sosial jangka panjang yang mampu mendorong transformasi struktural dalam kehidupan masyarakat miskin. Sehingga strategi pengentasan kemiskinan harus memperkuat pembangunan infrastruktur sebagai fondasi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan kesejahteraan sosial yang berkelanjutan.

Pasalnya, seiring dengan upaya memperkuat pembangunan infrastruktur dasar untuk mengurangi kemiskinan, tantangan baru muncul akibat dinamika ketidakpastian global. Salah satunya dipicu oleh perang dagang antara negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan mitra dagangnya.

Ketegangan perdagangan pun berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi global dan berdampak langsung pada perekonomian domestik, antara lain melalui meningkatnya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan pengangguran.

Berdasarkan laporan Dana Moneter Internasional (IMF) dalam World Economic Outlook edisi April 2025, tingkat pengangguran di Indonesia diproyeksikan meningkat menjadi 5,0 pada tahun 2025, naik dari 4,9 pada tahun sebelumnya, sebagai dampak dari ketegangan perdagangan global.

Kondisi tersebut tentu memperbesar risiko bertambahnya jumlah penduduk miskin, sehingga mempertegas pentingnya pembangunan yang tidak hanya responsif terhadap kebutuhan jangka pendek, tetapi juga tangguh menghadapi tekanan eksternal.

Di saat yang sama, dalam konteks domestik, pemerintah mengeluarkan Inpres No.1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD TA 2025, yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fiskal di tengah tekanan ekonomi.

Konsekuensinya, jumlah anggaran yang dikelola oleh Pemerintah Daerah (Pemda) akan mengalami penurunan, meskipun tingkat pengurangan ini dapat bervariasi antar daerah. Pemda yang memiliki kapasitas fiskal rendah – yakni kemampuan keuangan daerah yang terbatas untuk membiayai pembangunan dan layanan public – akan menghadapi tekanan yang jauh lebih berat dibandingkan daerah dengan kapasitas fiskal kuat.

Ketimpangan ini berpotensi memperlebar jurang ketidakmerataan pembangunan dan memperburuk kerentanan sosial. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan yang adaptif dan inovatif untuk mengantisipasi dampak ganda tersebut.

Urgensi Pembiayaan Alternatif

Pembangunan infrastruktur secara umum tetap menjadi kebutuhan utama yang harus terus dijalankan, bahkan di tengah keterbatasan fiskal dan ketidakpastian global. Agar program pembangunan tidak terhenti, dibutuhkan strategi pembiayaan yang inovatif dan berkelanjutan.

Pemerintah daerah harus mampu mengombinasikan berbagai sumber pendanaan, seperti skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU), optimalisasi penggunaan aset daerah, serta penguatan kolaborasi dengan sektor swasta.

Infrastruktur yang terbangun dengan baik akan menjadi fondasi utama untuk meningkatkan produktivitas, menciptakan lapangan kerja, serta mempercepat pertumbuhan ekonomi lokal.

Selain itu, penting bagi pemerintah daerah untuk mendorong peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai bagian dari memperkuat kemandirian fiskal. Berdasarkan amanat Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD), kemampuan mengelola pendapatan dari pajak daerah menjadi semakin krusial.

Di tengah ketidakpastian situasi global, ketergantungan terhadap transfer pusat saja tidak cukup. Sebab itu, pemda perlu cerdas dalam meningkatkan local tax income power, tidak hanya dengan memperluas basis pajak, tetapi juga dengan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal yang sehat agar sumber pajak dapat berkembang secara alami.

Strategi meningkatkan pendapatan daerah juga harus dijalankan dengan memperhatikan keseimbangan antara pungutan dan pemberian insentif.

Pemda sebaiknya tidak hanya fokus pada penarikan pajak semata, tetapi juga aktif memberikan insentif bagi sektor-sektor usaha strategis untuk menjaga kelangsungan bisnis, mempertahankan tenaga kerja, dan menghindari terjadinya PHK massal.

Insentif fiskal dapat berupa pengurangan pajak, kemudahan perizinan, atau dukungan terhadap investasi di sektor riil yang padat karya. Melalui pendekatan tersebut, pemerintah daerah tidak hanya mengamankan sumber pendapatan jangka panjang, tetapi juga berkontribusi pada stabilitas sosial dan ekonomi.

Pada tingkat desa, semangat kebersamaan menjadi kunci untuk menggerakkan perekonomian lokal. Pengembangan usaha-usaha berbasis komunitas seperti koperasi, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan kelompok usaha kecil harus terus diperkuat sebagai bagian dari upaya membangun daerah dari bawah.

Pembangunan solidaritas ekonomi di tingkat desa adalah jalan bagi masyarakat untuk dapat menciptakan lapangan kerja sendiri, meningkatkan pendapatan, dan memperkokoh ketahanan sosial. Strategi ini tidak hanya relevan untuk mempercepat pembangunan desa, tetapi juga menjadi bagian integral dalam memperkuat ekonomi nasional secara keseluruhan.

Menuju Daerah yang Tangguh, Inklusif, dan Berkelanjutan

Daerah memiliki peluang besar untuk mengimplementasikan program-program pembangunan yang efektif dengan melakukan reformasi pada pola pengelolaan kegiatan. Salah satu langkah penting adalah mengurangi kegiatan yang bersifat seremonial dan memangkas birokrasi yang berbelit, karena kedua hal tersebut hanya akan menambah beban belanja daerah tanpa memberikan dampak nyata bagi masyarakat.

Pemerintah daerah perlu diarahkan untuk menyesuaikan ukuran organisasi pemerintahan (government size) menjadi lebih proporsional, misalnya dengan mempertimbangkan rasio jumlah pegawai terhadap jumlah penduduk.

Ukuran pemerintahan yang lebih ramping dan tepat akan menjadikan belanja pegawai lebih efisien dan meningkatkan fokus pada pelayanan publik yang berkualitas.

Efisiensi dalam pengelolaan anggaran daerah juga dapat ditempuh melalui kolaborasi strategis dengan pihak swasta. Pemerintah daerah tidak harus menangani seluruh tugas pembangunan secara langsung, melainkan dapat mendorong keterlibatan sektor swasta untuk melaksanakan sebagian peran, terutama di bidang infrastruktur dan layanan publik.

Salah satu skema yang dapat diadopsi adalah Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU/PPP) dalam proyek pembangunan, seperti dalam pembangunan dan pengelolaan jalan, jembatan, serta fasilitas umum lainnya. Penerapan mekanisme tersebut dapat mengurangi beban fiskal daerah, sementara kebutuhan infrastruktur tetap dapat terpenuhi dengan standar layanan yang baik.

Di samping itu, pola kepemimpinan daerah saat ini pun harus bertransformasi dari gaya administrative – konvensional menjadi pola kepemimpinan yang melayani masyarakat serta kem ampuan berkolaborasi secara aktif. Pemimpin daerah dituntut untuk lebih responsif terhadap kebutuhan rakyat, fokus pada penyediaan layanan publik yang berkualitas, dan mampu mendorong partisipasi aktif warga dalam pembangunan.

Selain itu, kepemimpinan yang efektif harus memiliki visi kolaboratif, di mana pemerintah daerah tidak bekerja sendiri, melainkan membangun kemitraan strategis yang kuat dengan berbagai pihak, termasuk dunia usaha dan komunitas lokal, untuk mempercepat kemajuan daerah.

Lebih jauh lagi, kepala daerah perlu menjadi penghubung antara pemerintah pusat, dunia usaha, dan pemerintah daerah sendiri. Membangun jejaring yang kokoh antar ketiga aktor ini sangat penting untuk memperluas akses pendanaan, meningkatkan investasi, serta memastikan sinkronisasi program nasional dan daerah berjalan efektif.

Kepemimpinan yang berorientasi pada pelayanan dan kolaborasi inilah yang akan menentukan seberapa cepat suatu daerah mampu beradaptasi dengan perubahan zaman, mendorong inovasi, dan menciptakan kesejahteraan yang lebih inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat.

Kala menghadapi ketidakpastian global dan keterbatasan fiskal, pembangunan daerah harus diarahkan pada strategi yang lebih adaptif, efisien, dan berorientasi pada hasil.

Pembangunan infrastruktur dasar tetap menjadi prioritas, namun harus didukung dengan penguatan kapasitas fiskal daerah, reformasi ukuran pemerintahan yang proporsional, serta kolaborasi strategis dengan sektor swasta.

Di saat yang sama, pola kepemimpinan daerah juga perlu bertransformasi menjadi kepemimpinan yang melayani, inovatif, dan mampu membangun jejaring kuat antara pemerintah pusat, daerah, dan dunia usaha.

Berlandaskan prinsip pelayanan publik, efisiensi birokrasi, penguatan ekonomi lokal, serta kolaborasi multipihak, daerah dapat mempercepat pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan sambil memperkuat ketahanan sosial-ekonomi masyarakat menghadapi dinamika tantangan yang terus berkembang. Semoga.

Topik Menarik