Letusan Merapi dalam Ramalan Jayabaya: Begini Pandangan Pangeran Diponegoro

Letusan Merapi dalam Ramalan Jayabaya: Begini Pandangan Pangeran Diponegoro

Gaya Hidup | temanggung.inews.id | Selasa, 24 Desember 2024 - 15:00
share

TEMANGGUNG, iNewsTemanggung.id - Ramalan Jayabaya dan erupsi Gunung Merapi diyakini oleh Pangeran Diponegoro sebagai pertanda alam.

Letusan Merapi yang terjadi bersamaan dengan penobatan Sultan Hamengkubuwono V sebagai Sultan Yogyakarta dianggap sebagai peristiwa besar.

Erupsi yang sangat dahsyat pada tahun 1822 mengguncang Yogyakarta, membuat warga kota terkejut dan terhimpit oleh material vulkanik yang menyebar pada 28 hingga 30 Desember 1822.

Pangeran Diponegoro, yang pada saat itu berada di rumah adiknya, Suryobrongto, yang tengah merayakan khitanan anaknya, menyaksikan sendiri kedahsyatan letusan tersebut dan mencatatnya dalam babadnya.

Menurut Peter Carey dalam bukunya Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 - 1855, diceritakan bahwa sehari sebelum letusan Gunung Merapi, Pangeran Diponegoro masih sempat menghabiskan malam dengan bermain catur bersama sahabat lamanya, Raden Ayu Danukusumo.

Pada pagi buta, 28 Desember 1822, serangkaian gempa mengguncang, dan Gunung Merapi mulai meletus. Aliran lahar meluncur turun dari lereng gunung, disertai hujan abu dan pasir.

Kepulan asap yang terus menjulang ke langit yang masih gelap semakin pekat. Pada saat itu, Pangeran Diponegoro bersama istrinya, Raden Ayu Maduretno, keluar dari rumah mereka di Tegalrejo dan menatap ke langit.

 

Melihat gunung yang sedang terbakar dan bumi yang berguncang akibat gempa, Sang Pangeran merasa tersenyum dalam hatinya, karena ia menyadari bahwa peristiwa ini merupakan pertanda kemurkaan Allah.

Letusan Gunung Merapi pada 1822 memang sangat dahsyat, bahkan laporan dari pemerintah kolonial Belanda saat itu mengonfirmasi apa yang digambarkan oleh Pangeran Diponegoro.

Penduduk yang tinggal di lereng gunung berlarian meninggalkan rumah mereka, dan tiga desa di Kedu hancur. Catatan sejarah menunjukkan bahwa letusan ini adalah yang terburuk sejak letusan terakhir pada 1772.

Peristiwa tersebut hampir dipastikan memperkuat keyakinan akan kedatangan Ratu Adil yang diramalkan oleh Jayabaya.

Dalam mitologi Jawa, ada roh penjaga gunung bernama Kiai Sapu Jagad, yang dihormati bersama Ratu Kidul sebagai dua roh penjaga kesultanan.

Pandangan Diponegoro tentang peristiwa ini sebagai pertanda amarah Illahi juga diikuti oleh banyak orang pada masa itu.

Pangeran Diponegoro sendiri percaya pada ramalan Jayabaya, Raja Kediri yang terkenal, yang mengatakan bahwa kedatangan Ratu Adil selalu diawali dengan hujan abu, gempa bumi, petir, kilat, hujan deras, angin kencang, gerhana matahari, dan bulan.

Serangan wabah kolera pada 1821 yang menyebabkan harga beras melonjak dan merusak tatanan sosial, dengan mudah dihubungkan oleh masyarakat pada saat itu dengan masa kekacauan sebelum kedatangan Ratu Adil.

Topik Menarik