Hindu dan Budha Hidup Berdampingan Penuh Damai Saat Pramodhawardani Jadi Ratu Pertama Mataram Kuno

Hindu dan Budha Hidup Berdampingan Penuh Damai Saat Pramodhawardani Jadi Ratu Pertama Mataram Kuno

Nasional | tuban.inews.id | Rabu, 23 Oktober 2024 - 08:00
share

JAKARTA, iNewsTuban.id - Salah satu sosok yang tercatat dalam sejarah kerajaan-kerajaan seantero Nusantara adalah Pramodhawardani . Dia pemimpin (Maharatu) perempuan pertama yang patut menjadi sumber inspirasi. Disebutkan bahwa pada masa pemerintahannya, dua agama, yakni Hindu dan Budha hidup berdampingan penuh damai. Bagaimana ceritanya? 

 

Pramodhawardhani adalah putri mahkota Wangsa Sailendra, beragama Buddha. Ia putri dari Rakai Warak Dyah Manara, atau dikenal juga sebagai Raja Smaratungga.

 

Pada tahun 832 M, dia menikah dengan Rakai Pikatan dari wangsa yang beragama Hindu. Pernikahan keduanya dinilai sebagai momen perkawinan lintas agama antara raja dan ratu yang sedang berkuasa penuh terhadap sebuah kerajaan.

 

Setahun setelah pernikahan itu, Pramodhawardhani mulai berkuasa di Jawa setelah berhasil memenangkan perebutan kekuasaan dengan Balaputradewa. Ia menjadi raja keenam Kerajaan Medang Jawa Tengah sekitar tahun 840. 

 

Perkawinan Pramodhawardani dengan Rakai Pikatan disebut-sebut sebagai momen bersatunya dua keluarga besar yang sebelumnya berseteru. 

 

Penyatuan dua wangsa ini tentu saja berdampak positif terhadap toleransi beragama antara pemeluk Buddha dan Hindu di Jawa kala itu. Agama Buddha masih lebih dominan pada dekade awal abad ke-7. 

 

Salah satu buktinya adalah Candi Borobudur. Kompleks candi besar di kawasan yang kini termasuk wilayah Kabupaten Magelang ini dibangun pada era Samaratungga. 

 

Namun, yang meresmikan Borobudur adalah Pramodhawardani, tahun 824 M. Setelah Pramodhawardani resmi bertakhta sejak 833 M, didampingi Rakai Pikatan, nuansa toleransi beragama semakin terasa.Pramodhawardani mengizinkan sang suami merintis dibangunnya candi-candi Hindu di wilayah kekuasaan kerajaannya. 

 

Sebaliknya, Rakai Pikatan pun tak segan-segan membantu pendirian candi-candi umat Buddha (Sukamto, Perjumpaan Antarpemeluk Agama di Nusantara, 2015: 146).

 

Bahkan, ia turut menyumbang pembangunan candi-candhi Buddha tersebut, termasuk di wilayah Plaosan, dekat Prambanan (kini perbatasan antara Yogyakarta dan Kabupaten Klaten). 

 

Candi-candi di Plaosan yang diperuntukkan bagi pemeluk Buddha didirikan secara gotong-royong antara para penganut agama Buddha dengan orang-orang beragama Hindu. 

 

Situasi ini menunjukkan betapa padu dan damainya pemeluk dua agama berbeda di bawah naungan Pramodhawardani sebagai Ratu Mataram (Kuno) saat itu. 

 

Pada tahun 842 M, dia mengeluarkan sebuah prasasti, yang sekarang disebut Prasasti Tri Tepusan/Sri Kahulunan. Prasasti mengisahkan bahwa Maharatu menganugerahkan tanah di desa Tri Tepusan untuk pemeliharaan sebuah bangunan suci bernama Kamulan I Bhumisambhara, atau tempat asal muasal Bhumishambara. J.G. de Casparis, seorang epigraf dari Belanda, mengartikan nama bangunan tersebut sebagai nama asli Borobudur.

Topik Menarik