Hasto Jadi Tersangka, Dimana Harun Masiku?
JAKARTA, iNewsTangsel.id - Sekretaris Jenderal DPP PDI-P, Hasto Kristiyanto, resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan suap terhadap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait pergantian antar waktu (PAW). Kasus ini juga menyeret nama mantan calon anggota legislatif PDI-P, Harun Masiku, yang hingga kini masih buron.
Penetapan status tersangka terhadap Hasto mulai tercium publik sejak ia diperiksa KPK dalam kaitannya dengan pelarian Harun Masiku. "Mungkin saja selama penyidikan ditemukan kaitan antara Sekjen dengan keberadaan atau kaburnya Harun Masiku. Namun, Sekjen justru tidak melaporkan hal tersebut kepada KPK, bahkan terkesan melindunginya," ujar Koordinator Tim Hukum Merah Putih, C. Suhadi, saat dihubungi di Jakarta, Kamis (27/12/2024).
Sebelumnya, KPK telah menyita tas dan ponsel milik Hasto. Penyidik menduga ada bukti kuat dalam alat komunikasi tersebut yang menghubungkan Hasto dan Harun Masiku dengan kasus suap terhadap Komisioner KPU terkait PAW di DPR RI.
Hasto dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b, serta Pasal 13 UU Tipikor. Hukuman maksimal untuk pelanggaran tersebut adalah lima tahun penjara, dengan tambahan hukuman tiga tahun untuk Pasal 13. Hasto diduga bekerja sama dengan Harun Masiku dalam upaya penyuapan terhadap Komisioner KPU.
Dengan status tersangka Hasto, kasus ini memasuki babak baru. Namun, hingga kini Harun Masiku, yang dianggap sebagai pelaku utama, masih belum diketahui keberadaannya. "Tanpa kehadiran Harun Masiku, kasus ini hanya akan menjadi bola panas yang bisa menyeret pihak lain, termasuk dugaan kriminalisasi terhadap Sekjen atau bahkan keterlibatan mantan menteri era Jokowi," tambah Suhadi.
Sikap Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dalam menyikapi kasus ini juga menjadi sorotan. Dikutip dari Merdeka.com (24/12/2024), Megawati menyatakan akan mendatangi KPK jika Hasto ditahan. Menanggapi hal tersebut, Suhadi menilai langkah tersebut sebagai bentuk penghalangan penyidikan (obstruction of justice), yang diatur dalam Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001.
"Langkah Megawati menunjukkan sikap yang tidak sejalan dengan prinsip hukum. PDI-P, yang mengklaim sebagai pelopor reformasi, justru memperlihatkan sikap partai yang mengutamakan kekuasaan daripada ketaatan hukum," ujar Suhadi.
Menurutnya, jika KPK salah dalam menetapkan tersangka, PDI-P seharusnya menempuh jalur hukum dengan mengajukan praperadilan. "Langkah tersebut lebih sesuai dengan hukum acara daripada memilih opsi yang justru berpotensi melanggar hukum," tutup Suhadi.