Angka Kelahiran Menurun, China Luncurkan Insentif Pengasuhan Anak

Angka Kelahiran Menurun, China Luncurkan Insentif Pengasuhan Anak

Terkini | okezone | Jum'at, 11 April 2025 - 04:21
share

JAKARTA - China tengah bergulat dengan krisis populasi yang semakin memburuk, di saat populasi yang semakin menua dan angka kelahiran yang menurun mengancam stabilitas demografi jangka panjang di negara tersebut.

Generasi muda di China semakin menolak menikah dan memiliki anak, yang mendorong Partai Komunis China (PKC) untuk menerapkan kebijakan pro-kelahiran secara agresif.

Mengutip dari editorial Financial Post pada Jumat (11/4/2025), kampanye nasional tersebut bertujuan untuk meningkatkan angka kelahiran, dengan memperkenalkan insentif seperti subsidi pengasuhan anak.

Dalam pertemuan bertajuk ‘Dua Sesi,’ Perdana Menteri Li Qiang menguraikan rencana pemerintah untuk membalikkan tren tersebut melalui dukungan finansial dan struktural bagi keluarga.

Bersamaan dengan itu, Komisi Kesehatan Nasional meluncurkan Prakarsa Pembangunan Berkualitas Tinggi Populasi 2025, yang mengamanatkan komisi kesehatan setempat untuk merancang langkah-langkah kesuburan yang komprehensif. Berlangsung dari Maret hingga Oktober, upaya ini mencari solusi jangka panjang untuk memperlambat penurunan populasi, tetapi apakah intervensi ini akan mengubah sikap masyarakat masih belum pasti.

Di seluruh China, pemerintah daerah memperkenalkan langkah-langkah untuk meningkatkan angka kelahiran dan mendukung keluarga. China tengah mengembangkan sistem terpadu yang mencakup pernikahan, pengasuhan anak, pendidikan, dan pekerjaan, sekaligus melonggarkan pembatasan pernikahan bagi mahasiswa dan meluncurkan platform kencan daring.

 

Insentif finansial juga telah diluncurkan. Di Hohhot, Mongolia Dalam, keluarga dengan anak ketiga menerima subsidi sebesar 100.000 yuan (sekira Rp229,5 juta). Kota Dalian memperkuat kebijakan cuti hamil, sementara Ningxia telah memperpanjang cuti menikah menjadi 13 hari, cuti hamil menjadi 60 hari, dan menambahkan 10 hari cuti orang tua bagi keluarga dengan anak kecil.
 

Siklus Kesulitan Ekonomi

Kekhawatiran tentang penurunan angka kelahiran di China tetap signifikan, karena banyak anak muda semakin enggan untuk memulai keluarga. Seorang warga dari distrik Pudong di Shanghai mengungkapkan kekhawatirannya tentang generasi yang menua, dengan mencatat bahwa kedua putranya—keduanya berusia 30-an—tidak memiliki keinginan untuk memiliki anak. Ia menyatakan bahwa mayoritas anak muda memiliki sentimen serupa, dengan alasan ketidakpastian ekonomi dan prospek masa depan.

Meski pemerintah China berupaya memperkenalkan kebijakan yang mendorong kelahiran, skeptisisme tetap ada. Pasar kerja yang lemah telah membuat banyak orang berjuang, dengan beberapa menghadapi periode pengangguran sebelum mendapatkan pekerjaan yang stabil.

Di Shanghai, profesional muda juga memandang kenaikan biaya hidup sebagai hambatan utama untuk menikah dan menjadi orang tua. Seorang individu menggambarkan insentif seperti subsidi pengasuhan anak sebagai sesuatu yang tidak efektif, dengan alasan bahwa beban keuangan membuat tidak praktis bagi banyak orang untuk membesarkan anak. Kekhawatiran ini menyoroti keraguan yang berkembang tentang pemulihan demografi jangka panjang.

Pernikahan semakin dilihat sebagai kemewahan yang tidak dapat dicapai di Beijing, di mana biaya hidup terus melonjak. Gaji bulanan sebesar 10.000 yuan (sekitar Rp22,9 juta) dianggap layak, tetapi bagi banyak orang, kepemilikan rumah masih merupakan impian yang sulit terwujud.

Tekanan keuangan meluas melampaui perumahan—membesarkan anak otomatis berujung pada pengeluaran yang sangat besar, dengan pemenuhan berbagai kebutuhan yang menambah beban.

 

Menghadapi tantangan ini, beberapa warga China merasa terjebak dalam siklus kesulitan ekonomi, mempertanyakan apakah melahirkan anak-anak ke lingkungan seperti itu merupakan pilihan yang bertanggung jawab.

Enggan Memiliki Anak

Seorang sejarawan China yang tinggal di Australia menggambarkan dorongan Partai Komunis China untuk kebijakan kelahiran sebagai tanda keputusasaan yang semakin meningkat, memperingatkan bahwa angka kelahiran yang anjlok mungkin tidak dapat diubah.

Dampak ekonomi sudah terlihat, dengan pemerintah daerah berjuang secara finansial dan lebih sedikit orang yang bersedia menikah atau memiliki anak. Data resmi dari Kementerian Urusan Sipil China menyoroti tren tersebut—pernikahan nasional pada 2024 turun 20,5 dari tahun sebelumnya menjadi 6,106 juta, menandai level terendah dalam 45 tahun, sementara perceraian naik tipis 1,1 menjadi 2,621 juta.

Populasi China terus menurun, dengan statistik resmi menunjukkan angka kelahiran tahun 2024 hanya 6,77 per seribu dan tingkat pertumbuhan alami -0,99 per seribu, menandai tahun ketiga berturut-turut pertumbuhan negatif.

Menurut seorang Profesor China dari Universitas Teknologi Sydney, kebijakan satu anak PKT selama 30 tahun, termasuk aborsi paksa pada tahap akhir, menghapus satu hingga dua generasi, yang secara signifikan melemahkan fondasi demografi. Sementara itu, generasi muda berjuang dengan melonjaknya biaya pendidikan, perumahan, dan perawatan kesehatan, yang semakin diperburuk oleh karantina wilayah COVID yang berkepanjangan.

Profesor tersebut mengamati bahwa banyak anak muda China menganggap memiliki anak di bawah rezim otoriter sebagai hal yang tidak dapat diterima secara etis. Bahkan mereka yang memiliki kemampuan finansial memilih untuk tidak melakukannya, yang selanjutnya berkontribusi pada penurunan angka kelahiran. Ia mengkritik insentif orang tua dari PKC, menggambarkannya sebagai solusi dangkal yang gagal mengatasi masalah sosial yang lebih dalam.

 

Rasa Frustrasi Warga

Menurutnya, pejabat lokal China cenderung memanipulasi statistik untuk memenuhi kuota, dengan menyajikan narasi palsu melalui media pemerintah. Ia menekankan bahwa ekonomi yang stagnan dan kurangnya kebebasan terus memicu keputusasaan yang meluas di kalangan pemuda.

Sejumlah laporan yang beredar secara daring telah menyoroti kekhawatiran mengenai orang lanjut usia di Beijing dan Shanghai yang meninggal sendirian, dengan klaim yang menunjukkan bahwa aset-aset mereka kemudian diambil oleh negara.

Sebuah anekdot daring menarik perhatian pada isu ini, menggambarkan percakapan di mana seorang pengacara memperingatkan seorang individu muda tentang potensi konsekuensi dari tetap tidak menikah dan tidak memiliki anak, yang menyiratkan bahwa harta mereka dapat disita oleh pemerintah.

Tanggapan tersebut mencerminkan rasa pasrah, dengan individu tersebut menyatakan bahwa mereka tidak memiliki apa pun untuk ditinggalkan kecuali keberadaan mereka sendiri. Demikian pula, selama lockdown Covid-19 di Shanghai pada 2022, penegak karantina diduga menekan pasangan untuk mematuhi tindakan isolasi yang ketat, memperingatkan bahwa kegagalan untuk mematuhi dapat mengakibatkan hukuman keamanan yang memengaruhi banyak generasi.

Respons mereka, yang menyatakan penolakan untuk berkontribusi bagi generasi mendatang, bergema luas di seluruh platform daring, menggarisbawahi meningkatnya frustrasi dengan tata kelola, ketidakstabilan keuangan, dan kendala sosial di China.

Topik Menarik